Pimpinan DPRmemimpin Rapat Paripurna masa persidangan III Tahun Sidang 2019-2020 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. | RAQILLA/ANTARAFOTO

Opini

Regulasi Pascapandemi

Untuk menanggulangi pandemi dan akibatnya, semua RUU penting dan mendesak disahkan.

Oleh TEDDY ANGGORO, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Sudah lebih dari dua bulan ini, negara disibukkan dengan berbagai upaya menghadapi pandemi Covid-19. Masyarakat sibuk bersatu padu saling membantu.

Di bidang hukum, pemerintah sibuk dengan menyusun dan mengundangkan banyak peraturan. Tercatat per tanggal 16 April, sudah ada sembilan peraturan yang diterbitkan Presiden.

Mulai dari tingkatan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, sampai instruksi presiden. Ini belum ditambah peraturan dan keputusan di tingkat menteri, lembaga, dan pemerintah daerah.

 
Fakta ini membuat setiap negara, termasuk Indonesia tidak bisa berharap pada bantuan negara lain atau organisasi dunia. Artinya, Indonesia harus memulihkan dirinya sendiri.
 
 

Penerbitan peraturan itu menjadi dasar hukum tindakan pemerintah dan masyarakat agar penyebaran Covid-19 berakhir dan menanggulangi segala akibat yang timbul.

Jika kita perhatikan, yang dilakukan pemerintah adalah tindakan untuk saat ini atau lebih tepatnya selama pandemi berlangsung. Selanjutnya timbul pertanyaan, bagaimana peran hukum pascapandemi?

Kita ketahui banyak lembaga riset terkemuka memprediksi kehancuran luar biasa pada tatanan ekonomi Indonesia. Diperkirakan, peningkatan kemiskinan sebesar 1,1 juta sampai 3,8 juta jiwa. Selain itu, pengangguran akan meningkat 2,9 juta sampai 5,2 juta jiwa.

Karena itu, sangat relevan ketika pemerintah memprediksi pertumbuhan ekonomi maksimal 2,3 persen bahkan skenario terburuk minus 0,4 persen.

Adapun di regional Asia, IMF melalui Kepala Ekonomi, Gita Gopinath, dalam keterangan resmi pada 15 April 2020 memprediksi pertumbuhan ekonomi hanya 1 persen. Yang memberatkan karena ini adalah krisis global, menimpa lebih dari 150 negara lainnya di dunia bersamaan.

IMF melaporkan krisis ekonomi akibat Covid-19 lebih buruk dari krisis great depression tahun 1930, bahkan lebih parah daripada krisis keuangan global tahun 1998 dan 2008. Pertumbuhan ekonomi global tahun 2020 akan turun menjadi -3 persen.

Fakta ini membuat setiap negara, termasuk Indonesia tidak bisa berharap pada bantuan negara lain atau organisasi dunia. Artinya, Indonesia harus memulihkan dirinya sendiri.

Tentu bukan hanya itu, melainkan tetap mengejar peningkatan perekonomian setelah wabah ini berakhir, seperti keluar dari middle income trap, sampai kemiskinan 0 persen pada 2045. Sehingga dapat dikatakan, pemerintah harus bekerja dalam dua jalur secara simultan. Pertama, bekerja untuk menghentikan pandemi dan segala akibatnya. Kedua, mempersiapkan strategi, aksi, dan dasar hukum bagi tindakan pemulihan pascapandemi.

photo
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Pejuang Hak-hak Buruh berunjuk rasa di Alun-alun Serang, Banten, Sabtu (21/3). Mereka menolak pengesahan RUU Omnibus Law dan mendesak Pemerintah untuk membatalkanya - (ANTARA FOTO)

Masalah regulasi

Dalam keadaan normal, Indonesia memiliki banyak permasalahan hukum yang berakibat pada timbulnya permasalahan di berbagai aspek ekonomi, mulai dari masalah regulasi seperti disharmoni, sampai obesitas regulasi.

Selain itu, masalah struktural, seperti birokrasi rumit, budaya koruptif, sampai penyalahgunaan dan tumpang tindih kewenangan. Masalah hukum tersebut telah dikaji banyak pihak, mulai dari universitas, LSM, hingga Bank Dunia.

Semua merekomendasikan pemerintah dan/atau bersama DPR membuat peraturan perundang-undangan yang kuat untuk menyelesaikan semua permasalahan tersebut.

Sayangnya, Indonesia belum maksimal menjalankan rekomendasi tersebut, padahal untuk pemulihan dan mengejar kembali target ekonomi, Indonesia tidak boleh memiliki hambatan regulasi sama sekali.

Ini dapat dilihat dari substansi reformasi peraturan oleh pemerintah, seperti RUU Omnibus Law yang masih meninggalkan banyak substansi tercecar, padahal itu sangat penting, khususnya untuk menjadi dasar hukum pemulihan ekonomi nasional pascapandemi.

Contoh paling mudah, World Bank dalam Ease of Doing Business (EoDB) memberikan nilai rendah indikator getting credit. Masalah paling besar adalah UU Jaminan Fidusia dan UU Hak Tanggungan tidak kuat menjamin hak kreditor.

Namun, amendemen kedua UU tersebut tidak masuk prolegnas. Padahal, kemudahan kredit merupakan salah satu cara pemulihan ekonomi secara cepat pascapandemi.

Lainnya, indikator resolving insolvency, selama ini UU Kepailitan tidak bekerja sebagaimana tujuan kepailitan, karena proses kepailitan high cost dan proses pemberesan harta pailit membutuhkan waktu lama.

Namun, RUU ini juga tidak masuk prolegnas. Padahal, fakta lumpuhnya dunia usaha saat ini, pasti akan mengakibatkan kredit macet dan jutaan wanprestasi. Proses kepailitan yang efisien dan cepat adalah jalan keluarnya.

photo
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif (kanan) menerima draft pandangan mini fraksi yang diserahkan oleh anggota Komisi VII DPR Fraksi PAN, Eddy Soeparno dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/5). Pemerintah bersama Komisi VII DPR sepakat mengesahkan Revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009 dan selanjutnya akan dibawa ke sidang paripurna untuk dijadikan undang-undang - (Didik Setiawan/ANTARA FOTO)

Untuk menanggulangi pandemi dan akibatnya, semua RUU penting dan mendesak disahkan. Baik yang sudah masuk prolegnas termasuk RUU Omnibus Law maupun RUU lain yang penting pascapandemi.

Mengingat Pasal 23 ayat (2) UU No 15 tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur pengajuan RUU di luar prolegnas dengan alasan keadaan luar biasa, konflik dan bencana alam serta keadaan lain yang merupakan urgensi nasional.

Jika beberapa waktu lalu, banyak pihak mempertanyakan kerja legislator pada masa pandemi. Ini waktu yang tepat membuktikan kerja keras bersama pemerintah membahas dan mengesahkan RUU dalam prolegnas dan di luar prolegnas, yang penting dan mendesak, dengan waktu sesegera mungkin tanpa mengurangi mutu UU. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat