Buruh mengumpulkan gabah yang baru dipanen di persawahan Blimbingsari, Banyuwangi, Sabtu (2/5/2020). Petani menyayangkan penurunan harga gabah dari sebelumnya Rp4 | BUDI CANDRA SETYA/ANTARA FOTO

Opini

Menjaga Pangan

Pandemi ini menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian dan harus diantisipasi dengan cermat.

Oleh KUNTORO BOGA ANDRI, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian

FAO memperingatkan melalui Global Report on Food Crisis yang dikeluarkan bulan April lalu bahwa dunia dalam ancaman krisis pangan global. Rantai pasokan pangan dunia terancam karena kebijakan negara-negara dalam menekan penyebaran virus korona.

Misalnya, karantina wilayah atau lockdown, pembatasan sosial, dan larangan perjalanan. Kebijakan masing-masing negara dalam mencegah penyebaran Covid-19 turut berimplikasi pada kebijakan pangan ataupun kemampuan produksi mereka.

Negara yang memiliki ketergantungan impor pangan dan pengelolaan pangan buruk akan terdampak berat. Dalam kondisi seperti ini, negara-negara produsen pangan mulai membatasi produksi dan perdagangan.

Produsen daging di AS, Brasil, dan Kanada menutup pabrik demi menekan laju penyebaran virus Covid-19. Sejumlah negara Eropa membatasi ekspor, seperti Rusia yang membatasi ekspor gandum sepanjang April sampai Juni di angka tujuh juta ton.

Hal yang perlu kita syukuri, ketahanan pangan Indonesia meningkat sehingga kita dalam posisi yang baik dalam peperangan melawan Covid-19.  Dari beberapa laporan lembaga dunia ini, Indonesia tak termasuk yang akan krisis pangan.

 
Hal yang perlu kita syukuri, ketahanan pangan Indonesia meningkat sehingga kita dalam posisi yang baik dalam peperangan melawan Covid-19. 
 
 

Tentu, pandemi ini menjadi tantangan besar bagi sektor pertanian dan harus diantisipasi dengan cermat.  Presiden Joko Widodo pada rapat terbatas, Selasa (21/4) menyebutkan, ini momentum untuk reformasi besar-besaran dalam kebijakan sektor pangan.  

Arahan Presiden harus direspons cepat oleh pemangku kepentingan pertanian, baik di eksekutif, legislatif, swasta, hingga petani dan pelaku pasar pertanian lainnya. Ini peluang besar mengukuhkan diri sebagai pelaku utama di negeri sendiri dengan kemandirian pangan.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo telah mendorong pelaku pembangunan pertanian semakin erat bekerja sama. Pemerintah hadir untuk mengeluarkan kebijakan yang memihak petani dan menjalankan program guna meningkatkan produktivitas pangan.

Sinergi dengan berbagai pelaku pasar dan industri pertanian pun diperkuat. Indonesia juga berhasil menekan impor sejumlah komoditas strategis, seperti beras, jagung, termasuk hortikultura.

Neraca perdagangan sektor pertanian membaik dengan bertahannya  ekspor komoditas pertanian di tengah pandemi. Indikator lainnya, neraca ketersediaan dari data BPS dan Badan Ketahanan Pangan  untuk 11 komoditas strategis, diprediksi aman tiga bulan ke depan.

Neraca nasional hingga Juni diperkirakan surplus beras 6,4 juta ton, jagung 1,01 juta ton, gula pasir 1,07 juta ton, minyak goreng 5,7 juta ton,  dan bawang merah 330.384 ton. Bawang putih, cabai merah besar, cabai rawit, daging sapi, daging kerbau, telur ayam juga diperkirakan surplus.

Produksi beras sebagai pangan utama perlu dikendalikan optimal. Kondisi tanam yang masuk awal musim hujan 2019/2020 dominan pada November 2019, menyebar di lahan sawah baku seluas 3.794.930 hektare.

Pada Desember 2019, menyebar seluas 3.099.146 hektare, plus tanam Januari sehingga puncak panen jatuh pada periode Maret-Mei 2020 dan perlu diantisipasi pascapanen dan pergudangannya.

Untuk mengantisipasi kemarau panjang di pertengahan tahun nanti, Presiden Jokowi saat memimpin rapat terbatas dari Istana Merdeka, Jakarta, Selasa, 5 Mei 2020, memberikan arahan agar mempercepat masa tanam untuk musim berikutnya.

Sebab, berdasarkan prediksi  BMKG, 30 persen wilayah yang masuk zona musim akan mengalami kemarau lebih kering dari biasanya.  

Kita paham, pengelolaan pangan nasional tidak sebatas persoalan produksi. Masih banyak aspek yang perlu ditangani dari produksi, pascapanen dan pengolahan, pergudangan, logistik, hingga pemasaran di tingkat konsumen.

Tak heran Mentan Syahrul Yasin Limpo menekankan sinergi dengan semua pemangku kepentingan. Ketika Presiden mengungkapkan sejumlah wilayah defisit pangan, pemerintah terus memfasilitasi distribusi pangan dari wilayah surplus ke wilayah defisit.

 
Berdasarkan prediksi  BMKG, 30 persen wilayah yang masuk zona musim akan mengalami kemarau lebih kering dari biasanya. 
 
 

Pola distribusi pangan kita, perlu beradaptasi dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai strategi pemerintah dalam mencegah penyebaran Covid-19. Maka itu, perlu langkah tak biasa untuk bisa memodifikasi rantai pemasaran sehingga semakin efisien.

Pemerintah pun mengembangkan strategi sistem logistik nasional untuk menyederhanakan rantai distribusi pangan. Sebagai bagian dari efisiensi itu, Kementan menggaet perusahaan layanan distribusi daring ataupun start up yang bergerak di rantai pemasaran.

Jelas terlihat komitmen pelaku layanan penjualan dan pendistribusian daring ini dalam menyederhanakan rantai pemasaran produk pertanian, seperti Tokopedia, Gojek, Grab, Blibli, Tani Hub, Kedai Sayur, dan lainnya.

Selain itu, perlu digarap dan dilanjutkan partisipasi swasta yang turut menjembatani petani sebagai produsen dengan konsumen. Misal, Lazada dengan Rumah Sayur yang berkolaborasi membantu 2.500 petani binaan IPB untuk menjual hasil panen lewat laman Çari Sayur.

Tentu, negara butuh partisipasi semua pihak dan terus memfasilitasi gerakan masyarakat seperti ini. Bagaimanapun, pangan nasional bukan hanya tanggung jawab dan kepentingan kementerian, petani, ataupun pelaku dunia usaha, melainkan seluruh warga negara. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat