Opini
Melawan Kedaulatan Uang
Politik uang adalah jalan mudah untuk membunuh demokrasi.
UMBU TW PARIANGU, Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang
Arus permisif rakyat terhadap politik uang berpotensi menyeruak di Pilkada September 2020. Dalam rilis survei Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) (2/7/2020), mayoritas masyarakat di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan bersedia menerima uang dari pasangan calon kepala daerah saat pilkada.
Di Sumatra, misalnya, masyarakat yang mau menerima politik uang sebesar 62,95 persen, di Jawa 60 persen, dan di Kalimantan sebanyak 64,77 persen.
Ketika ditanya alasan menerima politik uang, mereka menyatakan, rezeki tidak boleh ditolak, uang tersebut sebagai pengganti ketika tidak bekerja pada hari pencoblosan, untuk menambah keperluan sehari-hari.
Selain itu, potret efektivitas politik uang di ketiga daerah tersebut bervariasi. Di Sumatra, sekitar 57 persen masyarakatnya mengaku akan memilih kandidat jika ditawari politik uang.
Meskipun Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2020 menunjukkan peningkatan, tapi dari aspek persepsi masyarakat terhadap korupsi cukup memprihatinkan.
Di Jawa, 50 persen masyarakat mau menerima ajakan pemberian uang untuk memilih kandidat dalam pilkada, sementara di Kalimantan, 60 persen menjawab pilihan yang sama.
Sebenarnya temuan ini tak mengherankan karena berdasarkan survei BPS (dirilis 15/6/2020), meskipun Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) 2020 menunjukkan peningkatan, tapi dari aspek persepsi masyarakat terhadap korupsi cukup memprihatinkan.
Masyarakat tampaknya mulai menganggap lumrah perilaku korupsi di lingkungan keluarga, yang indeks persepsinya 29,72 persen, lebih tinggi dari tahun 2019 (25,56 persen).
Masyarakat juga menganggap wajar perilaku korupsi di lingkup komunitas seperti pemberian uang kepada ketua RT, yang angkanya naik menjadi 42,56 persen dari 40,93 persen pada 2019.
Yang lebih tragis, masyarakat juga menganggap wajar terhadap fenomena pemberian uang dan fasilitas di pilkada, pilpres, ataupun pemilu, yakni dari 20,89 persen menjadi 32,74 persen pada 2020.
Takut lapar
Lalu apa yang menyebabkan masyarakat semakin terbuka terhadap politik uang? Orang bisa mengaitkan pandemi Covid-19 dengan perilaku pragmatis masyarakat di sektor politik dan demokrasi.
Masyarakat kini tidak lagi takut pada virus korona, tapi lebih takut terhadap kemiskinan dan kelaparan.
Kelimpungan menghadapi tekanan ekonomi dan pekerjaan sebagai ekses dari pandemi, membuat masyarakat seakan kehilangan rasionalitasnya untuk berjuang dan bertahan hidup sehingga pendekatan pragmatisme kadang menjadi pilihan sikap.
Masyarakat kini tidak lagi takut pada virus korona, tapi lebih takut terhadap kemiskinan dan kelaparan. Hasil riset Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, memasuki pekan kedua Juni 2020, masyarakat lebih takut kesulitan ekonomi ketimbang virus korona.
Riset tersebut salah satunya merujuk pada survei VoxPopuli Center (26 Mei-1 Juni 2020) yang menyatakan, 67,4 persen masyarakat lebih takut kelaparan dibandingkan virus korona (25,3 persen).
Artinya, variabel ekonomi sangat kuat memengaruhi pertimbangan masyarakat dalam situasi elektoral, seperti pilkada. Itu sejatinya menegaskan pragmatisme “politik konvensional” yang dikemukakan Harold Laswell, “Siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana”.
Adagium ini menghiasi spektrum politik secara masif, baik di level rakyat maupun elite.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan tidak lagi diperebutkan melalui perang atau mengangkat senjata, tetapi melalui mekanisme pemungutan suara di dalam proses pemilihan umum.
Para wakil rakyat atau kepala daerah melalui partai politik akan bersaing memperebutkan suara rakyat dengan berbagai strategi yang bisa memberikan jaminan kemenangan, meskipun kerap menegasi etika berpolitik, termasuk melakukan praktik politik uang.
Minus kesadaran politik
Namun bisa dibilang, politik uang menjadi relasi yang kompleks karena tidak hanya menunjukkan jual-beli suara, tetapi juga bentuk perhatian, pemberian dengan karakteristik resiprokalitas (hubungan timbal-balik)-nya (Aspinall et al., 2017).
Memilih pemimpin karena fulus, sama dengan telah menggadaikan harkat dan kebaikan bersama untuk selamanya. Dan politik uang, jalan mudah untuk membunuh demokrasi.
Si calon kepala daerah bisa saja menyamarkan pemberian uang kepada sekelompok masyarakat pemilih dengan argumentasi rasa empati-kemanusiaan, yang sebenarnya bermuara juga pada upaya meraih simpati, sekaligus dukungan suara politik.
Pola tersebut semakin efektif ketika pendidikan dan kesadaran politik masyarakat tidak terbangun secara baik, sehingga menyisakan ruang disonansi kolektif antara apa yang diidealkan dan apa yang dilakukan.
Ketiadaan edukasi politik bagi bisa jadi juga karena sengaja didesain institusi politik untuk menghambat informasi dan transformasi kesadaran masyarakat, sehingga mereka kehilangan basis moral-rasionalitas dalam mengejawantahkan sikap politiknya.
Karena itu, tidak ada cara lain untuk melawan naluri eksesif tersebut selain masyarakat perlu terus diedukasi untuk menjadi “zoon politicon” yang cerdas, yang berpikir investatif, bahwa suara dari nuraninya akan menentukan masa depan kesejahteraan dirinya.
Memilih pemimpin karena fulus, sama dengan telah menggadaikan harkat dan kebaikan bersama untuk selamanya. Dan politik uang, jalan mudah untuk membunuh demokrasi.
Kita ingin kesadaran seperti itu diinjeksi ke masyarakat oleh kelompok masyarakat sipil, termasuk agamawan, tokoh pendidikan, dan masyarakat sehingga arena politik seperti pilkada menjadi arena kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan kuasa atau uang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.