Sejumlah murid sekolah dasar mengikuti proses belajar di rumah melalui siaran televisi akibat pandemi Covid-19 di Perum Widya Asri, di Serang, Banten, Selasa (14/4). | ANTARA FOTO

Opini

Wabah, Media, dan Puasa

Metode-metode penyampaian informasi melalui program siaran dibatasi dengan nilai dan norma.

 

Oleh AHMAD RIYADI, Asisten Komisioner KPI Pusat

Perilaku keagamaan, sosial, dan ekonomi masyarakat dalam bulan puasa Ramadhan tahun ini tampaknya akan berbeda dari sebelumnya. Wabah Covid-19 akan cenderung memaksa terjadinya domestikasi perilaku keagamaan, sosial, dan ekonomi masyarakat.

Yang biasanya ritus keagamaan ramai di tempat-tempat ibadah, hanya akan digelar dan dilaksanakan di rumah bersama keluarga. Seperti tarawih, tadarus, bahkan buka bersama tidak mungkin semeriah pelaksanaan amaliah sebelumnya.

Begitu juga, dengan aktivitas sosial kita dalam menjalankan ritme Ramadhan, berkumpul dengan teman-teman menunggu buka puasa hingga perilaku ekonomi masyarakat yang biasanya belanja di pusat keramaian, trennya akan mengalami penurunan.

Secara sosiologis, perubahan perilaku atau tindakan sosial masyarakat dibarengi pertimbangan-pertimbangan rasional.

Dalam konteks ini, masyarakat sangat bisa melakukan tindakan keagamaan, ekonomi, dan sosial dengan perangkat atau alat yang dimiliknya seperti sebelumnya. Namun, untuk mengurangi risiko penyebaran wabah, ia memilih tidak melakukannya.

Martin Suryajaya (2020) menyebut, penjarakan fisik pada masa wabah akan mengakibatkan perubahan dalam sektor ekonomi.

Deindustrialisasi merupakan salah satu gejala yang akan muncul. Ia akan menimbulkan pukulan ke sektor-sektor industri padat karya serta industri hiburan nondaring, seperti kafe, restoran, mal, dan tempat lainnya yang membutuhkan interaksi fisik.

Dalam konteks ini, internet dan media konvensional akan menjadi ruang tumpu masyarakat untuk menikmati hiburan. Semuanya, menurut Martin, akan beralih ke arah hiburan jarak jauh melalui sarana radio, televisi, dan internet.

Ketersediaan hiburan jarak jauh melalui radio, televisi, dan internet ini, alih-alih menjadi medium yang terjangkau di tengah wabah pada bulan Ramadhan, bukan tanpa menyisakan kekhawatiran.

Media hiburan seperti televisi yang mempunyai kedekatan (proximity) dengan masyarakat, juga media lainnya, bukanlah industri polos dengan idealisme mencerdaskan kehidupan masyarakat semata.

 
Alih-alih menyajikan siaran Islami, ia juga mempunyai motif laten yang melekat, yakni kepentingan bisnis. Motif laten ini akan terekam dalam program siaran yang kental dengan gincu tema-tema Islami.
 
 

Alih-alih menyajikan siaran Islami, ia juga mempunyai motif laten yang melekat, yakni kepentingan bisnis. Motif laten ini akan terekam dalam program siaran yang kental dengan gincu tema-tema Islami.

Kita akan menemukan komedi dengan sajian religi, hiburan dengan host menggunakan busana Islami, sinetron dengan sajian Islami, melubernya program dakwah, hingga perubahan jadwal program siaran ke jam-jam yang sebelumnya dinilai jam hantu.

Akan ada program unggulan yang disiarkan pada saat sahur. Ini semata bukan hanya untuk mengisi waktu sahur, melainkan memanfaatkannya untuk mengeruk ramai pemirsa.

Dengan segala macam gincu Islami yang sebenarnya hiburan, akan memicu kelatahan industri untuk menyeragamkan program siaran. Inilah yang dikatakan Danang (2014) sebagai ideologi baru layar kaca, yaitu rating-share.

Pendapat di atas berkelindan dengan temuan Nielsen pada 2018 yang menyatakan, penonton televisi meningkat tajam pada bulan Ramadhan. Menurut dia, jumlah penonton televisi di 11 kota besar meningkat dari 5,9 juta per hari menjadi tujuh juta per hari.

Peningkatan jumlah penonton ini, menurut Nielsen, kerap terjadi pada waktu sahur.

Dengan demikian, keterjarakan fisik di tengah bulan Ramadhan ini yang mengakibatkan masyarakat menghindari tempat-tempat hiburan nondaring atau membutuhkan interaksi langsung, akan semakin menempatkan industri hiburan seperti televisi sebagai medium tunggal masyarakat untuk bertumpu mengulik hiburan, termasuk media lainnya.

Kritis

Tepat pada 18 Maret 2020, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerbitkan kebijakan berupa Surat Edaran tentang Pelaksanaan Siaran Pada Bulan Ramadhan. Penerbitan surat edaran ini tentu saja sebagai upaya menjamin ketersediaan program siaran di lembaga penyiaran, yang mendorong kekhusyukan masyarakat menjalankan ibadah puasa Ramadhan dan perlindungan publik sesuai aturan normatif penyiaran.

Sebagai aturan yang bersifat normatif, diharapkan metode-metode penyampaian informasi melalui program siaran dibatasi dengan nilai dan norma, hingga agama serta aturan positif lainnya.

Misalnya, penggunaan dai yang harus bersertifikasi MUI atau peniadaan program siaran dengan nuansa mistik, horor, dan supranatural serta beberapa cakupan aturan lainnya.

 
Misalnya, penggunaan dai yang harus bersertifikasi MUI atau peniadaan program siaran dengan nuansa mistik, horor, dan supranatural serta beberapa cakupan aturan lainnya.
 
 

Pendekatan ini patut diapresiasi sebagai upaya pencegahan dan mendorong peningkatan kualitas penyiaran di tengah seruan diam di rumah akibat pandemi. Apalagi, televisi dan radio akan menjadi salah satu media informasi yang banyak dijangkau masyarakat.

Namun, pendekatan normatif perlu dibarengi kritisisme masyarakat. Selain televisi dan radio, akses informasi hiburan dan lainnya bisa didapatkan melalui laman internet, yang sangat memungkinkan sebaran informasinya lebih luas dengan kontrol cenderung lemah. Berbeda dengan media konvensional yang relatif bisa diawasi.

Di tengah wabah Covid-19 dan posisi media yang kian sentral sebagai penyedia hiburan dan informasi, penulis berharap masyarakat tak hanya dijadikan atau memosisikan diri sebagai objek suapan informasi yang sifatnya hyper, pasif, dan mendorong perilaku konsumtif.

Upaya literasi yang digelar komunitas atau lembaga negara bisa digunakan sebagai perspektif memilah informasi serta tayangan dari media. Artinya, masyarakat mempunyai perangkat literatif sebagai lensa penyaring, kritis, atau bahkan menolak tayangan dan informasi tertentu yang tidak sesuai pengalaman dan kebutuhannya. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat