|

Sastra

Zaffaran

Cerpen Ariya Hadi Wirasastra

Oleh ARIYA HADI WIRASASTRA

 

Hanya beberapa detik setelah terdengar desing roket yang disusul  dentum  ledakan keras,  seketika gedung empat lantai itu luluh lantak. Asap tebal segera mengepul mencemari langit senja. Puing-puing bangunan dan pecahan kaca segera bertebaran ke sekeliling gedung yang cuma menyisakan lantai dasar serta rangkanya saja.  

Beberapa lelaki dewasa dan remaja, warga yang berada sekitar lokasi ledakan segera   menerjang runtuhan bangunan. Tanpa memedulikan  asap yang masih mengepul dan serpihan debu yang masih betebaran, mereka masuk area ledakan sambil bertakbir. Suara jeritan histeris dari balik timbunan puing yang terdengar samar semakin membuat mereka bergerak cepat dan keras mengangkat pecahan puing yang beberapa di antaranya menghitam dan panas. 

Hey Aran! Take it, take it,” teriak seorang fotografer  asal Australia sambil membidikkan lensa ke arah reruntuhan. 

Mendengar  aba-aba dari sang fotografer, spontan  sejumlah juru kamera televisi yang sebelumnya mematung kaget bergegas menuju lokasi. Seluruh kamera segera menunjukkan status recording dan seorang di antaranya live reporting. Namun Aran sendiri masih terdiam tak beranjak dari tempatnya berdiri, kamera DSLR masih tergantung di dada dengan lensa tertutup.

Beberapa saat kemudian jurnalis muda asal Jakarta itu pun tersadar dari kagetnya. Aran berlari cepat menuju bekas ledakkan dan kerumunan orang yang kian semrawut dalam kepanikan. Tak seperti fotografer atau kameramen televisi sejawat yang membidikkan lensa lalu mengambil gambar situasi atau ekspresi para korban, Aran dengan sigap membantu warga mengangkat puing panas yang menimpa seorang anak perempuan kecil usia delapan tahunan tertimpa bongkahan tembok apartemen. Hanya kepala dan punggungnya terlihat sementara sepertiga tubuh bagian bawahnya  tertimbun reruntuhan bangunan.

Anak perempuan itu menjerit-jerit histeris ketika warga dan relawan perlahan menyingkirkan sedikit demi sedikit timbunan puing. Setelah pecahan puing berukuran kecil dan sedang disingkirkan, kini tinggal mengangkat lempengan besar yang menimpa panggul hingga dada sang anak. Tangis keras disertai jerit kesakitan memaksa mereka yang menolong bekerja makin keras dan cepat. Ketika lempengan agak terangkat sedikit, beberapa relawan  meneriaki Aran supaya lekas menarik anak perempuan itu keluar.

“Alhamdulillah! Allahu Akhbar!”  teriak warga dan relawan yang setelah melihat anak perempuan itu bebas dari timbunan reruntuhan tanpa luka dan tetesan darah. Aran diminta membawa anak itu ke tempat yang lebih aman, sementara mereka melanjutkan pencarian korban lainnya.

Perempuan kecil itu terus menangis histeris memanggil manggil ibunya sambil terus memeluk erat orang yang menggendongnya. Aran berupaya menenangkan sambil berjalan menuju  tenaga medis yang baru saja tiba. Cengkraman anak perempuan itu pada leher Aran makin keras ketika hendak diserahkan ke tim medis, alhasil pemeriksaan dan trauma healing dilakukan  dalam keadaan yang harus diterima Aran.

Esok pagi sebuah kantor berita swasta di Jakarta mengalami kegaduhan. Rangkaian bunyi notifikasi WhatsApp, dering telepon kabel dan seluler serta sesekali tepuk tangan  menyelimuti ruang redaksi di lantai paling atas gedung.  Ucapan selamat dan ungkapan apresiasi tertuju kepada redaksi setelah foto headline  surat kabar  Sunday Australy menampilkan gambar seorang fotografer muda menggendong anak perempuan dengan latar  sejumlah relawan membongkar puing-puing reruntuhan apartemen yang baru saja dihancurkan roket zionis Israel.

