Perempuan mengenakan Hijab Rimpu di Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat. | Republika/Raisan Al Farisi

Safari

Rimpu, Jilbab Suku Mbojo

Penduduk Bima telah mengenal Islam sebelum elite setempat menerimanya.

Rimpu, pakaian khas masyarakat suku Mbojo di Dompu dan Bima yang dipakai para ina (ibu) terlihat mencolok di antara pakaian-pakaian yang dipakai masyarakat dalam acara Festival Tambora Menyapa Dunia yang lalu. Bagaimana tidak, rimpu dengan warna terang menutupi hampir seluruh tubuh mereka.

Pakaian yang juga digunakan sebagai jilbab oleh masyarakat suku Mbojo di Bima dan Dompu tersebut memiliki motif kotak-kotak dengan warna yang menyala. Sementara, kain yang digunakan sebagai pakaian rimpu sendiri adalah tembbe nggoli (sarung songket), sarung khas masyarakat suku Mbojo di Bima dan Dompu.

Selain sebagai pakaian sehari-hari, rimpu pun digunakan sebagai mukena bagi perempuan yang akan melaksanakan shalat. Rimpu merupakan pakaian yang terdiri atas dua lembar sarung. Sarung tersebut terdiri dari bagian atas dan bawah. Sementara, laki-laki hanya mengenakan selembar sarung untuk menutup bagian bawah atau katente (menggulungkan sarung di pinggang).

Cara pemakaian rimpu berbeda antara para ina dan perempuan yang belum menikah. Bagi para gadis, setengah wajahnya ditutup oleh tembe nggoli sebagai bentuk menutup aurat. Hanya bagian mata yang terlihat.  Sementara, ina-ina tidak perlu menutup wajahnya. Sarung nggoli yang dipakai di seluruh bagian tubuh ina tidak menggunakan jepit atau jarum. Dengan teknik yang sederhana, sarung bisa langsung digunakan sebagai penutup seluruh tubuh.

photo
Perempuan mengenakan Hijab Rimpu di Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat. - (Republika/Raisan Al Farisi)

Ina Umulyatin, warga Dompu, mengatakan, pakaian khas masyarakat Kabupaten Dompu dan Bima itu sudah digunakan masyarakat sejak kerajaan Islam masuk ke wilayah tersebut. Saat itu, karena keterbatasan pakaian maka para warga memakai sarung tembe nggoli untuk menutupi aurat mereka.

“Saat Islam menganjurkan masyarakat untuk berjilbab maka dengan keterbatasan jilbab pada waktu itu, masyarakat memakai kain nggoli sebagai penutup aurat dari atas kepala hingga kaki,” ujarnya saat ditemui di Dorocanga. Karena itu, banyak yang menyebutkan rimpu sudah menjadi pakaian harian perempuan Muslim Bima sejak berdirinya kesultanan Islam pada 1640.

Menurut dia, para perempuan kala itu di setiap aktivitasnya menggunakan rimpu sebagai pakaian sehari-hari. Hingga saat ini, di beberapa wilayah di Dompu masih terdapat warga yang memakai rimpu. Kebanyakan pakaian khas tersebut digunakan pada acara-acara penerimaan tamu penting dan upacara.

Bila kaum perempuan menggunakan rimpu sebagai pakaian untuk menutupi aurat. Sementara, bagi laki-laki sendiri digunakan sebagai sarung untuk melaksanakan shalat. 

Bima saat ini merujuk pada nama kota dan kabupaten yang terletak di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Namun, berbilang abad sebelum nya daerah yang berlokasi di Pulau Sumbawa ini merupakan sebuah kerajaan yang berusia ratusan tahun. Sepanjang sejarahnya, kebudayaan animisme, Hindu-Buddha, dan akhirnya Melayu-Islam berturut-turut mendominasi wilayah ini.

photo
Perempuan mengenakan Hijab Rimpu di Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat. - (Republika/Raisan Al Farisi)

Di Pulau Sumbawa, telah berkembang suatu tatanan politik sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha. I Wayan Sumerata dalam artikelnya untuk jurnal Forum Arkeologi (November 2014) menjelaskan, sistem pemerintahan tersebut dinamakan sebagai ncuhi.

