Kisah Dalam Negeri
Ancaman Predator Seksual Ketika Pandemi
Terungkap ratusan kasus pencabulan oleh predator seksual anak.
OLEH INAS WIDYANURATIKAH, ZAHROTUL OKTAVIANI
Sepanjang dua bulan belakangan, terungkap sejumlah kasus pencabulan dan pelecehan seksual terhadap ratusan anak-anak di Indonesia. Pada pertengahan Juni lalu, Polresta Depok meringkus SPM (42 tahun), mantan pembina kegiatan misdinar di Gereja Paroki Santo Herkulanus di Depok.
Kejahatan yang bersangkutan terkuak dari laporan salah satu korban pada Mei lalu. Sejak penangkapan itu, sedikitnya 28 kasus pelecehan seksual dilaporkan para orang tua korban. Kkebanyakan korban merupakan anak-anak yang aktif berkegiatan di gereja tersebut.
Kemudian pada 17 Juni, Polda Metro Jaya meringkus buron FBI, Russ Albert Medlin yang merupakan warga negara (WN) Amerika Serikat. Meski diburu terkait penipuan investasi, belakangan terkuak yang bersangkutan juga diduga melakukan pencabulan terhadap sedikitnya 10 anak di bawah umur. Ia telah dijadikan tersangka atas kasus tersebut.
Sedangkan pada awal Juli ini, Polsek Pegedangan, Tangerang Selatan meringkus Safrudin, seorang penjaga keamanan di kampung Pagerhaur RT 01 RW 01 Desa Pagedangan, Kecamatan Pagedangan. Ia dilaporkan melakukan pencabulan terhadap 14 anak di wilayah tersebut.
Yang terkini, pada Kamis (9/7) kepolisian melansir telah menangkap basah Francois Abello Camille alias Frans (65), seorang WN Prancis atas kejahatan pencabulan massal pada . Kepolisian kemudian menemukan rekaman pencabulan terhadap 305 anak yang dimiliki Frans. Dari jumlah itu, 19 korban berhasil diidentifikasi sejauh ini. Frans kemudian dilaporkan mencoba gantung diri di Rutan Polda Metro Jaya dan meninggal di RS Polri.
Daftar kasus pencabulan itu bisa bertambah panjang jika dihitung dari awal tahun ini. Pada Januari, misalnya, terungkap pencabulan terhadap sedikitnya 11 anak di Tulungagung oleh Hasan (41 tahun), seorang ketua asosiasi kaum gay setempat. Sedangkan pada Februari, kepolisian menangkap Karsa (62) pelaku pencabulan terhadap lima anak lelaki di Sawangan, Kota Depok.
Atas rerupa kejahatan itu, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengungkapkan bahwa angka kekerasan dan kejahatan seksual terhadap anak mengalami peningkatan hingga mencapai 59 persen selama masa pandemi Covid-19.
"Jadi sebenarnya cukup mengejutkan, sebelum virus Corona melanda dunia, kejahatan seksual itu tinggi termasuk di Kota Depok, dan itu di dominasi kejahatan seksual. Ada yang sifatnya orang-perorang dan ada yang bersama, dan ironisnya sejumlah kasus di antaranya dilakukan oleh orang terdekat," ujar Arist di Depok, Selasa (14/7).
Kaitan pandemi dengan maraknya kekerasan terhadap anak itu juga diamini Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah mengatakan internet menjadi tempat yang banyak digunakan oleh predator seksual anak untuk mencari korbannya. Khususnya di masa pandemi Covid-19, peluang anak menjadi korban pelecehan seksual di internet semakin besar karena penggunaan gawai yang meningkat.
Ai menjelaskan, biasanya, predator seksual ini akan berpura-pura menjadi anak lain dan melancarkan aksinya dengan meminta foto-foto asusila dari korban. Predator semacam ini masuk ke grup-grup media sosial tentang hal yang sedang digandrungi oleh anak.
Di masa pandemi khususnya, banyak anak menggunakan gawai mereka sejak pagi hingga siang hari. Selain itu, di masa normal pun banyak anak yang sudah kenal dengan gawai dan bisa menggunakannya untuk berbagai hal.
