
Kabar Utama
Banting Setir Gegara Pandemi
Pekerja beralih profesi guna menyambung hidup di masa pandemi.
Oleh Ali Mansur, Bayu Adji P
Wabah virus Corona atau Covid-19 tidak hanya mengancam kesehatan tapi juga perekonomian. Salah satunya, Ahmad Panjul (34 tahun) yang sudah merasakan pekerjaannya mulai terancam sejak segelintir orang dinyatakan positif Covid-19. Ia terpaksa harus memutar otak untuk menjaga dapurnya tetap ngebul. Mencari alternatif pendapatan dari sumber lain.
Bekerja sebagai sales alias pramuniaga produk kartu kredit di salah satu bank swasta ternama di Jakarta, Panjul lebih mengandalkan gaji intensif dibanding gaji pokoknya. Praktisnya pemasukan turun drastis saat pandemi Covid-19 merebak, bahkan jauh sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di Jakarta.
"Ya awalnya gak nyangka dampaknya kaya gini. Tidak ada persiapan sama sekali, sekarang mah seberapa pun dapat duitnya kudu diirit-irit, susah pokoknya," ujar perantau asal Indramayu itu, saat ditemui Republika, Kamis (16/4).
Dulu, sebelum wabah Covid-19 meledak setidaknya Rp 8-10 juta masuk ke rekeningnya di tiap penghujung bulan. Uang itu, sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan saban harinya bersama dua anak dan satu istrinya. Termasuk, membayar uang sewa rumah (kontrakan), tagihan listrik, kartu kredit dan seabreg tagihan lainnya.
Kini demi menghidupi keluarga kecilnya, ia harus banting setir berkeliling menjual buah dan sayur. Sepeda motor matic pun yang kerap dikendarai untuk menemui kliennya pun disulap menjadi lapak jualan. Tidak banyak buah dan sayur yang dijajakan tiap harinya, hanya sebatas pisang, ubi, kolang-kaling juga terkadang buah mangga.
"Dapat beli di pasar, jadi nggak banyak selisihnya (untung) Rp 1.000-1.500 per kilogram. Kadang kalau lagi ditawar cuma ambil Rp 500 saja. Dizaman krisis begini mah yang penting laku, keluarga nggak kelaparan," kata Panjul.
Dizaman krisis begini mah yang penting laku, keluarga nggak kelaparan.NAMA TOKOH
Modal awal-nya pun tak banyak, Panjul hanya mengandalkan sisa gaji bulan Februari yang tak seberapa. Karena saat itu, tidak banyak nasabah yang ia dapat. Ia mengaku, sebenarnya sejak awal Maret sudah merasakan sangat sulit memcari nasabah, apalagi setelah pemberlakukan bekerja dari rumah (WFH).
"Sedangkan kita tidak bisa WFH, prosedur dari kantor juga tidak berubah tetap harus tatap muka dengan nasabah. Sebenarnya kantor tidak merumahkan dan tetap mengizinkan kami untuk bekerja tapi kan nggak ada hasilnya," keluhnya.
Dulu, ia menuturkan, mencari beberapa nasabah dalam sehari tidak begitu sulit. Sekarang untuk menghabiskan dagangannya ia harus berkeliling jauh dari rumah di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan. Itupun lebih sering tidak habis, meski jualan hingga jelang malam hari.

Selain itu, pria yang pernah bekerja di salah satu supermarket tersohor itu juga harus bertaruh kesehatan dirinya yang berisiko tertular Covid-19. Ini mengingat Kota Tangerang Selatan merupakan zona merah penyebaran wabah dari Wuhan itu. Ia harus ekstra hati-hati melindungi diri dan keluarganya dari penularan Covid-19.
"Rasa khawatir sih pasti ada, tapi tidak ada pilihan. Menjaga keluarga dari virus emang penting tapi juga sangat penting memastikan nafkah untuk anak istri. Dijual online tidak segampang cerita di tivi, Mas. Bisa-bisa seminggu baru laku sekilo," kelakar Panjul.
Ia sangat berharap dengan bantuan pemerintah, terutama Kartu Prakerja yang dijanjikan. "Tapi saya heran, kenapa harus pake seleksi kalau tujuannya buat bantu korban krisis. Harus cukup dengan syarat saja, misalnya buat yang terdampak saja. Kalau nggak lolos seleksi berarti gak dapat bantuan dong dari pemerintah," ucap Panjul.
Sejauh ini, Panjul mengaku belum mencicipi bantuan yang digembor-gemborkan pemerintah. “Mestinya saat kondisi seperti ini, pemerintah kudu jemput bola, biar kita juga tetap di rumah sesuai anjuran pemerintah. Tapi bagaimana pun juga kita tetap harus bersyukur sampai detik ini masih ada rizki yang di dapat, semoga krisisi ini cepat berlalu," kata Panjul dengan penuh harap.
Ganti produksiSejak Covid-12 mewabah, sejumlah usaha juga mengalami penurunan omzet. Salah satunya adalah kerajinan kulit di sentra kerajinan kulit di Sukaregang, Kabupaten Garut. Sulitnya keadaan membuat para perajin kulit di Garut ketika pandemi Covid-19 adalah membuat masker berbahan kulit sapi.
Salah satu perajin kulit di Sukaregang yang berinovasi dengan membuat masker kulit adalah Sanjay Muhamad Ahsan (32 tahun). Ia membuat masker sejak dua pekan lalu, lantaran sedang sepi pesanan sejak adanya wabah corona. "Awalnya dari iseng-iseng pas kemarin wabah corona, usaha kan pada sepi. Saya coba-coba buat masker kulit," kata dia kepada Republika, Kamis (16/4).
Sanjay membuat masker kulit itu hanya untuk dipakai sendiri. Sebab, pemerintah mengeluarkan kewajiban agar masyarakat menggunakan masker ketika keluar rumah. Menurut dia, menggunakan masker kain sudah terlalu biasa. Karena itu, ia mencoba membuat masker kulit.
"Jadi luarnya dari kulit tapi dalamnya pakai kain yang bisa diganti. Di samping buat melindungi udara, juga bisa buat style," kata lelaki yang telah menjadi perajin kulit sejak 2006 itu.

Sejak memproduksi masker itu, Sanjay menerima respons yang baik dari pasar. Para pedagang kulit di Sukaregan memesan. Sanjay yang tadinya sepi pesanan akhirnya kembali mendapat kerjaan.
Dalam satu hari, ia mengaku dapat membuat 12 buah masker kulit. Itu pun dibuat hanya untuk toko-toko yang memesan. Ia belum menyanggupi untuk membuat lebih banyak dari itu. "Nyediain buat stok juga dikit, soalnya yang pesenan banyak juga. Ada terus pesanan," kata dia.
Saat ini, Sanjay hanya membuat masker kulit untuk toko yang memesan. Satu masker dijual dengan kisaran harga Rp 70-120 ribu. Karena bahannya dari kulit asli.
Ia mengatakan, bahan baku kulit selama ini tidak sulit didapatkan. Karena, banyak stok yang masih belum terjual di tempat penyamakan kulit. "Tapi selama ini hanya pesanan tidak ada. Sejak masker saja baru naik lagi, karena orang juga perlu," kata dia.
Sanjay mengatakan, inovasi masker akan terus dilakukan selama pesanan masih tinggi. Jika keadaan membaik, ia akan kembali membuat kerajinan dompet, tas, id card, dan souvenir, dari kulit. "Kalau sekarang, orderan itu sepi karena banyak kantor yang tutup," kata dia. n
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.