Foto Aran sang jurnalis muda asal Indonesia yang menyelamatkan bocah Palestina korban  ledakan di Gaza, bukan saja menjadi perbincangan  di negeri kangguru maupun kantor berita yang menaunginya. Aksi heroik lulusan sekolah publisistik itu juga viral di media sosial.  Wajah Aran mendadak tampil di berbagai platform media massa, bahkan sejumlah stasiun televisi nasioal sudah melakukan telewicara secara live pada waktu tayang utama. Sejak fotonya menggendong anak perempuan korban ledakan roket tampil ukuran besar pada halaman muka suratkabar mingguan di Australia,  sejak saat itulah  banyak pihak mengontaknya termasuk berlangganan berita dari kantor berita tempat afiliasinya

Thank you Mr Zaffaran,  ujar perawat  cantik keturunan Lebanon menerjemahkan ucapan anak perempuan kecil  di atas bangsal.

Ha ha ha... No, no Zaffaran. My name is Aran. I am Arancya from Indonesia,”  jawab sang fotografer muda dengan gembira menyaksikan bocah yang ditolongnya mulai tampak ceria dan sehat. Sementara perawat disampingnya segera menyampaikan jawaban Aran dalam bahasa Palestina.

Menurut sang perawat sekaligus penerjemah yang baik, Aisyiah nama anak perempuan itu  akan tetap memanggil tuan fotografer sebagai Zaffaran yang bermakna malaikat. Bagi Aisyiah  siapapun orang yang telah mengeluarkan tubuhnya dari timbunan reruntuhan apartemen adalah malaikat penolong. Anak perempuan itu hanya tinggal dengan ibunya, sedangkan abah dan kedua kakak lelakinya sudah lebih dahulu syahid diterjang peluru-peluru jahat zionis.

Belum selesai perawat cantik nan belia itu menyampaikan terjemahan seluruh ucapan Aisyiah, tiba-tiba anak perempuan itu menangis sesegukan. Di antara isak sedihnya dia berusaha bertutur cerita.

Now,  her mother has died.  She don’t have anyone and...,” sang perawat tak dapat melanjutkan ucapannya karena kedua bola matanya yang jernih itu ikut berkaca-kaca. Jari-jemarinya yang lentik mengambil dua buah botol berisi kapsul vitamin dan suplemen yang tergeletak di samping bantal Aisyiah, lalu dimasukkan ke saku baju tugasnya.

Aran memahami bila relawan medis asal Lebanon itu hanya mengalihkan perhatian agar air matanya tak tumpah di hadapan Aran apalagi Aisyiah yang menjadi tanggung jawabnya. Pada sisi lain Aran bangga pada hasil kerja sarjana psikologi lulusan Beirut University yang belum genap setahun sejak wisuda telah bergabung dengan tim relawan medis negeri kelahiran penyair Kahlil Gibran. 

Fotografer muda itu menyaksikan kondisi fisik maupun mental Aisyiah jauh lebih baik dari sebelumnya. Apalagi sehari hingga tiga hari sejak peristiwa ledakan, anak perempuan itu tak mau sama sekali melepaskan pelukannya dari Aran. Kini anak perempuan itu sudah dapat lepas darinya sehingga Aran dapat mulai merencanakan lagi aktivitasnya di lapangan sebagai seorang jurnalis.

Tim medis menyatakan Aisyiah mengalami traumatik berat dipicu ketakutan dalam gelap timbunan disertai putus asa kehilangan orang-orang tercinta. Mereka meminta kerelaan Aran untuk tidak meninggalkan Aisyiah beberapa pekan ke depan,  anak perempuan usia delapan tahun itu perlu pendampingan orang yang dipercayanya sekarang. Meski belum pernah menikah apalagi memiliki anak, Aran menyanggupi berperan sebagai orang tua pendamping Aisyiah.

