Arsitektur
Masjid Agung Pondok Tinggi, Kebanggaan Muslim Sungai Penuh
Bung Hatta menambahkan sebutan 'agung' untuk masjid kuno ini.
OLEH HASANUL RIZQA
Islam telah berabad-abad lamanya menyatu dalam kehidupan masyarakat Melayu. Jambi menjadi salah satu daerah kebudayaan Melayu dengan akar keislaman yang kuat. Ada beberapa masjid kuno yang menjadi saksi bisu penyebaran dakwah agama ini di sana. Di antaranya adalah Masjid Agung Pondok Tinggi.
Masjid ini berlokasi di tepi Jalan Depati Payung, Kelurahan Pondok Tinggi, Kota Sungai Penuh, Jambi. Masjid Agung Pondok Tinggi adalah salah satu khazanah kuno dalam lingkup sejarah Islam di sekitar Gunung Kerinci.
Rumah ibadah ini dibangun secara bergotong royong pada 1 Juni 1874. Itu bertepatan dengan hari Rabu yang dipandang masyarakat setempat kala itu sebagai waktu baik untuk membangun suatu tempat ibadah.
Memasuki awal abad ke-20, masjid yang dicita-citakan itu pun tuntas dikerjakan. Hingga kini, situs bersejarah tersebut masih tegak berdiri serta menjadi kebanggaan masyarakat setempat. Bahkan, gambar masjid ini diterakan dalam lambang Pemerintah Kota (Pemkot) Sungai Penuh.
Diketahui, masjid itu awalnya dinamakan Masjid Pondok Tinggi saja, tanpa embel-embel agung. Pada 1953, Wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengunjungi lokasi itu. Sang proklamator Indonesia itu menyarankan agar ada penyematan sebutan agung. Sejak saat itu, nama masjid ini menjadi Masjid Agung Pondok Tinggi.
Mengutip laman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Masjid Agung Pondok Tinggi memiliki corak arsitektur yang khas Nusantara. Atapnya berbentuk tumpang tiga dengan konstruksi berbahan dasar kayu. Kayu juga mendominasi bagian interiornya, terutama dinding dan tiang-tiang penyangga.
Di samping itu, ada pula berbagai ukiran khas kebudayaan Kerinci yang tergurat di sana. Itu diperindah dengan motif sulur-suluran serta hiasan geometris. Ukiran terawangan pada dinding masjid ini juga berfungsi sebagai ventilasi udara.
Di dalam masjid tersimpan sebuah beduk dengan panjang lebih dari lima meter. Menurut adat masyarakat Kerinci, beduk tersebut tak hanya berfungsi sebagai penanda masuknya waktu shalat. Ia juga dibunyikan untuk menandai dimulainya pertemuan warga atau adanya peristiwa-peristiwa tertentu.
Masjid Agung Pondok Tinggi berdenah bujur sangkar. Ukurannya seluas 30 x 30 meter persegi. Pada bagian atasnya, terdapat mustaka dengan puncaknya yang berhias bentuk bulan sabit dan bintang. Dinding masjid dihiasi dengan ukiran motif flora.
Pada beberapa bagiannya terdapat kisi-kisi yang berfungsi sebagai tempat masuknya aliran udara. Di setiap sudut dinding, ada hiasan bermotif sulur-suluran. Lantai masjid ini, khususnya pada ruangan yang dipakai sebagai tempat shalat, terbuat dari ubin.
Untuk memasuki masjid ini, pengunjung dapat melalui dua pintu berdaun ganda. Seperti pada dinding, pintu itu pun berhiaskan ukiran motif tumpal dan sulur-suluran. Ada 36 buah tiang kayu berbentuk segi delapan yang menyokong atap masjid ini. Tiang-tiang itu tampak indah dengan hiasan ukiran berupa motif tumpal dan sulur-suluran. Semuanya dapat dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama, Tian panjan sambilea. Tiang ini adalah soko guru, atau dalam bahasa setempat disebut juga tian tuao (tiang tua). Ini terdiri atas empat tiang dengan diameter masing-masing 0,90 meter. Letaknya persis di tengah-tengah ruang utama masjid.
Kedua, Tian panjan limao. Terletak di sebelah luar soko guru, kelompok tiang ini melambangkan pucuk larangan yang delapan atau delapan larangan sosial setempat. Maknanya, hukum adat pun bersisian dengan hukum agama (adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah). Ada delapan buah tiang dengan diameter 0,65 meter di kelompok ini.
Terakhir, Tian panjan duea. Jumlahnya sebanyak 24 buah tiang, berdiameter masing-masing 0,65 meter. Ini menjadi luaran atau yang mengelilingi tiang kelompok kedua. Tiang-tiang ini terletak di tepi dekat dinding, tetapi kini berkurang sebuah. Sebab, satu tiang dilepas untuk memberi tempat bagi ruang imam.
Mihrab masjid terletak di sebelah barat. Bentuknya adalah persegi panjang dengan ukuran seluas 3,10 x 2,40 meter persegi. Pada bagian depan mihrab terdapat bentuk lengkung yang berhiaskan ukiran motif geometris dan sulur-suluran. Ada pula tempelan tegel keramik pada sekitar hiasan itu. Bagian mimbar masjid berukuran 2,40 x 2,80 meter persegi, dihias dengan ukiran motif sulur-suluran dan atap berbentuk kubah.
Satu hal yang cukup unik dari Masjid Agung Pondok Tinggi. Tempat muazin mengumandangkan azan bukanlah di lantai atau dekat mimbar. Alih-alih demikian, lokasinya terletak di atas tiang utama masjid. Untuk sampai ke sana, seorang juru azan mesti menapaki tangga. Tangga itu cukup menarik hati. Bentuknya diperindah dengan ukiran motif sulur-suluran.
Pada ujungnya, terdapat sebuah panggung kecil berbentuk bujur sangkar dengan luas 2,60 x 2,60 meter persegi. Seperti bagian-bagian lain di interior masjid ini, tempat itu pun dihiasi ukiran bermotif flora, terutama pada pagarnya. Panggung kecil itulah yang menjadi tempat muazin berdiri dan mengumandangkan azan.
Tempat muazin mengumandangkan azan bukanlah di lantai atau dekat mimbar.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.