Resonansi
Kereta dan Bus Berseling Sebagai Solusi Masa Pandemi
Strategi kereta dan bus berseling ini memungkinkan tercapainya pembatasan fisik maupun kerumunan.
Oleh ASMA NADIA
OLEH ASMA NADIA
Pribadi, masyarakat atau negara, tetapi seluruh kita di masa pandemi ini, diuji untuk menemukan solusi tidak biasa untuk menghadapi tantangan yang luar biasa.
Dulu sekali ide genap ganjil sempat saya tulis di resonansi Republika sebelum-–mungkin kebetulan--kemudian diterapkan di Jakarta, dan memang mengurai kemacetan lalu-lintas.
Kini, terutama di masa pandemi, kebijakan yang mirip sejatinya bisa diterapkan di perkeretaapian bahkan bUs kota.
Idenya sederhana, stasiun kereta atau halte bus dibagi dua warna, misal halte pertama, ketiga, kelima, dan seterusnya dianggap halte atau stasiun ganjil dan diberi kode atau warna, merah misalnya, sedangkan halte nomor-nomor genap diberi kode atau warna putih
Selanjutnya moda tranportasi kereta atau bus dibuat warna merah dan putih atau diberi nomor genap atau ganjil. Kereta atau bus nomor ganjil --yang kodenya berwarna merah hanya berhenti di halte atau stasiun merah sedangkan kereta atau bus putih hanya berhenti di halte putih.
Apa pengaruhnya?
Dengan kebijakan ini maka jumlah orang yang naik ke bus atau kereta berpotensi turun hingga 50 persen dan waktu tempuh berpotensi berkurang 50 persen. Pilihan yang bisa dipertimbangkan dan terasa bijak di masa pandemi bahkan mungkin saja dilanjutkan setelah wabah berlalu. Bukankah semakin sedikit dan semakin sebentar orang ramai berkumpul semakin baik?
Bagaimana praktiknya?
Sebagai contoh misalnya kita ambil kereta rute Jakarta Bogor. Saat ini, untuk perjalanan Jakarta Bogor kereta akan berhenti di 24 stasiun yaitu: 1. Jakarta Kota, 2. Jayakarta, 3. Sawah Besar, 4. Juanda, 5. Gondangdia, 6. Cikini, 7. Manggarai, 8. Tebet, 9. Cawang, 10. Duren, 11. Kalibata, 12. Pasar Minggu Baru, 13. Pasar Minggu, 14. Tanjung Barat, 15. Lenteng Agung, 16. Universitas Pancasila, 17. Universitas Indonesia, 18. Pondok Cina, 19. Depok Baru, 20. Depok, 21. Citayam, 22. Bojonggede, 23. Cilebut, 24. Bogor
Jika dalam sehari anggaplah penumpang Jakarta Bogor mencapai 500 ribu orang, maka dalam keadaan normal semua penumpang masuk dalam kereta yang sama, dan perjalanan akan memakan waktu sekitar satu jam dari ujung ke ujung stasisun lainnya.
Strategi ini memungkinkan tercapainya pembatasan fisik atau sekaligus membuat kerumunan satu waktu yang terjadi lebih sebentar.
Jika kita pecah menjadi dua stasiun ganjil (merah) dan genap (putih) maka waktu tempuh dan kepadatan akan terurai. Metode serupa sudah diterapkan untuk mengurangi antrean di elevator pada gedung-gedung tinggi.
Dulu gedung dengan empat elevator, semua lift akan berhenti di tiap lantai. Sekarang dua lift hanya berhenti di ketinggian lantai setengah bawah sedangkan dua lift lain akan berhenti di setengah atas. Sehingga orang yang naik lift terseleksi secara alami.
Pada penumpang kereta, untuk stasiun ganjil (berwarna merah) tujuan misalnya menjadi: 1. Jakarta Kota, 3. Sawah Besar, 5. Gondangdia, 7. Manggarai, 9. Cawang, 11. Kalibata, 13. Pasar Minggu, 15. Lenteng Agung, 17. Universitas Indonesia, 19. Depok Baru, 20. Depok, 21. Citayam, 23. Cilebut, 24. Bogor
Sedangkan stasiun genap berwarna putih: 2. Jayakarta, 4. Juanda, 6. Cikini, 8. Tebet, 10. Duren, 12. Pasar Minggu Baru, 14.Tanjung Barat, 16. Universitas Pancasila, 18. Pondok Cina, 18. Pondok Cina, 22. Bojonggede, 22. Bojonggede,
Dalam praktiknya, ketika penumpang hendak pergi ke Pasar Minggu maka dia harus naik kereta ganjil (merah) tapi kalau tujuannya ke Pasar Minggu Baru, mereka bisa naik kereta genap (putih) dengan demikian secara alamiah penumpang terpecah. Berbeda dengan saat ini, mereka yang ke Pasar Minggu dan Pasar Minggu Baru tidak ada pilihan kecuali menaiki kereta yang sama. Jumlah penumpang dalam kereta yang dibedakan ganjil dan genap pun akan terseleksi secara otomatis.
Demikian pula waktu tempuh, juga akan berkurang hingga 50 persen, karena jika sebelumnya kereta harus berhenti 24 perhentian, kini cukup berhenti 12 kali saja.
Strategi ini memungkinkan tercapainya pembatasan fisik atau sekaligus membuat kerumunan satu waktu yang terjadi lebih sebentar, dibandingkan saat ini. Hanya saja ada kendala jika si penumpang dari stasiun genap (putih) ingin turun di stasiun ganjil (merah), dan naik kereta yang tidak berhenti di stasiun tujuan. Namun kendala ini bisa diatasi dengan memilih beberapa stasiun transisi seperti Manggarai yang bisa menjadi stasiun pertemuan merah dan putih.
Dengan pola ini, penumpang pun masih mampu mengejar selisih jarak satu stasiun dengan ojek online atau bajai jika berhenti di stasiun yang tidak diinginkan.
Tentu saja sebagai sebuah ide, lontaran ini memerlukan kajian, namun semoga bisa menjadi salah satu solusi, secara saat ini semua pihak sangat menyadari segala kebijakan yang berujung pembatasan fisik dan akan mempersingkat kerumunan harus segera ditemukan, dan dikaji dengan cepat, demi kemashalatan yang lebih besar.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.