Opini
Transformasi Bank Syariah
Bank syariah memiliki competitive advantage berupa aset dan liabilitasnya bersifat fleksibel.
Oleh ABDUL MUID BADRUN, Dosen di Universitas Paramadina; MUHAMMAD ABDUH, Direktur BPR Syariah Amanah Ummah Bogor
Belum lama ini JP Morgan, lembaga riset keuangan terkemuka di dunia merilis hasil risetnya. Pertumbuhan ekonomi global, emerging market, dan kawasan Asia Pasifik direvisi 10 hingga 30 poin lebih rendah secara year to date.
Itu artinya, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan menurun pada kuartal I tahun ini dan berlanjut pada kuartal berikutnya. Dampak Covid-19 ini tentunya akan juga dirasakan industri perbankan di Indonesia.
JP Morgan juga menjelaskan risiko yang membayangi industri perbankan, yaitu penyaluran kredit, penurunan kualitas aset, dan pengetatan margin bunga bersih. Lalu, bagaimana ‘nasib’ perbankan syariah yang selama ini secara empiris resistan terhadap krisis?
Strategi apa yang bisa dilakukan agar masalah Covid-19 ini tidak berpengaruh signifikan terhadap industri perbankan syariah?
Mengacu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19, dampak langsung yang dialami industri perbankan syariah adalah krisis likuiditas. Ini harus diantisipasi sejak awal.
Dalam Pasal 16 Perppu dinyatakan, BI diberi kewenangan memberikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. Antara lain, kepada bank sistemik atau bank selain bank sistemik.
Apa itu bank sistemik? Yakni bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau secara keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial jika bank tersebut mengalami gangguan atau gagal (POJK Nomor 2/POJK.03/2018 Bab 1 Pasal 1 Ayat 2).
Pada poin b di Pasal 19 dijelaskan, BI diperkenankan memberikan pinjaman likuiditas khusus (PK) kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan pemberian pinjaman jangka pendek yang dijamin oleh pemerintah dan diberikan berdasarkan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK).
BI bersama OJK melakukan penilaian mengenai pemenuhan kecukupan agunan dan perkiraan kemampuan bank untuk mengembalikan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah. (Pasal 17 Ayat 1b). Dari sinilah, penggunaan fasilitas likuiditas tersebut sangat bermanfaat bagi perbankan syariah ketika mengalami krisis likuiditas.
Kalau kita baca data, hanya Bank Syariah Mandiri yang masuk kategori bank BUKU (Bank Umum Kegiatan Usaha) III yang modal intinya di atas Rp 5 triliun. BNI Syariah dan UUS (Unit Usaha Syariah) CIMB Niaga Syariah akan segera menyusul tahun ini.
Itu artinya, dari sisi modal inti pelan tapi pasti perbankan syariah mulai mengejar ketertinggalan dari bank konvensional. Kita patut bersyukur atas kondisi ini. Meskipun tahun ini, baru ada tiga bank syariah yang akan masuk BUKU III dari 34 bank syariah.
Selain itu, kampanye yang menyebut “Bank syariah sama bagusnya, sama lengkapnya dan sama modernnya” dengan bank konvensional perlu diteruskan.
Ini bukan saja meningkatkan kesadaran merek bank syariah, melainkan lebih prinsip dari itu bahwa bank syariah saat ini sudah sejajar dengan bank konvensional dari sisi layanan operasional.
Siapa yang memenangkan persepsi publik dan merebut simpati masyarakat, maka ia akan memenangkan persaingan pasar.
Bahkan, bank syariah memiliki competitive advantage berupa aset dan liabilitasnya bersifat fleksibel, karena tidak berbasis pada bunga yang sifatnya fixed. Inilah yang membuat bank syariah tahan terhadap krisis.
Dalam ilmu pemasaran, ada prinsip pemasaran adalah perang persepsi. Itu artinya, siapa yang memenangkan persepsi publik dan merebut simpati masyarakat, maka ia akan memenangkan persaingan pasar.
Karena itulah, setiap stakeholders industri keuangan syariah harus berhati-hati menjaga nama baik ini. Jangan dirusak dengan ‘praktik-praktik ribawi’ yang akan melemahkan persepsi baik bank syariah di Indonesia.
Munculnya Covid-19 sejak akhir Februari 2020, memberikan beberapa pesan transformatif spiritual bagi industri perbankan syariah. Pertama, tak ada yang tak mungkin. Itu artinya, industri perbankan syariah bisa menjadi pilihan ideal masyarakat.
Pilihan ideal ini didukung fakta bahwa menabung di bank syariah sama bagusnya dan aman. Bahkan, bagi hasilnya cenderung lebih tinggi daripada bunga karena bank syariah tidak mengenal istilah negative spread.
Kedua, dengan munculnya Covid-19 ini malah menjadi berkah tersembunyi. Apa itu? Insan perbankan syariah harus bisa move on dari sekadar ‘melayani’ yang sifatnya transaksional ke ‘mengajak’ yang sifatnya spiritual (QS an-Nahl: 125).
Ketiga, harus diakui bahwa transformasi spiritual di industri perbankan syariah harus diawali dari transformasi individual di internal perbankan syariah. Terutama dimulai dari pimpinan bank syariah.
Mengapa? Karena bisnis perbankan adalah bisnis kepercayaan. Jika bank syariah tidak mulai dari sini, baik secara akad, kebijakan, layanan, maupun operasional, momentum transformasi spiritual ini sekadar isapan jempol.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.