Sang fotografer muda beruntung, bocah malang itu seperti anak-anak Palestina lainnya telah terbiasa dengan penderitaan maupun kehilangan orang tercinta. Belum genap dua pekan Aisyiah sudah dapat ditinggal sendirian  di rumah perawatan darurat bekas sekolah dasar yang sebagian bangunannya juga menganga akibat diterjang roket zionis. Meskipun  sudah ada perkembangan psikologis yang positif dari Aisyah, namun tim relawan medis  meminta Aran melakukan kunjungan pada pagi dan petang.

Sayangnya traumatik ringan berupa takut kehilangan dan empati berlebihan malah menyerang balik Aran. Dirinya malah tak bisa menghapus bayang wajah Aisyiah dari  pandangan mata batin. Lelaki lajang itu malah berniat mengadopsi bocah perempuan itu sebagai anak asuhnya. Kini gantian sang fotografer muda yang tak ingin berpisah dengan Aisyiah manakala dilaporkan tim relawan telah bertemu kerabat Aisyiah yang tinggal di Tepi Barat

“Assalamualaikum.  Halo Aran, mohon maaf ya tanpa mengurangi dedikasi Kamu di sana, tolong kirimkan foto yang punya news value dong. Tapi kalau Kamu nggak mampu, ya sepertinya kita perlu rotasi posisi nih. Gimana Aran?” telepon salah seorang koordinator liputan di kantor berita tempatnya bekerja.

Seketika Aran mengalami galau jiwa.  Dia merasa sudah cukup rajin mengirimkan gambar tentang situasi terkini di Gaza. Aran yang tak pernah ketinggalan info atau peristiwa aktual terkait penyerbuan  pasukan zionis ke wilayah permukiman padat Palestina. Setiap hari bersama jurnalis dari berbagai belahan dunia difasilitasi United Nations for Human Right (UNHCR), organisasi dunia untuk hak asasi manusia, mereka secara berkonvoi rutin memantau situasi wilayah konflik.

I know Your problem. Of course You got a good picture, but You lost the momentum,”  jelas Jason rekan fotografer asal Australia ketika Aran mengeluhkan nasibnya.

“Can you explain what you mean?” tanya Aran serius.

Fotografer berambut pirang yang tak pernah melepas dua kamera di pinggang kiri dan kanannya itu berkata akan menjawab pertanyaan Aran, namun  dia meminta harus dengarkan dahulu perjalanan karirnya di perusahaan media Australia. Pada masa awal menekuni profesi sebagai jurnalis foto, statusnya cuma kontributor dengan pendapatan sedikit sementara pengeluaran besar untuk  transportasi liputan maupun biaya korespondensi hasil jepretan di lapangan.

Untuk menutup anggaran pengeluaran, Jason muda menjual hasil karyanya  melalui shutterstock.com atau langsung menawarkan ke media lokal di Sydney. Setelah empat tahun berjuang sebagai kontributor dan freelancer, akhirnya  Jason muda diangkat sebagai jurnalis junior, itu pun harus melalui program tandem ke lapangan bersama seniornya hingga dinilai layak praktik mandiri.

Jason mengakui selama 12 tahun  bertugas sebagai jurnalis foto di wilayah konflik,  dirinya juga kadang menghadapi dilema antara mendahulukan  rasa kemanusiaan atau menjalankan tugas sebagai fotografer. Perasaan menyesal berkecamuk  ketika satu nyawa melayang di depan mata. Berulang kali dirinya pernah meminta ditarik ke bidang lain yang jauh dari suara ledakan, jerit kesakitan dan suasana mencekam lainnya, namun pimpinan redaksi selalu menyatakan sulit menemukan profesional sekaligus seorang yang berdedikasi untuk mengabarkan kejamnya kejahatan perang dan tragedi kemanusiaan di wilayah konflik.

Jason berhenti bercerita sebentar,  refleks dan cekatan disiapkannya kamera dengan lensa tele pada posisi ON. Sekian detik  kemudian  sayup-sayup terdengar suara pesawat terbang rendah dari arah barat.  Dua benda besar terbang pelan ke arah kedua fotografer yang sedang berdiskusi.

Jason bersiap membidikkan lensa ke arah benda terbang. Jason juga menyarankan Aran menyiapkan kamera walau kedua pesawat yang muncul bukan tipe bomber melainkan pengangkut bantuan. Menurutnya kedua pesawat itu berangkat dari landasan udara Mesir,  diperkirakan Jason segera menjatuhkan bantuan dari udara karena tak mungkin mendarat.

Aran terkagum-kagum dengan naluri dan cara menganalisis situasi dengan tanda-tanda yang sedikit saja. Sementara seperti biasanya kameramen televisi dan fotografer lain ikutan bersiap membidik ke arah datangnya pesawat bantuan. Pada saat bersamaan puluhan warga menyongsong kedatangan bantuan.

Berkali-kali koordinator keamanan dan relawan mengingatkan warga supaya diam di tempat. Namun dorongan rasa lapar dan khawatir tak dapat bagian membuat warga terus berlarian menyongsong  datangnya  bantuan. Betul saja, ketika kedua pesawat jenis pengangkut logistik menjatuhkan bantuan tanpa parasut maka kerumunan warga yang tak mampu mengelak akhir tertimpa box-box berukuran besar.

Seperti kejadian sebelumnya,  naluri kemanusiaan Aran mendorongnya bergerak untuk memberi pertolongan kepada warga yang tertimpa boks. Tapi sebelum beranjak lebih jauh, tiba-tiba fotografer Australia di sebelahnya mencengkram  tali kamera di tengkuknya.  Aran terkejut luar biasa atas kelakuan Jason yang selama ini tampil bersahabat walau sesekali dingin. Cengkraman bule dewasa itu terasa keras dan menyakitkan, Aran ingin meringis tapi urung karena fotografer senior itu malah teriak sambil memberi instruksi.

Take it Aran! Take the picture! Hey, You’re not here as a volunteer, You’re here as a journalist! Do it now!” teriak Jason sambil menunjuk kedua pesawat yang masih menjatuhkan bantuan di atas kerumunan warga.

Aran sungguh tak dapat menerima perlakuan itu, namun tangannya yang cekatan segera mengikuti instruksi Jason. Melalui layar kecil di kamera DSLR diikuti terus sebuah box yang meluncur ke bawah. Aran meneriakkan istighfar ketika box berisi bahan makanan itu menimpa dua  lelaki dewasa yang tak sempat menghindar. Refleks dan tepat peristiwa tragis itu direkam oleh kamera Aran.

Selesai memastikan hasil bidikannya fokus, tajam dan bersih maka dia menurunkan kamera.  Tak didapati Jason di sebelahnya melainkan  lelaki pirang itu sudah berada di lokasi box bantuan dengan dua orang terkapar di bawahnya. Disaksikan Jason bersama beberapa warga yang mendekat  berusaha keras menggulingkan boks berukuran satu kali satu meter itu dari  sosok yang ditindihnya. Dengan bantuan tubuhnya yang besar dan bertenaga membuat  proses penyelamatan korban menjadi lebih cepat, sayangnya salah seorang korban wafat di tempat. Kedua pesawat pengirim bantuan berlalu,  relawan dan tim medis berdatangan mengevakuasi korban. Jason dengan kedua tangan penuh bercak darah muncul dari kerumunan bersama perawat asal Lebanon yang belum juga Aran ketahui namanya. Relawan medis cantik itu mengabarkan jika Aisyiah sudah dibawa kerabatnya untuk dibesarkan di Yordania

“Hey Mr Zaffaran. She says do your job. With Your picture You were helping Palestinian children. With Your picture You can make humanity move in this world,” pintanya.

Ah manisnya  relawan asal Lebanon itu....

Senin, 19 Jumadil Awwal 1447 Hijriyah/ 10 November 2025

 

Ariya Hadi Wirasastra lahir di Jakarta pada 16 Juni 1974 dan berdomisili di Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat