Kabar Utama
Presiden: Cairkan Insentif Tenaga Kesehatan
Kemenkes memangkas jalur verifikasi penerima insentif tenaga kesehatan.
JAKARTA -- Presiden Joko Widodo agaknya habis kesabaran terkait lambannya serapan anggaran kesehatan Covid-19. Ia mendesak anggaran tersebut, termasuk insentif bagi tenaga kesehatan (nakes), segera dicairkan.
“Pembayaran klaim rumah sakit secepatnya, insentif tenaga medis secepatnya, insentif untuk petugas lab secepatnya. Kita nunggu apa lagi!? Anggarannya sudah ada,” kata Jokowi saat membuka rapat terbatas percepatan penanganan dampak pandemi covid-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (29/6).
Hal yang ia sampaikan kemarin pagi sedianya mengulangi kegeraman yang ia sampaikan dalam sambutan Sidang Kabinet Paripurna yang videonya diunggah Sekretariat Presiden, Ahad (28/6). Sepanjang pidato itu, Jokowi terlihat emosional menyinggung lambannya program penanganan Covid-19 di berbagai kementerian.
Dalam pidato kemarin, ia mengingatkan, aturan yang justru memperlambat proses pencairan agar segera dipangkas. “Kalau aturan di permennya terlalu berbelit-belit, ya disederhanakan,” ujar Jokowi.
Presiden menyayangkan, sejauh ini tak ada kemajuan atau pergerakan yang signifikan yang dilakukan pemerintah dalam menangani Covid-19. Karena itu, Presiden meminta agar disiapkan terobosan percepatan penanganan Covid-19. “Karena kalau tidak kita lakukan sesuatu dan kita masih datar seperti ini, ini nggak akan ada pergerakan yang signifikan,” ujar Jokowi.
Presiden Jokowi mula-mula mengumumkan insentif bagi tenaga medis yang bertugas menangani Covid-19 pada 19 Maret lalu. Kementerian Keuangan dan Kementerian Kesehatan kemudian menerbitkan surat dan peraturan menteri yang memerinci insentif itu pada 23 Maret.
Dalam skema insentif itu, dokter spesialis akan mendapat insentif Rp 15 juta per bulan selama pandemi. Dokter umum mendapat Rp 10 juta per bulan, perawat/bidan mendapat Rp 7,5 juta, dan nakes lain Rp 5 juta. Santunan kematian ditetapkan Rp 300 juta per orang.
Sebanyak 78.472 nakes ditargetkan menerima dana yang totalnya senilai Rp 5,6 triliun itu. Menkes Terawan Agus Putranto menyatakan, pembayaran dimulai pada 22 Mei lalu. Hingga 29 Juni, Kemenkes menyatakan dana insentif yang disalurkan baru sebesar Rp 226 miliar untuk 25.311 nakes dan Rp 14,1 miliar untuk santunan kematian 47 nakes.
Sejauh ini, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat baru 10 hingga 20 persen dari sekitar 120 ribu perawat di Tanah Air yang menangani Covid-19 telah menerima pencairan insentif.
Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah mengutip data evaluasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bahwa yang seharusnya tenaga kesehatan perawat yang berhak mendapatkan insentif sekitar 120 ribu orang. Namun, dari 800 lebih fasilitas layanan kesehatan yang menangani Covid-19, ternyata baru 44 persen yang mengusulkan pembayaran tunjangan tenaga kesehatan.
“Jadi 54 persen rumah sakit (RS) sisanya belum mengusulkan (ke pemerintah pusat) dan bagaimana mau dicairkan (insentifnya). Jadi yang terlambat itu dari fasilitas kesehatannya dan akhirnya perawat yang mendapatkan pencairan insentif saat ini baru 10 sampai 20 persen (dari 120 ribu perawat)," ujarnya saat dihubungi Republika, Senin (29/6).
Padahal, dia dalam kondisi sulit seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti sekarang, para perawat ini membutuhkan uang diantaranya untuk bekerja karena harus mengeluarkan ongkos transportasi yang tinggi. Jadi, ia menegaskan pencairan insentif ini sangat bermanfaat untuk menyambung kehidupan.
Pembayaran klaim rumah sakit secepatnya, insentif tenaga medis secepatnya, insentif untuk petugas lab secepatnya. Kita nunggu apa lagi!? Anggarannya sudah ada.PRESIDEN JOKO WIDODO
Ia menambahkan, kabar pencairan insentif ini tentu menjadi kabar baik meski awalnya pihaknya tidak memikirkannya. "Apalagi awalnya ini kami dijanjikan bahkan dipublikasi dan akhirnya kami semua berharap. Padahal tidak semua perawat mendapatkannya, hanya perawat yang bekerja di rumah sakit (RS) rujukan, RS darurat, RS yang ditunjuk Kemenkes maupun gubernur, jadi ada sekitar 800-an RS yang katanya mendapatkan insentif, sementara RS lain yang tidak ditunjuk gubernur maupun Kemenkes itu belum jelas (nasibnya), padahal mereka juga menangani Covid-19," ujarnya.
Karena itu, pihaknya mendesak pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan juga harus benar dalam bertindak dan memiliki kepekaan. Artinya, dia melanjutkan, nakes ini merupakan pegawai di faskes itu, jadi seharusnya pimipinan instansi tempat nakes ini bekerja yang pro aktif, bukan menunggu perintah.
Ia mendesak pemerintah menepati janji itu karena ini terkait moralitas apalagi saat kondisi sulit seperti sekarang. Jika masalah ini berlarut, pihaknya khawatir ini bisa menurunkan motivasi perawat saat bekerja. Ia menegaskan, meski perawat sudah biasa tidak mendapatkan insentif saat bencana, tetapi ini masalah janji. "Ini yang harus dijaga. Perlu ketegaran dan empati yang tinggi dalam menghadapi kondisi sekarang," katanya.
