Teraju
Mengintip Credit Rating Asia
Lembaga rating sudah mulai pula memelototi kesehatan fiskal.
OLEH AGUNG P VAZZA
Perekonomian masih sakit. Seluruh penentu kebijakan di negara-negara Asia masih berupaya keras menghentikan penyebaran dan pandemi Covid-19. Bersamaan dengan itu, disibukkan pula dengan antisipasi dan mitigasi imbas pandemi terhadap perekonomian.
Sejumlah paket stimulus diluncurkan dengan tetap mengutamakan dukungan langsung pada sektor kesehatan. Stimulus tentu juga menopang sektor-sektor perekonomian yang terimbas, termasuk usaha kecil dan menengah.
Bank-bank sentral di kawasan sudah pula mengeluarkan amunisinya berupa pemangkasan suku bunga, memperkuat likuditas, sampai quantitative easing. Namun, kebijakan fiskal diprediksi memainkan peran lebih besar untuk meredam imbas penyebaran virus terhadap perekonomian.
Langkah cepat guna memitigasi dampak ekonomi pandemi, termasuk melalui stimulus fiskal, jelas sebuah keharusan. Hanya saja, mungkin perlu pula memperhatikan kalau lembaga rating sudah mulai pula memelototi kesehatan fiskal. Ini berarti pemangku kebijakan di banyak negara Asia perlu lebih berhati-hati menggunakan dana tambahan fiskal yang antara lain melalui utang, agar tak mengganggu rating utang jangka pendek.
Tiga lembaga rating global, Standard &Poor's, Moody's, dan Fitch, memang belum menurunkan rating perekonomian besar Asia. Namun, Nikkei Asia Review melansir prakiraan yang dipublikasikan ketiga lembaga tersebut, lebih rendah dari sebelumnya. Setidaknya untuk sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Filipina. Lantaran prakiraan itu berdasarkan keti dakpastian perekonomian, politik, dan kesehatan fiskal saat ini, maka efektivitas stimulus fiskal boleh jadi cukup menentukan lanjut tidaknya kesulitan perekonomian.
Jepang, misalnya, memainkan stimulus sampai satu triliun dolar AS atau sekitar 20 persen dari produk domestik bruto (PDB). Paket stimulus Korea Selatan tercatat mencapai 13,3 persen dari PDB. Di Asia Tenggara, stimulus Malaysia tercatat 15 persen, Singapura 13 persen, Filipina dan Indonesia masing-masing 7,8 persen dan 3,9 persen. Thailand mencapai kisaran 12 persen dari PDB.
Ketiga lembaga pemerinkat tadi memperkirakan rating kredit Thailand menurund dari positif ke stabil. Hanya saja, khusus negara ini, kekhawatiran bukan hanya soal ekonomi, tapi juga kerentanan politik. S&P memberi rating kredit BBB+ alias tetap berada di zona investasi, namun ketimbang membengkaknya utang, yang juga mendapat perhatian adalah kerentanan politik pasca kudeta militer 2014 lalu.
Kondisi serupa terlihat di Malaysia. Dalam merespons pandemi, Malaysia mengeluarkan stimulus sekitar 270 miliar ringgit atau sekitar 62 miliar dolar AS. Ini mencakup bantuan finansial bagi usaha kecil menengah. Stimulus dikeluarkan saat ketidakpastian politik di Malaysia dinilai masih cukup tinggi.
Fitch menurunkan prakiraan rating kredit Malaysia dari stabil menjadi negatif. Selain Malaysia, Fitch juga menurunkan rating kredit Filipina dari positif ke stabil, setelah pemerintahan Filipina meluncurkan stimulus moneter dan fiskal total sebesar 1,4 triliun peso atau sekitar 28 miliar dolar AS.
Indonesia boleh jadi meluncurkan paket stimulus lebih kecil, sekitar Rp 641,17 triliun atau sekitar 43 miliar dolar AS. Hanya saja, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan, defisit anggaran 2020 bakal melebar hingga 6,27 persen dari PDB atau mencapai Rp 1.028,6 triliun. Angka ini lebih besar dari yang dipatok dalam Perpres 54/2020 yang diperkirakan 5,07 persen dari PDB atau sekira Rp 853 triliun. Pembiayaannya antara lain menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) yang dibolehkan dibeli Bank Indonesia, sebagai bank sentral, di pasar perdana.
