Opini
Covid-19 dan RI 4.0
Oleh ARIF SATRIA, Rektor IPB
Film the Internship yang dibintangi Owen Wilson dan Vince Vaughn adalah contoh menarik ketika dua mantan salesman yang minim penguasaan teknologi informasi tersebut magang di kantor Google.
Beda suasana kerja kantor lama dan kantor baru membuat keduanya menjadi “aneh” dan terkaget-kaget. Ada lagi film the Intern yang disutradai Nancy Meyers, yang diperankan oleh Robert De Niro (Ben) dan Anne Hathaway (Jules), mengisahkan hal yang mirip.
Ben seorang pensiunan berusia 70 tahun, magang di perusahaan daring. Hari pertama masuk kerja saat setelah duduk, Ben mengeluarkan alat kerjanya: buku catatan, pulpen, dan kalkulator besar.
Di sebelahnya, karyawan milenial mengeluarkan telepon pintar, flashdisk, dan laptop. Boleh dikata dua perusahaan tempat magang di kedua film tersebut adalah potret kerja pada era Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0).
Apakah kita di sini sudah memasuki RI 4.0? Apa hubungan RI 4.0 dengan Covid-19?
Namun sebenarnya, RI 4.0 bukan sekadar aplikasi teknologi canggih yang serbadigital.
Revolusi Industri 4.0 (RI 4.0) telah membawa kita ke dunia baru. Memang, salah satu pemicunya adalah revolusi teknologi 4.0 yang antara lain mencakup kecerdasan buatan (AI), internet of things, robotika, drone, cetak tiga dimensi, dan blockchain.
Namun sebenarnya, RI 4.0 bukan sekadar aplikasi teknologi canggih yang serbadigital, melainkan juga memerlukan perubahan cara berpikir dan bekerja sehingga perlu penguasaan skill baru yang lebih adaptif terhadap situasi baru ini.
Ternyata pandemi Covid-19 mempercepat kita beradaptasi dengan RI 4.0. Sebagian masyarakat yang selama ini belum mencoba atau menganggap penting, suka atau tidak suka telah masuk dalam “perangkap” RI 4.0.
Lebih-lebih pada era work from home (WFH) ini semakin terasa kehidupan pun berubah. Jadi, kita masuk ke RI 4.0 karena dipaksa keadaan (by accident). Ada enam bidang yang mengalami perubahan nyata.
Pertama, dunia pendidikan dipaksa memberlakukan pembelajaran daring, baik dari SD hingga perguruan tinggi selama pandemi ini. Dosen terpaksa harus belajar menyiapkan materi kuliah dan ujian daring serta cara menilai ketercapaian learning outcome.
Kampus terpaksa harus menyiapkan aturan main serta infrastrukturnya. Mahasiswa harus siap dengan belajar cara baru, bahkan harus siap ekstra kuota internet. Dalam taraf tertentu, belajar menjadi lebih fleksibel.
Hasilnya, kini semua dosen melek teknologi digital, yang sebelumnya masih gamang untuk memulai pembelajaran daring.
Kedua, dunia kerja dan birokrasi kini dicirikan dengan bekerja dari rumah (work from home/WFH). Ternyata kita bisa bekerja lebih fleksibel, efisien, dan cepat dengan media daring, hemat kertas, listrik, dan BBM. Kita semua makin terbiasa dengan telekonferensi lintas kota bahkan negara.
Dengan cara kerja baru, dunia kerja menghadapi tantangan menetapkan indikator kinerja pegawainya yang berbeda dari cara lama. Sistem insentif mesti berubah. Manajemen organisasi kerja mengalami disrupsi dan kita baru bisa beradaptasi secara parsial.
Ketiga, dunia kesehatan memasuki RI 4.0. Saat pandemi ini ada kekhawatiran pasien berkunjung ke rumah sakit. Interaksi dokter-pasien dianggap berisiko. Karena itu, muncul konsultasi dokter secara daring dan obat dikirim melalui jasa ekspedisi daring.
Bahkan, di negara maju kini sudah sampai pada praktik telemedicine yang berbasis artificial intelligence (AI). Sebenarnya, kita pun sudah menikmati AI untuk kesehatan dengan gawai pintar, seperti menghitung jumlah langkah sehari atau denyut jantung.
Keempat, dunia sosial diuntungkan berbagai platform yang memungkinkan donasi secara luas (crowd funding) dengan lebih cepat dan efisien.
Pada saat pandemi Covid-19, banyak kalangan memanfaatkan platform ini guna mencari dana untuk berbagai kepentingan sosial. Bahkan, artis-artis terkenal juga tanpa harus berkumpul mampu mengadakan konser amal secara daring dengan sukses.
Kelima, dunia transportasi daring makin meluas. Saat WFH, kirim barang dan beli makanan cukup menggunakan jasa ojek daring. Artinya, kita sudah percaya pada platform daring yang terkoneksi ke berbagai hal. Sistem ini telah mengendalikan perilaku manusia.
Keenam, dunia pertanian dan perikanan menghadapi cara baru. Pada era pandemi Covid-19, sebagian produk pertanian mengalami kelebuhan pasokan di desa dan harga jatuh. Distribusi konvensional terbatas.
Namun, kini sebagian petani mitra IPB menikmati penjualan secara daring dengan harga lebih baik. Konsumen menikmati harga lebih murah. Kebuntuan distribusi ini mestinya bisa diatasi dengan blockchain untuk mengatur logistik pangan lebih efisien.
Agenda ke depan agromaritim 4.0 adalah penerapan drone untuk memupuk dan pengendalian hama, traktor tanpa awak, robot bawah laut, satelit untuk melihat unsur hara di tanah dan kondisi ekosistem laut, dan bioinformatika untuk menghasilkan benih unggul.
Jadi, pandemi Covid-19 secara tidak disadari menggiring kita pada kehidupan baru yang merupakan cerminan RI 4.0 meski masih bersifat amat parsial. Apakah perubahan ini sementara saja semasa WFH atau permanen sekaligus mengantar kita ke pintu gerbang RI 4.0 sesungguhnya?
RI 4.0 hanyalah cara hidup, tetapi kalau kita ingin survive, cara hidup juga harus berkembang menyesuaikan zaman. Seperti kata Darwin, yang survive bukanlah yang paling kuat dan pintar, tetapi yang responsif terhadap perubahan. n
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.