Orang tua sering kali lalai ketika anaknya menggunakan gawai. "Ini yang saya bilang perlu early warning yang harus betul-betul dihidupkan di berbagai lokasi, berbagai tempat," kata Ai dihubungi Republika, Rabu (15/7).
Menurutnya, pembelajaran secara daring memang memiliki sisi positif. Anak bisa belajar melalui sumber yang lebih baik. Namun, di satu sisi orang dewasa di sekitarnya harus mampu mendeteksi ketika ada yang janggal pada anak.
"Hari ini, eksodus besar-besaran terhadap media sosial itu luar biasa. Kemudian internet pada umumnya, dia juga bsia menjadi iklan tertentu, konten misalnya tayangan tertentu, animasi awalnya kartun, tapi kok di tengah ada tayangan porno misalnya," kata Ai.
Selain perlunya internet yang aman untuk anak, Ai menilai kekerasan seksual juga bisa dicegah bila terdapat kepekaan di lingkungan. Ia mencontohkan pada kasus pencabulan 305 anak yang dilakukan oleh Francois Abello Camille. Salah satu fakta lapangan adalah ditemukan 20 alat kontrasepsi di hotel tempat FAC menginap.
"Itu artinya, gimana sih mekanisme hotel dan children protection-nya di Indonesia. Itu yang saya kira perluasan kasus, tapi juga masuk dalam kerangka pencegahan," kata Ai. "Itu dampak ke depannya, bahwa betul-betul area wisata, saya bilang termasuk juga dunia usaha mengambil bagian strategis sebagaimana Undang-undang 35 Tahun 2014 untuk perlindungan pada anak-anak," kata dia.
Terkait hal itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) melakukan pendekatan kedaerahan terkait dengan upaya pencegahan kekerasan pada anak. Salah satu yang didorong adalah dibentuknya Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen-PPPA, Nahar mengatakan gerakan ini diinisiasi sejak 2016. Pada tahun 2019, PATBM di seluruh Indonesia dikembangkan di sebanyak 1.756 desa/kelurahan.
"Juga dilakukan di tingkat grassroot di masyarakat dengan mengajak semua unsur termasuk partisipasi anak sampai tingkat pemerintah di desa dan kelurahan," kata Nahar, pada Republika, Rabu (15/7).
Nahar menjelaskan, PATBM ini berperan dalam pencegahan kekerasan pada anak melalui berbagai sosialisasi. Para aktivis di PATBM merupakan masyarakat lokal agar lebih mengetahui situasi warganya. "Dengan bahasa dan budaya setempat, berfungsi untuk menerapkan deteksi dini. Jadi di desa-desa itu bergerak aktivis, untuk salah satunya agar kekerasan anak di masyarakat diharapkan bisa cepat terdeteksi dan bsia segera ditangani," kata Nahar.
Ketua Umum PP Fatayat NU, Anggia Ermarini, juga meminta lingkungan untuk lebih peduli terkait perlindungan anak. "Semua orang dewasa adalah orang tua dari anak-anak Indonesia. Anak saya, orang tuanya bukan hanya saya, tapi semua yang ada di sekitar dia. Namanya orang tua, pasti melindungi," ujar Anggia saat dihubungi Republika, Rabu (15/7).
Ia lantas mengakui, dari sebagian besar kasus yang muncul, pelakunya berasal dari orang terdekat. Pemerintah disebut memiliki tugas untuk memberikan edukasi bagi setiap orang tua pemahaman untuk melindungi dan menjaga anak dari segala tindak kejahatan harus dikuatkan. Anggia menyadari jika kemampuan pemerintah untuk terjun langsung di lapangan memiliki batas. Karena itu, semua pihak memiliki kewajiban untuk saling mengingatkan.
'Aisyiyah juga mendukung perlindungan bagi anak dari berbagai sisi. "Jika kita bicara tentang anak, penguatan ketahanan keluarga itu penting. Di sisi lain, pemerintah juga berperan melindungi anak-anak," ujar Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan PP 'Aisyiyah, Widyastuti, saat dihubungi Republika, Rabu (15/7).
Ia menyebut pemerintah harus betul-betul menegakkan keadilan dan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak. Jangan sampai anak, baik korban maupun pelaku, menjadi korban kesekian kali. "Apalagi kalau anak menjadi korban. Perlindungan dari sisi hukum harus dikuatkan, termasuk pendampingan," kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.