Kabar Utama
Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi
Pemerintah berdalih kenaikan sesuai putusan Mahkamah Agung.
JAKARTA -- Pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020. Langkah ini dilakukan setelah perpres terdahulu perihal kenaikan iuran tersebut dibatalkan Mahkamah Agung (MA) pada Maret lalu.
Ketentuan kali ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 5 Mei dan diunggah di situs Kesekretariatan Negara kemarin.
Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa besaran iuran untuk peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas I sebesar Rp 150 ribu per orang per bulan, naik dari nominal sebelumnya senilai Rp 80 ribu. Iuran kelas II sebesar Rp 100 ribu per orang per bulan, naik dari sebelumnya Rp 51 ribu. Iuran ini dibayar oleh peserta PBPU dan peserta PB atau pihak lain atas nama peserta.
Sepanjang 2020, iuran kelas III ditetapkan Rp 25.500 per orang per bulan dibayar peserta PBPU dan PB atau pihak lain atas nama peserta. Nanti pada 2021, tarifnya naik menjadi Rp 35 ribu per orang per bulan. Kenaikan pada 2021 itu terkait dikuranginya subsidi pemerintah bagi peserta kelas III dari Rp 16.500 menjadi Rp 7.000.
Sebelumnya, Presiden sempat menaikkan iuran BPJS pada Oktober 2019 melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019. Kendati demikian, perpres itu digugat ke Mahkamah Agung (MA). MA mengabulkan gugatan itu pada Maret 2020 dan memerintahkan pembatalan kenaikan.
Terkait hal itu, perpres terbaru mengatur bahwa iuran BPJS Kesehatan untuk periode Januari, Februari, dan Maret 2020 sesuai Perpres 75/2019. Perinciannya, kelas I Rp 160 ribu per orang per bulan, kelas II Rp 110 ribu per orang per bulan, dan kelas III Rp 42 ribu per orang per bulan.
Sedangkan, iuran untuk April, Mei, dan Juni 2020 sesuai eksekusi pembatalan kenaikan seperti yang diputuskan MA. Perinciannya, kelas I Rp 80 ribu per orang per bulan, kelas II Rp 51 ribu per orang per bulan, dan kelas III Rp 25.500 per orang per bulan. Setelah itu, Perpres 64/2020 yang diterbitkan kemarin akan berlaku.
Menurut Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah, salah satu pertimbangan MA mengabulkan gugatan adalah kenaikan BPJS Kesehatan tak semestinya dilakukan saat kemampuan ekonomi masyarakat tidak meningkat. MA menilai bahwa alasan kenaikan iuran untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan yang mencapai Rp 15 triliun tahun lalu tak relevan. Alasan selanjutnya, kenaikan iuran itu tak diimbangi upaya "perbaikan dan peningkatan kualitas pelayanan dan fasilitas kesehatan yang diperoleh dari BPJS kesehatan".
Saat ini, argumen bahwa kenaikan bisa membebani rakyat relatif menguat seiring kondisi perekonomian yang memburuk disebabkan maraknya PHK di masa pandemi. Namun, di sisi lain, pandemi juga mendorong pemerintah untuk mengubah postur APBN melalui Perpres Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Perincian APBN 2020.
Penerbitan Perpres ini bukan merupakan pelaksanaan amar putusan MA, dimana apa yang diperintahkan oleh MA untuk dilaksanakan tetap belum dilaksanakan.
Dalam postur yang baru, belanja kesehatan mendapatkan penambahan Rp 75 triliun dari dana penanganan Covid-19. Dana itu untuk perlindungan dan insentif tenaga medis, belanja alat kesehatan prioritas, serta peningkatan kualitas 132 rumah sakit rujukan Covid-19.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto beralasan, kenaikan iuran dilakukan demi menjaga keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan. Airlangga menambahkan, kendati memutuskan untuk menaikkan iuran, pemerintah tetap memberikan subsidi kepada peserta. Mengacu ke Pasal 29 Perpres 64 Tahun 2020, pemerintah memang menanggung iuran bagi peserta PBI (penerima bantuan iuran).
Sementara itu, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) yang sebelumnya menggugat kenaikan iuran melihat pemerintah sedang berupaya mengakali keputusan MA. "Walau ada perubahan jumlah angka kenaikan, tapi dirasa masih memberatkan masyarakat, apalagi masih dalam situasi krisis wabah virus korona," ujar Sekretaris Jenderal KPCDI Petrus Hariyanto saat dikonfirmasi, Rabu (13/5). Oleh karena itu, KPCDI berencana kembali mengajukan uji materi ke MA atas perpres tersebut.
Pihak MA telah meyatakan tak akan melakukan tindakan hukum atas keluarnya perpres terbaru. Juru Bicara MA Andi Samsam Nganro mengatakan, kebijakan Presiden Joko Widodo menerbitkan perpres baru tentu sudah dipertimbangkan dengan saksama. "MA hanya berwenang untuk mengadili perkara permohonan hak uji materil terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah UU," ujar dia.
Sedangkan, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menyatakan, perpres yang baru ini sudah seturut dengan putusan MA. "Langkah ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam menjalankan putusan MA," ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (13/5).
Ia mengeklaim, perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat yang disampaikan di DPR, khususnya dari para anggota Komisi IX, terutana mengenau pemberian bantuan iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU)/mandiri dan bukan pekerja kelas III.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menyebutkan, penyesuaian tarif BPJS kesehatan yang baru dilakukan tidak akan berdampak signifikan terhadap pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun ini. Termasuk di tengah pembatasan aktivitas ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Askolani mengatakan, pemerintah tetap akan memberikan subsidi terhadap kelompok masyarakat yang dianggap paling membutuhkan, yakni kelas tiga peserta mandiri. "Untuk kelas III yang jumlahnya paling besar, masih diberikan subsidi tarifnya oleh pemerintah tahun ini," ujarnya saat dihubungi Republika, Rabu (13/5).
Sedangkan anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati menyebut kenaikan kembali tarif BPJS Kesehatan menyalahi berbagai undang-undang. "Penerbitan Perpres ini bukan merupakan pelaksanaan amar putusan MA, dimana apa yang diperintahkan oleh MA untuk dilaksanakan tetap belum dilaksanakan," kata politikus PKS itu kepada Republika, Rabu (13/5).
Diakui Kurniasih, Putusan MA hanya membatalkan ketentuan Pasal 34 dalam Perpres 75/2019. Sedangkan Perpres 64/2020 mengatur banyak hal lainnya yg tidak diputuskan oleh MA.
Namun, alasan pembatalan MA atas Pasal 34 Perpres 75/2019 adalah bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS. Pasal 2 UU SJSN menyatakan bahwa Sistem Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan berdasarkan asas kemanusiaan, asas manfaat, dan asas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara, Pasal 2 UU BPJS menyebutkan bahwa BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan asas kemanusiaan, manfaat, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. "Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan putusan MA maka Perpres 64/2020 haruslah tidak bertentangan dengan 2 UU di atas. Dalam hal ini Perpres 64/2020 masih menggunakan persepsi dan logika yang sama dengan penerbitan Perpres 75/2019, dengan demikian maka Perpres 64/2020 ini tetap belum menjalankan amar putusan MA," kata dia.
Di samping itu, Penerbitan Perpres 64/2020 sangat tidak sesuai karena pada saat ini kondisi masyarakat masih dalam situasi Bencana Nasional Pandemi Covid 19, sebagaimana ditetapkan oleh Presiden sehingga masyarakat berada dalam kondisi krisis ekonomi dan juga krisis kesehatan.
Penjadwalan kenaikan dengan pemberian waktu tenggang, menurut Kurniasih juga bukan merupakan jawaban atau pelaksanaan putusan MA tersebut, melainkan merupakan skema finansial dalam rangka kebijakan keuangan dan hanya berlandaskan pada sudut pandang ekonomi dan bukan perwujudan keadilan sosial, dan jaminan sosial dalam bidang kesehatan. "Seharusnya Pemerintah membantu meringankan beban rakyat di saat Pandemi yang memberatkan ekonomi rakyat, bukan menambah beban rakyat. Regulasi ini juga pasti akan menjadi beban bagi APBD," ujar Politikus PKS itu menambahkan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.