Pekerja melintas dengan latar belakang pembangunan gedung bertingkat di kawasan Kuningan, Jakarta, Jumat (3/4). Bank Indonesia (BI) mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia paling rendah 2,3 persen pada tahun ini yang akan ditopang oleh berbagai | Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Opini

Habis Covid Terbitlah Utang

Utang negara harus dipertanggungjawabkan lewat pemanfaatan yang tepat tanpa moral hazard.

 Oleh ANIF PUNTO UTOMO, Pemerhati Ekonomi              

 Wabah korona (jenis Covid-19) menyerbu ke hampir seluruh negara. Pandemi korona secara sistematis meluluhlantakkan perekonomian dunia. Pada krisis ekonomi Asia Tenggara 1998 dan krisis global 2008, beberapa negara bisa selamat dari sapuan krisis.

Namun, sekarang tidak ada satu negara pun yang bisa menghindar. Ekonomi Cina yang belasan tahun sempat tumbuh double digit saja takluk. Selama empat bulan dihajar Covid-19 (Desember-Maret) pertumbuhan ekonomi Cina di kuartal I 2020 tumbang (–6,8) persen.

IMF dalam publikasinya menulis, krisis ekonomi sekarang merupakan yang terburuk sejak great depression yang diawali di Amerika pada 1928.

Dalam artikelnya “The Great Lockdown: Worst Economic Downturn since the Great Depression” disampaikan, kebijakan karantina (lockdown) telah mengunci kegiatan ekonomi di masing-masing negara, lalu berimbas pada merosotnya perekonomian global.

Krisis ekonomi global akibat Covid-19 ini seolah melengkapi krisis yang diawali perang dagang Amerika-Cina dan dilanjutkan dengan terpuruknya harga minyak dunia gara-gara keserakahan Rusia dan Arab Saudi.

Hantaman beruntun membuat masing-masing negara sibuk menyelamatkan diri dari kebangkrutan ekonomi dengan meluncurkan stimulus ekonomi. Ini ditempuh untuk menyelamatkan kesehatan masyarakat dan ekonomi negara.

Amerika mengalokasikan stimulus 10,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) sebesar 2 triliun dolar AS. Jerman menganggarkan 10 persen dari PDB atau setara 860 miliar dolar AS.

 
photo
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kiri), dan Deputi Gubernur Erwin Rijanto, memberikan keterangan pers mengenai langkah kebijakan untuk menjaga stabilitas moneter dan keuangan akibat dampak virus corona di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Senin (2/3). - (ANTARA FOTO)

Malaysia menggelontorkan 83,6 miliar dolar AS atau 10 persen PDB. Australia menyuntik 189 miliar dolar AS atau 9,7 persen dari PDB.  Indonesia melakukan hal serupa, tapi secara persentase terhadap PDB hanya  2,6 persen senilai Rp 405,1 triliun.

Negara lain yang persentase stimulusnya setara adalah Prancis (45 miliar euro atau 2,1 persen PDB), Italia (25 miliar euro atau 1,4 persen PDB), dan Cina (1,3 triliun yuan atau 1,2 persen PDB).

Lantas, dari mana dana untuk membiayai stimulus, sementara pendapatan dari pajak sebagai andalan pendapatan negara terjun bebas? Hanya ada dua pilihan: mencetak uang atau utang.

Keinginan agar pemerintah mencetak uang baru sudah disampaikan Banggar DPR. Menurut mereka, mencetak uang lebih efisien daripada utang. Apalagi, utang pemerintah sudah menggunung, per April 2020 mencapai Rp 5.192 triliun.

Gagasan mencetak uang baru saat ini mendapat angin setelah ekonom revolusioner yang juga seorang insinyur Warren Mosler menawarkan ide Modern Monetary Theory (MMT). Sebuah teori yang mendewakan pencetakan uang daripada mengandalkan utang.

Warren mendapat dukungan penuh Stephanie Kelton, profesor perempuan bidang kebijakan publik dan ekonomi di Stony Brook University yang juga penasihat ekonomi Bernie Sanders saat kampanye presiden AS 2016.

Inti MMT, pemerintah bisa belanja publik sebanyak-banyaknya dengan mencetak uang sesuai yang dibutuhkan. Strategi mendorong UMKM, menggerakkan ekonomi, atau mengurangi beban utang, misalnya, dipenuhi dari mencetak uang.

Tidak ada defisit anggaran karena kekurangan ditutup dengan mencetak uang baru. Jika terjadi inflasi, instrumen pajak yang dimainkan. Namun, teori yang banyak didukung kalangan sosialis-populis ini belum mendapat legitimasi kuat.

Mayoritas ekonom menolak karena terlalu berisiko. Terjadinya hiperinflasi, seperti di Venezuela dan Zimbabwe, terus memenuhi bayangan. Sehingga pilihan untuk membiayai stimulus tetap dari utang. 

Amerika yang tahun lalu menarik utang 1,9 triliun dolar AS, tahun ini gara-gara korona, harus menjaring utang 3,3 triliun dolar AS. Jerman menambah utang baru 160 miliar dolar AS untuk mendanai stimulus. Inggris akan menerbitkan obligasi 222 miliar dolar AS pada Mei-Juli.

Pasar uang dunia sedang berpesta pora karena banyak pilihan obligasi. The Economist dalam tulisan “After the Disease, the Debt” mencatat, secara persentase utang publik kali ini merupakan yang terbesar sejak pemulihan akibat Perang Dunia ke-2 pada 1945.

Utang di negara-negara maju, naik dari 6 triliun dolar AS menjadi 66 triliun dolar AS, yang jika dipersentasekan dengan PDB, naik dari 105 persen PDB menjadi 122 persen. Sejauh ini berutang masih menjadi pilihan terbaik untuk membiayai stimulus.

Namun, pemerintah tak bisa diberi cek kosong. Harus diawasi secara ketat. Jangan sampai terulang kejadian krisis 1998, terjadi moral hazard ketika pemerintah menyalurkan obligasi rekapitulasi Rp 650 triliun untuk menyelamatkan perbankan.

Beberapa pekan terakhir, sempat tersiar kabar social safety net berupa penyaluran sembako di beberapa wilayah tak tepat sasaran. Bahkan, ada birokrat tega memangkas harga sembako yang dianggarkan Rp 150 ribu per paket, yang dibelanjakan Rp 110 ribu.

Kini, yang disorot adalah alokasi dana stimulus dari utang  Rp 149,1 triliun untuk BUMN, yakni Rp 94,23 triliun untuk kompensasi dan penugasan BUMN, penyertaan modal Rp 25,27 triliun, dan talangan modal kerja BUMN Rp 32,65 triliun (dua di antaranya diberikan kepada perusahaan yang sekarat, yakni Garuda dan Krakatau Steel).

Covid-19 menjadikan negara makin banyak berutang. Catatannya, utang itu harus dipertanggungjawabkan lewat pemanfaatan yang tepat tanpa moral hazard

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat