Sastra
Aku Ingin Terbakar Seperti Ibrahim
Puisi-Puisi Iwan Setiawan
Oleh IWAN SETIAWAN
Jangan Kau Tanya Kekasihku Itu
(Allah… hanya Allah Sang Kekasih)
Jangan kautanya kekasihku itu,
Sebab rindu kepadanya adalah burung buta
Yang mengepak di dadaku
Mencari matahari yang tak pernah lahir.
Ia datang sebagai getar air
Yang tak memantulkan siapa pun—
Hanya seberkas cahaya
Yang bergerak seperti rahasia sufi
Dalam ruang malam.
Kadang ia sumur purba
Yang memanggil tanpa suara,
Kadang ia anggur gaib
Yang membuat ruhku mabuk
Tanpa menyentuh bibir.
Aku mencarinya
Di padang tanpa arah,
Mengikuti mawar hitam
Yang mekar hanya
Bagi hati yang berani retak.
Kekasihku itu—
Mungkin Simurgh di puncak sunyi,
Mungkin bayang Ilahi
Yang mengenakan gelap
Agar aku belajar melihatNya dari dalam.
Maka jangan kautanya lagi.
Setiap nama-Nya adalah lorong tak selesai,
Dan ketika aku tersesat,
Aku mendengar bisikan:
“bukan engkau yang mencari-Ku—
Akulah yang memanggilmu pulang.”
Padang, 19 agustus 2025
***
Aku Ingin Terbakar Seperti Ibrahim
Aku ingin terbakar seperti Ibrahim—
Bukan oleh api dunia,
Melainkan oleh bara yang lahir dari rahasia
Di dalam rongga sunyi jiwa.
Rindu menyalaku seperti angin padang pasir,
Apakah doa, atau bara yang tersesat
Yang menelan bayang-bayangku perlahan.
Kadang aku sumur yang menatap langit,
Kadang aku anggur gaib
Yang membuat rohku limbung tanpa setetes pun menyentuh bibir.
Api itu adalah taman yang memakan namaku,
Meninggalkan serpih diri
Yang meniti lorong gelap,
Mendengar Tuhan berjalan di balik kobaran
Atau hanya gema hati yang tersesat.
Aku ingin terbakar seperti Ibrahim—
Hingga gelap menjadi cermin,
Hingga luka menjadi doa,
Hingga keteduhan lahir dari amarah api
Yang tak pernah bisa kugenggam.
Padang, 10 september 2025
***
Cintaku Adalah Sunyi Tanpa Kata
Cintaku adalah sunyi tanpa kata,
seperti air di sumur purba yang tak pernah memantulkan wajah.
ia berjalan di lorong malam,
meninggalkan jejak cahaya yang retak
dan bisik yang hanya terdengar oleh hati yang patah.
kadang ia angin yang merobek daun,
kadang bara yang menelan bayangku sendiri.
aku menatapnya dalam hening,
mendengar Tuhan melangkah di balik gelap,
atau hanya gema jiwaku
yang tersesat di antara doa dan rindu.
cintaku adalah labirin tanpa pintu,
di mana gelap menjadi cermin,
dan sunyi menjadi saksi
bahwa rindu adalah cahaya yang tak tergenggam.
Padang, 12 juli 2025
***
Kaum Rasionalis dan Pecinta
Kaum rasionalis hanya menerka,
mengukur gelap dengan penggaris waktu,
menghitung tiap luka
seperti angka di atas kertas yang dingin.
sementara pecinta selalu merasa,
menyusuri api yang tak terlihat,
menjadi bara di rongga dada,
hingga setiap detik adalah rindu yang tersayat.
mereka berkata: “jelaslah jalanmu,”
aku tertawa di bawah hujan abu,
karena cahaya yang kutemui
adalah labirin tanpa peta,
dan tangan yang kugenggam
adalah angin yang menelan namaku.
aku berjalan dalam gelap,
menyadari bahwa rasa adalah doa yang terbelah,
dan hati yang terbakar
adalah cermin Tuhan
yang memandangku dari sisi yang tak pernah kutemui.
Padang, 23 agustus, 2025
***
Sunyi dan Cinta
Agamaku tuhanku,
Bukan untuk ditanya,
Apalagi untuk diperdebatkan.
Ia bukan kata,
Bukan suara yang bisa ditimbang,
Melainkan bara di rongga dada,
Yang hanya bisa kuhayati dalam hening.
Agamaku tuhanku
Hanya untuk diyakini,
Seperti embun yang menempel di daun
Tanpa pernah meminta pengakuan.
Ia berjalan di antara tulang dan rindu,
Menyusup dalam napas,
Dan aku hanya bisa mengikuti jejaknya
Tanpa nama, tanpa jejak,
Hanya percaya bahwa cahaya itu ada
Di dalam sunyi dan cintaku sendiri
Padang 18 mei 2025
***
Iwan Setiawan, kelahiran Madukoro baru, Lampung Utara 23 Agustus1980, kini berdomisili di kota Lubuk Begalung, Padang Sumatra Barat. Pernah tergabung dalam Antologi 55 Penyair Coretan Dinding Kita, 30 Penyair Sastra Roemah Bamboe, 3 Penyair Ilalang Muda, Seutas Tali & Segelas Anggur (2017) dan masuk sebagai kategori Puisi Terpuji Anugrah Sastra Litera 2017. Karyanya pernah di muat di Buana Kata, Tatkala.co, Riau Realita, Littera .co.id, Republika dan Media Indonesia, juga telah menerbitkan buku puisi yang berjudul SANG PENCARI CINTA, buku pisi yang bertema spiritual dan bernuansa sufi.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
