Penumpang mengantre dengan menerapkan pembatasan jarak fisik saat akan menaiki KRL di Stasiun Sudirman, Jakarta, Senin (8/6). | Republika/Putra M. Akbar

Kabar Utama

Merancang Rekayasa Sosial

Pandemi Covid-19 memaksa manusia berubah dan membangun konstruksi sosial baru.

BAGONG SUYANTO, Guru Besar Sosiologi-Ekonomi FISIP Universitas Airlangga

Meski tidak bisa dipastikan kapan waktunya, cepat atau lambat pandemi Covid-19 pasti berakhir. Pertanyaan penting yang perlu dijawab adalah apa exit strategy yang harus kita persiapkan menghadapi kehidupan sosial-ekonomi usai Covid-19?

Pandemi Covid-19 memaksa manusia berubah dan membangun konstruksi sosial baru menghadapi kehidupan pada era new normal (normal baru). Bisa dipastikan, tidak ada lagi yang sama setelah berakhirnya wabah Covid-19 nanti.

Perubahan sosial sering kali berjalan natural, tetapi perubahan yang dipersiapkan melalui upaya social engineering yang tepat niscaya melahirkan proses adaptasi lebih cepat, daya tahan dan ketangguhan masyarakat menghadapi era normal baru.

Apa sebetulnya era normal baru? Kehidupan normal baru adalah sebuah bentuk tata laksana dan pola kehidupan masyarakat yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi baru, yang belajar dari apa yang terjadi pada masa pandemi Covid-19.

Berbeda dengan lingkungan sebelum pandemi Covid-19 yang seolah steril dari ancaman penyakit, saat normal baru masyarakat dihadapkan pada ancaman Covid-19 dan virus lain yang berpotensi menyerang keselamatan keluarga dan  lingkungan.

Pada era normal baru, yang sebelumnya bebas kita lakukan, bukan tak mungkin tidak lagi bisa dilakukan. Masyarakat pun harus rajin mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak agar tak menjadi korban Covid-19. Demikian pula dengan interaksi sosial. 

Pandemi Covid-19 juga secara tidak sengaja mengajarkan kepada kita, berinteraksi dengan orang lain untuk keperluan sosial ataupun bisnis bisa dilakukan secara virtual. Tidak perlu bertatap muka secara langsung.

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa perubahan pola kehidupan pada era normal baru, menuntut banyak perubahan drastis. Kemauan dan kemampuan masyarakat mengembangkan pola perilaku baru akan menentukan, apakah ke depan bisa tetap ‘survive’ atau tidak.

Pada era normal baru, strategi yang berpeluang dikembangkan adalah bagaimana mengembangkan rekayasa sosial berbasis gaya hidup.

Pengalaman selama ini telah banyak mengajarkan, melakukan rekayasa sosial hanya mengandalkan pendekatan yang sifatnya koersif atau ancaman sanksi, ternyata tidak berjalan efektif di lapangan. Bahkan, tak jarang malah melahirkan resistensi. 

Komoditas tidak lagi didefinisikan berdasarkan kegunaannya, tetapi berdasarkan apa yang dimaknai masyarakat itu sendiri. 
 

Maka itu, perlu dijajaki kemungkinan menerapkan pendekatan persuasif, lebih menekankan reward dan berbasis gaya hidup.

Artinya, perubahan dan mengubah perilaku sosial masyarakat pada era ‘postmodern’ seperti sekarang ini, lebih ditempatkan sebagai bagian dari perkembangan gaya hidup dan perilaku konsumsi –bukan sekadar tindakan yang selalu rasional-kalkulatif.

Dalam pandangan Baudrillard, yang dikonsumsi masyarakat sesungguhnya adalah tanda (pesan, citra) ketimbang fungsi komoditas itu sendiri. Artinya, komoditas tidak lagi didefinisikan berdasarkan kegunaannya, tetapi berdasarkan apa yang dimaknai masyarakat itu sendiri. Dan, apa yang dimaknai masyarakat bukan dalam pengertian apa yang mereka lakukan, melainkan lebih pada hubungan masyarakat dengan seluruh sistem komoditas dan tanda.

Meminta seseorang memakai masker, misalnya, yang terpenting bukan sekadar kegunaan masker itu untuk menutup kemungkinan tertular dari Covid-19, yang tak kalah penting apakah orang itu merasa keren atau tidak dengan masker yang dipakainya.

Apa pun perubahan perilaku yang perlu dikembangkan masyarakat usai Covid-19 nanti, ada dua hal pokok yang perlu menjadi fokus perhatian. Pertama, proses rekayasa yang dilakukan perlu memahami apa yang disebut Ardorno sebagai ersatz.

Ersatz adalah nilai pakai kedua dari sebuah produk –yang justru lebih dipertimbangkan masyarakat dalam memutuskan produk apa yang mereka konsumsi.

Seseorang yang diminta social distancing, misalnya, kegunaannya tidak hanya untuk menjaga jarak agar tidak terkena droplet atau tertular virus korona atau Covid-19, tetapi yang tak kalah penting apa nilai kedua yang dirasakan ketika taat melakukan hal itu.

Sepanjang tidak ditemukan nilai kedua yang dirasa masyarakat sebagai gengsi, sepanjang itu pula upaya memasyarakatkan social distancing akan gagal. Kedua, proses rekayasa sosial perlu dikembangkan dengan berbasis gaya hidup masyarakat. 

Tak mungkin kita bisa meminta masyarakat bermasker jika nilai yang berkembang justru mengonstruksi masker sebagai simbol penderitaan dan ketidakberdayaan. 
 

Artinya, anjuran memakai masker, mencuci tangan, memakai hand sanitizer, belajar secara daring, dan lain-lain, harus ditempatkan sebagai bagian dari perkembangan mode –sesuatu yang trending dan digemari masyarakat karena memang dinilai sedang populer.

Tak mungkin kita bisa meminta masyarakat bermasker jika nilai yang berkembang justru mengonstruksi masker sebagai simbol penderitaan dan ketidakberdayaan. Mereka akan memakainya tanpa disuruh jika merasa masker jadi simbol kemajuan.

Daripada memaksa perubahan perilaku masyarakat yang serba-diskenario dari atas dan memaksa, mempersiapkan masyarakat menyambut era normal baru, akan lebih berkelanjutan jika dengan pendekatan persuasif dan berbasis gaya hidup.

Strategi ini butuh waktu lebih lama, tetapi dengan pemilihan  idiom yang tepat dan dukungan bintang-bintang idola masyarakat, maka bisa diharapkan upaya mempersiapkan masyarakat menyambut normal baru lebih efektif. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat