Tim medis berjalan menuju tenda saat kegiatan rapid test Covid-19 gratis di Jakarta, Ahad (28/6). | Prayogi/Republika

Tajuk

Insentif untuk Tenaga Kesehatan

Pemerintah ditagih karena sudah menjanjikan dan menganggarkan insentif tersebut.

Tenaga kesehatan digadang-gadang sebagai pahlawan dalam penanggulangan Covid-19.  Mereka adalah garda terdepan dalam menangkal pandemi virus korona. Namun, nasib tenaga kesehatan tak seindah sebutannya sebagai pahlawan. Insentif bagi tenaga kesehatan masih saja tersendat.

Presiden Joko Widodo pun mendesak agar insentif bagi tenaga kesehatan itu segera dicairkan. Saat membuka rapat terbatas percepatan penanganan dampak pandemi Covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/6), Jokowi menyampaikan kegeramannya atas lambannya serapan anggaran kesehatan Covid-19.

Insentif bagi tenaga medis yang bertugas menangani Covid-19  sudah disampaikan Presiden pada 19 Maret lalu. Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan kemudian menerbitkan surat dan peraturan menteri yang memerinci insentif itu pada 23 Maret.

Dalam skema insentif itu, dokter spesialis akan mendapat insentif Rp 15 juta per bulan selama pandemi. Dokter umum mendapat Rp 10 juta per bulan, perawat/bidan mendapat Rp 7,5 juta, dan nakes lain Rp 5 juta. Santunan kematian ditetapkan Rp 300 juta per orang.

 
Presiden pantas geram, semestinya insentif itu bisa segera ke tenaga kesehatan, kenyataannya baru 10-20 persen yang cair.
 
 

Sebanyak 78.472 nakes ditargetkan menerima dana yang totalnya senilai Rp 5,6 triliun itu. Menkes Terawan Agus Putranto menyatakan, pembayaran dimulai pada 22 Mei lalu. Hingga 29 Juni, Kemenkes menyatakan, dana insentif yang disalurkan baru sebesar Rp 226 miliar untuk 25.311 nakes dan Rp 14,1 miliar untuk santunan kematian 47 nakes. 

Sejauh ini, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat baru 10 hingga 20 persen dari sekitar 120 ribu perawat di Tanah Air yang menangani Covid-19 telah menerima pencairan insentif. 

Presiden pantas geram, semestinya insentif itu bisa segera ke tenaga kesehatan, kenyataannya baru 10-20 persen yang cair. Belum lagi soal serapan anggaran kesehatan secara keseluruhan.

Terlambatnya insentif tenaga kesehatan ini banyak dipertanyakan. Pemerintah ditagih karena sudah menjanjikan dan menganggarkan insentif tersebut.

Pihak Kemenkes berdalih, keterlambatan pencairan insentif merupakan efek dari lambannya usulan pembayaran tunjangan tenaga kesehatan dari fasilitas layanan kesehatan dan Dinas Kesehatan daerah. Hal itu terjadi karena usulan tersebut harus diverifikasi di internal fasilitas pelayanan kesehatan kemudian dikirim ke Kementerian Kesehatan.

Soal lambannya serapan anggaran bidang kesehatan ini juga agak kelewatan. Pemerintah menganggarkan Rp 87,5 triliun untuk penanganan Covid-19 di bidang kesehatan.

Sampai dengan Senin (29/6), Kemenkeu mencatat, tingkat realisasi pencairan stimulus di sektor kesehatan baru mencapai 4,68 persen dari anggaran Rp 87,55 triliun. Artinya, masih ada 95 persen atau sekitar Rp 83 triliun di antaranya yang belum tersalurkan. Menteri Keuangan Sri  Mulyani mengatakan,  pencairan anggaran kesehatan bukan hanya tanggung jawab dari Kemenkes karena banyak jalurnya dari anggaran Rp 87,5 triliun itu.

Kita berhadapan dengan situasi yang sangat tidak normal saat ini. Karena itu, perlu dilakukan langkah terobosan tidak normal sepanjang tidak melanggar undang-undang.

Kita berharap, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, dan instansi yang terkait melakukan langkah-langkah konkret agar masalah insentif bagi tenaga kesehatan dan anggaran kesehatan ini tidak terus terlambat. Anggaran sudah tersedia, tinggal memikirkan bagaimana menyalurkannya. Kok begitu saja bisa lama?

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat