Dunia Islam
Cara Utsmaniyah Menangani Wabah
Para sultan menjadikan pulau-pulau sebagai lokasi karantina dari ancaman penyebaran wabah.
OLEH HASANUL RIZQA
Kesultanan Utsmaniyah mulai menjadi kekuatan yang amat diperhitungkan sejak berhasil menaklukkan Konstantinopel pada 1453. Dari masa ke masa, kerajaan ini terus mengekspansi wilayah kekuasaannya. Berbagai rintangan dihadapi para sultan di tiap kurun waktu pemerintahan. Bagaimanapun, munculnya wabah menjadi tantangan tersendiri yang membuat mereka tegar dan selalu belajar dari pengalaman.
Seperti dipaparkan Nukhet Varlik dalam disertasinya, "Disease and Empire: A History of Plague Epidemics in the Early Modern Ottoman Empire (1453-1600)" (2008), Kesultanan Utsmaniyah selama 64 tahun terus diterjang epidemi meski secara berkala. Dengan jumlah korban jiwa yang tak sedikit, tiap peristiwa wabah menjadi kesedihan bersama seluruh rakyat dan penguasa Utsmaniyah. Wabah juga selalu melumpuhkan aktivitas ekonomi sehingga memberi dampak jangka panjang.
Oleh karena itu, para sultan terus mencurahkan perhatiannya pada aspek antisipasi dan penanganan kala wabah terjadi. Saat epidemi berlangsung, warga Utsmaniyah sudah terbiasa untuk memilih antara dua pilihan: bertahan di rumah masing-masing atau sementara menyingkir ke perbukitan --jauh dari keramaian kota. Keduanya adalah bentuk karantina diri sehingga meminimalkan kontak persebaran penyakit. Lagipula, Rasulullah SAW berabad-abad silam juga sudah mengisyaratkan pentingnya karantina. Sabda beliau, "Jika ada wabah di suatu kota, janganlah kalian masuk. Kalau kalian sedang ada di dalamnya, janganlah kalian lari keluar."
Para sultan juga telah membuat berbagai fasilitas karantina. Ambil contoh, Pulau Chios di Laut Aegea --lepas pantai Yunani-- pernah dijadikan sebagai lokasi karantina warga, pelancong, dan/atau pedagang pada abad ke-16.
Siapapun yang terbukti baru saja datang dari kawasan yang terjangkit wabah mesti dikarantina di sana. Biasanya, durasinya sekitar 20 hari. Pulau Adalar dekat pantai Istanbul juga menjadi tempat karantina, khususnya bagi para tamu raja. Duta besar Habsburg untuk Utsmaniyah, Ogier Ghiselin de Busbecq (1554-1562), pernah menetap tiga bulan lamanya di sana demi menghindari wabah.
Siapapun yang terbukti baru saja datang dari kawasan yang terjangkit wabah mesti dikarantina di sana. Biasanya, durasinya sekitar 20 hari.
Tidak hanya berupa pulau yang terisolasi. Utsmaniyah juga mengembangkan pusat-pusat karantina yang dinamakan tahaffuzhanes. Mulanya, bangunan ini didirikan di Tuzla dan Urla. Seiring waktu, khususnya sejak abad ke-18 konstruksi serupa juga diadakan di banyak wilayah, termasuk sekitaran Istanbul, Edirne, dan kawasan pesisir Laut Hitam. Sesuai namanya, tahaffuzhanes berfungsi sebagai tempat sementara untuk mengisolasi orang-orang yang diduga terpapar wabah. Bila memerlukan pertolongan medis, mereka dapat dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Varlik menemukan, para penguasa Utsmaniyah terus menggiatkan pembangunan rumah-rumah sakit, setidaknya sejak seabad pasca-penaklukan Konstantinopel (Istanbul). Oleh karena itu, mereka cenderung siap saat menghadapi fenomena wabah. Sedikitnya, terdapat enam unit rumah sakit di ibu kota, Istanbul. Tata kota itu menunjukkan, tiap rumah sakit berlokasi di pinggiran kota. Hal ini sebagai langkah antisipasi agar jangan sampai penyakit yang sedang diidap para pasien menulari kebanyakan warga yang sehat.
Setelah berhasil mengalahkan Kekhalifahan Mamluk pada 1517, Utsmaniyah pun berdaulat menjadi pelindung Dua Kota Suci. Di Makkah dan Madinah, para sultan juga membangun sejumlah infrastruktur publik, termasuk tiga unit rumah sakit di kota kelahiran Rasulullah SAW itu. Pelayanan yang ada diperuntukkan bagi penduduk setempat maupun jamaah haji. Ketika wabah melanda Tanah Suci, keberadaan rumah sakit itu sangat bermanfaat untuk mengurangi dampaknya.
Lembaga-lembaga pendukung juga dibina pemerintah. Di antaranya adalah Madrasah Kedokteran Suleymaniye. Institusi ini dinamakan demikian karena dibangun pada era Sultan Suleiman I. Lokasinya masih satu kompleks dengan Masjid Suleymaniye di Istanbul. Fungsinya antara lain sebagai sentra pendidikan kedokteran. Di sana pula para pakar medis dari berbagai wilayah datang untuk berdiskusi, meneliti, dan mengobati masyarakat, terlebih di saat wabah berlangsung.
Sejak abad ke-16, Utsmaniyah memiliki tata kelola yang cukup efektif dalam memerangi wabah. Sultan memimpin langsung penanganan epidemi dengan memanfaatkan birokrasi yang efisien. Begitu terkonfirmasi ada wabah di suatu daerah, petugas lokal langsung membuat laporan ke Istanbul. Pemerintah pusat kemudian memerintahkan mereka untuk sigap: mengadakan karantina, mengimbau warga agar tetap di rumah, menyiapkan layanan medis, serta menjaga kebersihan fasilitas publik. Selain itu, administrasi juga mencatat jumlah korban jiwa dan memastikan penguburan yang layak dan aman bagi pasien wabah yang wafat.
Istanbul pun memerintahkan gubernur Mesir di Iskandariah menutup lalu-lintas transportasi. Para calon jamaah diminta mengurungkan ibadah haji.
Salah satu bukti efektivitas sistem penanganan ini dapat dilihat ketika wabah berkecamuk di Mesir pada 1579. Begitu mendapatkan kabar itu, Istanbul pun memerintahkan gubernur Mesir di Iskandariah untuk segera mengambil langkah antisipasi. Lalu-lintas transportasi rute Mesir-Istanbul ditutup sementara. Para calon jamaah juga diminta untuk mengurungkan ibadah haji pada tahun itu demi mencegah persebaran wabah.
Kadangkala, sultan mengambil cara yang lebih tegas. Misalnya, pada 1568 sultan menghukum seorang qadi Istanbul karena membiarkan para pengemis berkeliaran di jalan saat wabah terjadi. Ketentuan yang berlaku saat itu, kerumunan mesti ditindak. Orang-orang tetap bertahan di rumah masing-masing atau sekalian menyingkir ke perbukitan yang terisolasi. Bagi mereka yang fakir-miskin, otoritas setempat segera mendatanya untuk kemudian bantuan negara disalurkan.
Lahirnya vaksinasi
Jauh sebelum Wabah Hitam melanda Eropa dan kawasan Mediterania, penduduk dunia sudah takut akan wabah cacar. Berbagai manuskrip kuno telah mencatat ihwal wabah ini. Bahkan, para peneliti modern menemukan, mumi Firaun Ramses V (meninggal 1160 SM) menunjukkan adanya tanda-tanda cacar.
Cacar dipicu oleh infeksi virus. Uniknya, manusia adalah satu-satunya inang alami virus tersebut. Penularan cacar dapat melalui kontak langsung maupun tak langsung. Kini, cacar dapat dicegah melalui vaksinasi.
Ternyata, masyarakat Utsmaniyah merupakan yang pertama kali merintis vaksinasi cacar --jauh sebelum Eropa dan Amerika mengem bangkannya. Hal ini diuraikan Gulten Dinc dan Yesim Isil Ulman dalam artikel pada "Vaccinebertajuk The Introduction of Variolation 'A La Tur ca' to the West by Lady Mary Montagu and Turkey's Contribution to This" (2007).
Dinc dan Ulman menjelaskan, konsep kekebalan buatan sudah dikenal manusia sejak lama. Pada abad ke-10, bangsa Cina telah melakukan ini. Caranya dengan mengambil bekas luka bintil cacar yang telah mengering dari si sakit. Kemudian, borok yang telah mengering itu dimasukkan ke dalam lubang hidung orang lain. Tentu, harapannya agar orang tersebut dapat kebal cacar meskipun ada pula yang justru tertular penyakit tersebut.
Dinc dan Ulman mengatakan, teknik membuat kekebalan tubuh pada masa Utsmaniyah dikenal dengan istilah variolasi (variolation). Teknik variolasi pada dasarnya mengumpulkan serpihan-serpihan kulit yang telah terinfeksi cacar, untuk kemudian diberikan kepada orang yang normal. Tujuannya agar si resipien dapat kebal cacar. Variolasi pertama kali diperkenalkan orang-orang Turki Seljuk. Suku bangsa itu mulai menguasai Anatolia (kini negara Turki) sejak abad ke-11 atau sebelum munculnya Kesultanan Utsmaniyah. Orang Seljuk yang ahli variolasi diketahui mempraktikkan metode ini dalam upacara adat tiap musim gugur. Suatu manuskrip menggambarkan bagaimana seorang pria melakukan variolasi terhadap enam anak di Istanbul.
