X-Kisah
Perjuangan Pengungsi Rohingya Kala Ramadhan
Protokol pencegahan Covid-19 membuat para pengungsi kian nelangsa.
Sebanyak 1,1 juta orang pengungsi Rohingya di Bangladesh melalui masa-masa yang sulit dalam kondisi pandemi Covid-19. Ibadah pada bulan suci Ramadhan kali ini pun mereka jalani dengan penuh perjuangan.
Perasaan gembira dalam menyambut Ramadhan telah tergantikan oleh kesedihan bagi seluruh pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp. Suhu meningkat di tempat pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh. Hampir tidak ada tempat teduh. Pohon-pohon ditebang untuk membuat tempat perlindungan. Distribusi makanan tersendat. Begitu pula dengan tutupnya pasar sebagai imbas pembatasan sosial kala wabah virus korona.
Salah seorang pengungsi Rohingya yang enggan disebutkan namanya mengatakan, berpuasa saat kondisi seperti ini merupakan tantangan. Sementara itu, Ali Jinnah Hussain dari Asosiasi Pemuda Rohingya menjelaskan, seluruh pengungsi kamp tersebut panik setelah mendengar kabar tentang pandemi Covid-19.
“Kami panik ketika pertama kali mendengar tentang virus korona. Situasi ini sangat serius. Bagaimana kami bisa melakukan aktivitas dalam blokade yang berlangsung ketat ini?” kata dia.
Ali menambahkan, para pengungsi Rohingya sulit untuk menerima kenyataan, mereka tidak bisa melakukan ibadah bersama selama Ramadhan. Kondisi ini pun diperburuk dengan berkurangnya distribusi makanan yang disalurkan PBB melalui The World Food Programme (Program Pangan Dunia).
Juru Bicara Program Pangan Dunia Gemma Snowdon mengatakan, ada perubahan sementara dalam pendistribusian makanan kaleng. Tindakan ini terpaksa diambil untuk mengurangi risiko penyebaran Covid-19 di kamp-kamp pengungsi. Dengan demikian, selama Ramadhan, tiap keluarga pengungsi Rohingya hanya bisa mengantre sebulan sekali untuk mengambil jatah makanan.
Snowdon menyebut paket makanan terdiri atas dua porsi kacang polong kuning. Sebagai tambahannya ada buncis, kentang, beras, telur, rempah-rempah, minyak, dan sayuran. Pembatasan jarak juga diterapkan saat mereka antre. Semula, jumlah yang mengantre lebih dari seribu orang. Namun, kini dibatasi menjadi maksimal 500 orang.
“Keputusan untuk mengubah distribusi saat menjelang Ramadhan bukanlah keputusan yang mudah. Namun, itu tetap perlu dilakukan,” ucap Snowdon.
Seorang pengungsi Rohingya di Cox Bazar, Ali Mullah (26 tahun), mengaku sedih karena kehidupan di kamp semakin sulit saat pandemi terjadi. Ia mengatakan, ibunya takut sekali bila anak-anaknya meninggalkan kemah tempat tinggal. "Dia banyak menangis. Masjid ditutup, jadi dia bilang kita akan shalat lima kali sehari di kamp selama Ramadhan,” ujarnya.
Mullah menambahkan, sekarang dirinya mengalami banyak kesulitan. Ia juga terus memikirkan nasib istrinya yang hilang saat mereka menyelamatkan diri dari Myanmar ke Bangladesh. Keduanya berpisah dan hingga kini tak berjumpa lagi.
Pengungsi lainnya, Mohammed Aziz Ullah (23) juga merasakan pilu. Ia mengaku telah merencanakan jadwal ibadahnya untuk Ramadhan tahun ini sejak jauh-jauh hari. Semua itu buyar lantaran pandemi datang. Semua orang tak bisa leluasa keluar dari tenda-tenda pengungsian.
“Saya tidak bisa pergi keluar untuk bekerja. Jika saya tidak bisa bekerja, bagaimana saya bisa bersiap untuk berbuka puasa? Ini sangat sulit bagi orang-orang Rohingya yang tidak bersalah dan memang sudah lama sangat menderita,” kata Aziz Ullah.
Ramadhan pada tahun ini akan berbeda tidak hanya bagi pengungsi Rohingya. Masyarakat Muslimin Bangladesh pun merasa waswas karena harus menghadapi pandemi penyakit. “Situasi Covid-19 ini semakin buruk dari hari ke hari,” ujar Raju Ahmed (29 tahun), seorang petani Bangladesh. n
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.