Opini
Covid-19 dan Kesenjangan
Bansos harus segera terdistribusi merata agar masyarakat hampir miskin tidak masuk ke lingkaran kemiskinan.
ANIF PUNTO UTOMO, Wartawan
"Saya enggak bisa bayangin kalau kita dulu lockdown, mungkin (pertumbuhan ekonomi) bisa minus 17 (persen)." Kalimat tersebut disampaikan Presiden Jokowi saat rapat dengan para gubernur di Istana Bogor, pertengahan Juli lalu.
Dalam menghadapi pandemi Covid-19, Indonesia memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menekan penularan, meskipun desakan untuk karantina wilayah (lockdown) disuarakan oposisi.
Belakangan yang banyak dijadikan contoh betapa lockdown telah mengunci ekonomi negara adalah Singapura, yang pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020, minus 41,2 persen.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I yang awalnya diprediksi masih 4,5 persen, tersungkur di 2,97 persen. Di kuartal II, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani memprediksi pertumbuhan negatif di posisi -3,5 persen sampai -5,1 persen.
Indonesia tidak sendirian. Menurut laporan Bank Dunia, untuk pertama kalinya secara global angka kemiskinan ekstrem (hidup dengan 1,9 dolar AS per hari) naik sejak 1998.
Turunnya pertumbuhan ekonomi berarti penyerapan tenaga kerja menciut. Jika pertumbuhan negatif, banyak PHK sehingga pengangguran membengkak. Kondisi itu pula yang sedikit banyak bisa menjelaskan mengapa angka kemiskinan naik.
Karena secara logika kian tinggi pengangguran, rakyat miskin kian banyak. Ini terjadi pada 1998 saat Indonesia kontraksi 13,2 persen, pengangguran naik menjadi 12,16 persen diikuti kemiskinan naik dari 34,07 juta (17,47 persen) menjadi 49,5 juta orang (24,2 persen).
Data terkini, dengan penurunan pertumbuhan ekonomi, masyarakat miskin September 2019 sebanyak 24,79 juta, naik 1,63 juta jadi 26,42 juta pada Maret 2020. Dengan prediksi kuartal II pertumbuhan terkontraksi, kemiskinan mungkin kian besar pada September 2020.
Indonesia tidak sendirian. Menurut laporan Bank Dunia, untuk pertama kalinya secara global angka kemiskinan ekstrem (hidup dengan 1,9 dolar AS per hari) naik sejak 1998. Diperkirakan, ada 40 juta-60 juta orang akan menjadi miskin di seluruh dunia.
Menjadi lebih prihatin manakala kesenjangan ekonomi yang direpresentasikan lewat Indeks Gini makin lebar. Setelah dalam lima tahun turun dari 0,433 pada September 2014 menjadi 0,380 pada September 2019, begitu diserang Covid-19, Indeks Gini naik tipis menjadi 0,381 pada Maret 2020.
Indeks Gini adalah indeks yang mencerminkan tingkat kesenjangan, semakin tinggi indeks kesenjangan semakin lebar. Krisis akibat Covid-19 ini seolah menghapus semua kemajuan yang dicapai dalam lima tahun terakhir. Ada beberapa penyebab ketimpangan kian lebar.
Pertama, UMKM yang biasanya menjadi benteng pertahanan terakhir setiap krisis, kali ini ikut runtuh. Berbeda dengan krisis 1998, UMKM tegar sehingga pendapatannya masih bertahan. Runtuhnya UMKM membuat pendapatan kelas bawah semakin merosot.
Kedua, akses teknologi dan informasi. Kelas menengah atas dapat mengapitalisasi akses tersebut untuk menggerakkan bisnis, sementara UMKM yang perlu hadir secara fisik menjadi terpinggirkan.
Dalam situasi ketika dunia usaha masih berpikir survive (belum berpikir berkembang) yang menjadi andalan adalah anggaran dari pemerintah.
Ketiga, mati surinya hampir seluruh kegiatan ekonomi menjadikan jumlah penganggur semakin tinggi. Dengan begitu, masyarakat bawah semakin kecil jumlah pengeluarannya, sedangkan kelas menengah atas masih mampu bertahan.
Dalam situasi ketika dunia usaha masih berpikir survive (belum berpikir berkembang) yang menjadi andalan adalah anggaran dari pemerintah.
Pemerintah mengalokasikan Rp 695,2 triliun untuk menanggulangi dampak Covid-19. Ternyata penyalurannya jauh dari harapan. Padahal jika terealisasi, niscaya sedikit mengakselerasi ekonomi yang sedang enggan bergerak.
Berdasarkan paparan realisasi APBN oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 15 Juni 2020, banyak sektor yang lambat mengeksekusi anggaran. Bidang kesehatan, misalnya, dari anggaran Rp 87,55 triliun, realisasinya baru 1,54 persen atau Rp 1,34 triliun.
Persoalannya, mandeknya pembayaran insentif tenaga kesehatan, antara lain akibat kendala administrasi. Bidang perlindungan Rp 203,9 triliun, realisasinya baru 28,63 persen atau Rp 58,3 triliun. Ini di antaranya untuk sembako, PKH, dan bantuan langsung tunai.
Di bidang insetif usaha, dari anggaran Rp 120,6 triliun baru terealisasi 6,8 persen atau Rp 8,2 triliun. Bidang UMKM dari anggaran Rp 123,4 triliun, realisasinya baru 0,06 persen atau sekitar Rp 740 miliar. Kembali, regulasi yang menjadi halangan.
Di pembiayaan korporasi, Rp 53,5 triliun, tetapi sampai awal Juni 2020, realisasinya 0 persen. Pemerintah masih menyelesaikan skema pendukung dan regulasinya. Untuk kementerian atau lembaga dan pemda Rp 106,1 triliun, realisasinya 3,65 persen atau Rp 3,87 triliun.
Sampai kini, belum diketahui pandemi akan berakhir. Bahkan, dalam dua pekan belakangan, jumlah positif Covid-19 meningkat dengan pertambahan di atas seribu orang per hari. Dengan kondisi itu, berarti PSBB takkan segera dicabut. Ekonomi tetap bergerak lemah.
Pemerintah tak banyak pilihan. Kampanye untuk berdamai dengan Covid-19 lewat gaya hidup baru yang selalu bermasker, cuci tangan, dan jaga jarak terus dilakukan sembari sedikit demi sedikit membuka aktivitas ekonomi, terutama terkait dengan UMKM.
Bansos harus segera terdistribusi merata agar masyarakat hampir miskin tidak masuk ke lingkaran kemiskinan. Anggaran di setiap kementerian yang sudah dianggarkan untuk memicu ekonomi segera direalisasikan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.