Pihak Kemenkes berdalih keterlambatan pencairan insentif merupakan efek dari lambannya usulan pembayaran tunjangan tenaga kesehatan dari fasilitas layanan kesehatan dan dinas kesehatan daerah. "Hal itu terjadi karena usulan tersebut harus diverifikasi di internal fasilitas pelayanan kesehatan kemudian dikirim ke Kementerian Kesehatan," ujar Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM (PPSDM) Kemenkes Abdul Kadir saat dihubungi Republika, Senin (29/6).
Terkait itu, menurut dia, Menkes telah merevisi Permenkes Nomor 278/2020 sehingga verifikasi data dari fasilitas layanan kesehatan dilimpahkan ke dinas kesehatan di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Ke depannya, Kemenkes hanya memverifikasi usulan pembayaran insentif nakes dari RS vertikal dan nonpemda.
Sementara itu, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat tingkat realisasi fisik stimulus pandemi pada sektor kesehatan baru mencapai 4,68 persen dari anggaran yang sudah disediakan dalam APBN, yakni Rp 87,55 triliun.
Menkeu Sri Mulyani menyebutkan, proses administrasi dan verifikasi yang rigid masih menjadi kendala besar dalam implementasi stimulus fiskal ini. "Makanya, masih muncul (permasalahan) kenapa tenaga kesehatan belum mendapatkan kompensasi," ucapnya dalam diskusi daring, Sabtu (27/6). Paparan itu ia ulangi lagi di hadapan anggota Komisi XI DPR, Senin (29/6).
Sri mengakui, tantangan terbesar pemberian stimulus ini berada pada level operasional dan proses administrasi. Kondisi tersebut karena sejumlah stimulus baru memasuki tahap awal. Ia berkomitmen akan melakukan perbaikan untuk percepatan di lapangan dengan menggandeng pemangku kepentingan terkait.
Di sisi lain, Sri menekankan, proses verifikasi yang lama juga karena sikap kehati-hatian dari pemerintah untuk menyalurkan stimulus. "Meskipun, at the cost (harga yang harus dibayar), sampai Juni, belum semuanya mendapatkan kompensasi tenaga kesehatan. Begitu juga dengan santunan meninggal," ujar dia.
Insentif daerah
Pemberian insentif untuk tenaga kesehatan (nakes) di Jawa Barat tak berbeda jauh dengan pemerintah pusat yang tersendat. Hingga saat ini, anggaran insentif untuk nakes di Jawa Barat (Jabar) belum cair sepeser pun.
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menyatakan, pihaknya sudah menyiapkan anggaran untuk insentif tersebut. Persiapan pun telah dilakukan agar anggaran ini bisa segera disebar. "Semua sudah disiapkan, termasuk percepatan untuk tenaga medis insentifnya," ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil, dalam konferensi pers, Senin (29/6).
Emil mengatakan, pihaknya sudah menyiapkan keputusan gubernur terkait insentif tenaga medis. Jadi, sudah tinggal diserahkan secepat-cepatnya. "(Anggaran total kesehatan--Red) Sudah Rp 1,4 trliun dari semua persiapan. Itu termasuk percepatan untuk tenaga insentif," katanya.
Sementara itu, menurut Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Jabar Daud Achmad, dana yang disiapkan Pemprov Jabar mencapai lebih dari Rp 170 miliar. Namun, karena terkendala administrasi, dana itu belum bisa dicairkan sekarang.
Daud mengatakan, untuk pendataan dari pemerintah daerah sudah lengkap. Artinya, ketika pemerintah pusat minta dana ini disalurkan maka bisa segera diberi kepada nakes. Namun, menurut dia, karena pendataan dari pusat masih belum lengkap, pihaknya enggan terburu-buru memberikan bantuan tersebut. "Yang saya tahu sampai sekarang, belum ada laporan (dana nakes) dicairkan karena masalah administrasi," katanya.
Daud mengatakan, karena data dari pemerintah pusat belum keluar secara penuh, bantuan dari Jabar untuk nakes belum bisa diberikan. Ketika data tidak lengkap maka bisa jadi ada tumpang tindih, yakni satu tenaga kerja mendapatkan dua bantuan sekaligus.
Selain itu, menurut Daud, hal lain yang dikhawatirkan adalah kejadian seperti bantuan sosial (bansos). Ketika ada satu nakes sudah mendapatkan bantuan, tetapi nakes lain belum dapat, bisa jadi ada obrolan kurang bagus dari mereka. "Jadi kita nunggu dulu. Datanya di kita memang ada, dan bisa saja langsung dicarikan," katanya.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo meminta pemerintah pusat segera mencairkan insentif bagi para tenaga kesehatan di provinsi setempat, yang menjadi garda terdepan penanganan Covid-19.
"Tadi rapat membahas banyak hal, salah satunya klaim rumah sakit dan insentif untuk tenaga kesehatan. Tadi disampaikan, insentif ini belum diterima, makanya saya minta Dinas Kesehatan segera mengurus agar bisa segera mendapat petunjuk pusat dan insentif segera dibagikan," katanya di Semarang, Selasa.
Menurut Ganjar, insentif tersebut menjadi salah satu bentuk penghargaan dan penyemangat bagi tenaga kesehatan yang telah berjuang selama masa pandemi.
"Kalau tidak segera diberikan, nanti mereka 'lemes'. Lha iya, kami dikejar-kejar terus, tapi insentif nggak dapet-dapet, makanya saya minta segera," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.