Sumber lain menyebut, variolasi dilakukan pertama kali oleh orang-orang Adighe (Circassian) yang tinggal di pesisir timur Laut Hitam. Pada abad ke-17, pengetahuan ini sampai di Utsmaniyah terutama melalui para perempuan Adighe yang menjadi selir sultan di istana. Suatu kompleks permakaman di Istanbul menjadi lokasi kuburan berbatu nisan tanggal 7 November 1697. Prasasti tu didirikan untuk mengenang putra Ali Chelebi, seorang dokter istana sekaligus ahli variolasi. Fakta bahwa anaknya Ali Chelebi wafat dalam usia 60 tahun menunjukkan, variolasi sudah dipraktikkan bertahun-tahun lamanya sejak permulaan abad ke-17.
Mulanya Vaksinasi Diterima Eropa
Pada abad ke-18, para doktor Utsmaniyah mulai memperkenalkan metode variolasi ke Eropa Barat. Publikasi pertama terkait teknik pencegahan cacar itu muncul pada 1713. Yakni, tulisan Dr Emanuel Timonius (wafat 1720) berjudul "Historia variolarum quae per instionem excitantur".
Timonius merupakan dokter berkebangsaan Yunani, tetapi pernah bekerja untuk rumah sakit di Istanbul. Artikel ini sempat beredar di beberapa kota di Eropa. Bahkan, kertas ilmiah ini sampai ke lingkaran The Royal Society --lembaga tempat berkumpulnya kaum terpelajar-- di London. Secara garis besar, karya Timonius itu menceritakan, bagaimana masyarakat Istanbul memanfaatkan teknik variolasi untuk mencegah cacar. Artikel itu sempat muncul di jurnal The Royal Society pada 1714.
Ada pula artikel senada, yakni tulisan karya Jacob Pylarini (meninggal 1718) berjudul "Nova et tuta variolas excitandi per transplantationem methodus, Venet". Isinya menuturkan tentang seorang perempuan Yunani dari Thessaly yang telah melakukan variolasi terhadap 40 ribu orang. Mirip dengan Timonius, Pylarini pun adalah seorang dokter berkebangsaan Yunani yang pernah praktik di Istanbul. Karyanya juga dikirim ke jurnal The Royal Society London, dua tahun setelah artikel Timonius.
Akan tetapi, seluruh penelitian dari kedua dokter itu tidak memantik perhatian dari para ahli medis Inggris. Keadaan berubah sejak terobosan oleh Lady Mary Worthley Montagu. Perempuan itu merupakan seorang sosialita kelahiran London tahun 1689. Dia dididik secara otodidak oleh ayahnya sendiri yang seorang bangsawan. Sejak kecil, ia piawai menulis dan memiliki keinginan belajar yang tinggi. Ia menikah dengan seorang duta besar Inggris untuk Istanbul.
Lady Montagu amat terpukul oleh kematian saudara lelakinya akibat cacar. Bahkan, dua tahun kemudian dirinya pun ikut terkena penyakit itu. Suatu hari, ia meminta dokter bedah kedutaan, Charles Maitland, untuk melakukan variolasi terhadap dirinya dan anak lelakinya. Hasilnya ternyata bagus. Putranya itu menjadi kebal.
Begitu kembali ke London, sang istri dubes itu kembali meminta dr Maitland agar melakukan variolasi ke anaknya yang berusia empat tahun. Kali ini, ia disaksikan para dokter ternama di Inggris. Setelah menyadari efektivitas variolasi, para pakar di The Royal Society pun membolehkan dr Maitland untuk membuka praktik tersebut. Tak kurang dari 200 elite setempat mencoba variolasi. Hingga tahun 1729, sudah ada 897 variolasi di Inggris. Dari jumlah itu, hanya 17 orang yang kemudian meninggal setelah diberikan variolasi.
Sepanjang awal abad ke-18, teknik itu terus populer di kalangan ilmuwan Eropa. Pada 1757, seorang anak lelaki usia delapan tahun divariolasi di Gloucester --kota di kawasan Inggris barat daya. Kelak, bocah itu tumbuh menjadi ilmuwan yang berhasil mengembangkan vaksin cacar secara lebih modern. Nama anak itu: Edward Jenner (1749-1823).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.