Langkah luar biasa itu sudah pula dituangkan dalam Perpres 54/2020 dan dilakukan secara berhati-hati. Presiden Joko Widodo pun menegaskan Indonesia bakal kembali menerapkan disiplin fiskal di kisaran tiga persen PDB pada 2023. Namun, S&P tetap menurunkan prakiraan rating kredit Indonesia dari stabil ke negatif. Posisi ini bukan mustahil diturunkan lagi jika dalam dua atau tiga tahun ke depan, kondisi fiskal di bawah perkiraan S&P.
Sedangkan Singapura, yang sudah meluncurkan paket stimulus sampai 64 miliar dolar Singapura, atau sekitar 45 miliar dolar AS, diprediksi tak mengalami perubahan berarti dalam rating. "Paket stimulus ini jelas untuk merespons situasi yang sangat unik. Pemerintah Singapura akan terus memastikan kebijakan moneter, fiskal, finansial, dan regulasi dilakukan secara ketat, demi mengurangi imbas pandemi terhadap kalangan bisnis dan rumah tangga," begitu pernyataan Wakil Perdana Menteri sekaligus Menteri Keuangan Singapura, Heng Swee Keat dilansir Nikkei Asian Review.
Begitupun, pandangan optimistis terhadap kesehatan fiskal sebagian negara-negara Asia masih mencuat. Situs S&P Global, melansir pandangan Govinda Finn, ekonom Aberdeen Standard Investments, yang menyebutkan rasio utang terhadap PDB banyak negara di Asia Pasifik, secara umum masih manageable, berada di kisaran 30 persen sampai 55 persen, kecuali India dan Jepang. "Implikasinya defisit fiskal pun masih tergolong manageable, yang pada 2019 lalu kebanyakan berada pada kisaran 3,5 persen PDB.
Sejumlah pemerintahan tetap mampu melebarkan defisit sampai di kisaran lima persen. "Tantangan utamanya justru pada bagai mana mengelola tahapan setelah pembatasan untuk mencegah penyebaran virus dikurangi, menghidupkan kembali perekonomian sekaligus mengantisipasi gelombang baru infeksi virus," papar Selena Ling, ekonom Oversea-Chinese Banking Corp, di Singapura.
Lembaga rating global boleh saja memprakirakan penurungan rating dengan segala argumentasinya. Tapi, yang pasti, pembatasan sosial di banyak negara di Asia masih diberlakukan. Akibatnya, sebagian besar aktivitas ekonomi pun tetap terbatas. Selama pandemi, belanja konsumsi melambat, sehingga banyak perusahaan mempertimbangkan kembali rencana investasi dan ekspansi. Maka, menurut Ahmed M Saeed, vice president Asian Development Bank (ADB) untuk Asia Tenggara, belanja pemerintah menjadi andalan.
"Pertanyaan soal utang adalah biasa. Apakah biaya modal yang dikeluarkan sepadan dengan manfaat ekonominya? Dalam situasi dan kondisi seperti saat ini, ketika perekonomian global dan regional terkontraksi hebat, pilihan utang plus meningkatkan belanja pemerintah memang sudah selayaknya," paparnya dilansir Nikkei Asia Review.
Sepanjang utang dan belanja pemerintah dilakukan secara efektif dan berhati-hati, pernyataan Ahmed mungkin ada benarnya. Namun, rasanya, perlu pula diingat, pembiayaan kebijakan fiskal melalui beragam stimulus yang sudah diluncurkan bakal menjadi beban perekonomian melalui pertumbuhan.
Bukan mustahil saat perekonomian beranjak pulih nanti, perpajakan mengalami kenaikan atau tuntutan menaikkan dividen badan usaha negara. Sulit berharap ada 'makan siang gratis'.
Perlu diingat, beragam stimulus bakal menjadi beban perekonomian melalui pertumbuhan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.