Nasional
Kemenkes Akui Belum Atur Sanksi Tarif Tes Cepat
Ombudsman RI sebelumnya mendesak aturan sanksi tarif tes cepat ini segera dikeluarkan.
JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengaku belum membuat aturan sanksi bagi rumah sakit (RS) atau fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) yang mematok tarif tes cepat (rapid test) Covid-19. Kemenkes menyatakan masih akan memantau perkembangan pascaterbitnya surat edaran terkait tarif tes cepat.
“Memang saat ini kami belum membuat peraturan sanksi seperti apa, tetapi perkembangannya dilihat bagaimana pascasurat edaran itu dikeluarkan,” kata Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes Tri Hesty Widyastoeti saat konferensi pers virtual bertema "Regulasi Harga Tertinggi Rapid Test", Senin (13/7).
Kemenkes diketahui menerbitkan SE Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi. Dalam SE tersebut, batasan tarif tertinggi untuk tes cepat antibodi sebesar Rp 150 ribu. Surat itu ditandatangani Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Bambang Wibowo pada 6 Juli 2020.
Hesty mengatakan, biaya Rp 150 ribu dihitung dari pembelian alat tes cepat, termasuk spek, alat pelindung diri (APD) yang dipakai petugas kesehatan, jasa layanan, mulai dari dokter spesialis dan petugas analis sampai jasa RS. Kemudian, Kemenkes juga menghitung harga tes cepat yang wajar karena melihat fakta ada RS yang menawarkan harga murah, tetapi ada juga yang mahal.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy pada Kamis (9/7) pekan lalu, menyatakan akan memberikan sanksi kepada semua pihak yang memberi tarif tes cepat pemeriksaan Covid-19 melebihi harga yang telah ditetapkan. “Pasti kalau ada rumah sakit yang mengenakan biaya di atas itu pasti ada sanksinya,” kata dia.
Dia mengatakan, pemerintah bakal memberikan sanksi berat kepada pihak yang memberikan tarif di atas batas yang telah ditentukan. Pemerintah juga siap mengambil tindakan yang lebih tegas yang akan diatur nantinya berkenaan dengan hal tersebut.
Ombudsman Republik Indonesia (ORI) sebelumnya mendesak aturan sanksi tarif tes cepat ini segera dikeluarkan. ORI menilai, perlunya mekanisme sanksi terkait batas tarif tertinggi biaya tes cepat Covid-19. Aturan terkait itu harus tegas mengatur sanksi dari teguran lisan hingga pencabutan izin jika ada rumah sakit yang menarik tarif tes cepat lebih dari Rp 150 ribu.
Anggota ORI Alvin Lie mengatakan, tak adanya mekanisme sanksi bagi rumah sakit yang melanggar membuat masyarakat kebingungan. Ia mencontohkan, pada Kamis (9/7) di salah satu rumah sakit di Gorontalo, Sulawesi Utara, tarif tes cepat dipatok sesuai SE Kemenkes. Namun, biaya tersebut akan bertambah jika minta surat keterangan atau hasil tertulis.
“Jadi, rapid test saja Rp 150 ribu. Kalau minta surat keterangan atau hasil tertulis jadi Rp 243 ribu. Nah, ini bagaimana nih? Kemenkes harus segera buat aturan dan sanksi bagi yang melanggar agar para rumah sakit jera,” kata dia.
Sementara Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Lia G Partakusuma mengatakan, pihaknya bukanlah asosiasi yang bisa menerapkan sanksi untuk RS yang menerapkan tarif tes cepat di atas tarif yang ditentukan. “Kami hanya mengimbau RS untuk mengikuti aturan yang ditetapkan Kemenkes,” ujar dia.
Persi menyambut baik adanya patokan harga dan meminta semua bekerja sama termasuk penjual. Jika ini tidak dilakukan, kata Lia, harga tes cepat menjadi sangat tidak terkendali.
“Jadi, (harga alatnya) sudah mahal. Jadi kalau selama masa transisi ternyata masih ada satu dua rumah sakit bandel, diharapkan bisa mematuhi untuk menenangkan masyarakat dan memutuskan penularan,” kata dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.