Naskah lokal, Bo (buku) Sangaji Kai, mengungkapkan adanya lima ncuhi yang dominan, yakni Huu, Daha, Saneo, Nowa, dan Tonda. Pada waktu itu, masyarakat di ke lima wilayah tersebut umumnya menganut animisme. Selain teks dari abad ke-14 ini, bukti-bukti lainnya berupa artefak dari zaman megalitikum. Misalnya, situs-situs di lereng Bukit Doromanto dan Gunung Doropeti, Kecamatan Pekat, Dompu.

Pengaruh animisme memudar seiring dengan masuknya ajaran Hindu-Buddha ke Pulau Sumbawa sekitar abad ketujuh atau kedelapan. Agama ini dibawa dari Jawa atau Bali melalui kontak dengan para pedagang atau kekuatan politik kerajaan besar, semisal Majapahit. Demikian keterangan Tawalinuddin Haris dan Edhie Wuryantoro dalam laporan penelitiannya yang diterbitkan Universitas Indonesia (1995).

Pada pertengahan abad ke-14, Majapahit mengalami masa kejayaan di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Negarakertagama menyebutkan wilayah kerajaan ini meliputi antara lain Pulau Sumbawa. Patih Gajah Mada mengubah sistem ncuhi di tengah penduduk setempat menjadi sangaji (harfiah: raja, kerajaan) sehingga mendorong penyebaran agama Hindu-Budha. Sejak saat itu, situs-situs pemujaan yang sarat pengaruh arsitektur Majapahit berdiri.

photo
Perempuan mengenakan Hijab Rimpu di Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat. - (Republika/Raisan Al Farisi)

Misalnya, kompleks Waru Kali, Sambi Tangga, dan Dorobata di Dompu. Jatuhnya Imperium Majapahit pada awal abad ke-15 memungkinkan pemulihan pengaruh politik para penguasa lokal di Bima. Selanjutnya, dakwah Islam menyebar lebih luas di Pulau Sumbawa.

Penduduk Bima telah mengenal Islam sebelum elite setempat menerimanya. Begitu seorang raja Bima menjadi Muslim, penulisan buku (bo) istana mulai menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Arab (Jawi), alih-alih aksara Bima atau mempertahankan bahasa Bima.

Filolog Prancis, Henri Chambert-Loir melalui bukunya, Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah, mengutip pernyataan Sultan Abdul Khair Sirajuddin yang bertarikh Maret 1645. Raja kedua Kesultanan Bima itu memerintahkan agar semua bo dituliskan ulang memakai bahasa Melayu dengan rupa tulisan yang diridhai Allah ta'ala.


Dua versi islamisasi Bima

Ada beberapa versi tentang masuk Islamnya raja Bima. Tawalinuddin Haris dalam artikelnya, Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa (2006) menjelaskan, fase Islamisasi itu bermula ketika silsilah raja Bima sampai generasi ke-38. Penguasa Bima ke- 37, Sawo, merupakan raja terakhir yang belum bersyahadat. Adapun sultan Bima yang pertama bernama Abdul Galir (baca: Abdul Kahir).

photo
Perempuan mengenakan Hijab Rimpu di Dompu, Bima, Nusa Tenggara Barat. - (Republika/Raisan Al Farisi)

Pendapat versi pertama menegaskan, Islam di Bima berasal dari Pulau Jawa. Haris mengutip catatan perjalanan Heinrich Zollinger, pakar botani yang sempat mengunjungi Sumbawa sekitar 1840-an. Ilmuwan Swiss itu mengungkapkan, Islam di Bima pertama kali datang dari Jawa periode 1450-1540.

Haris juga menyebutkan hasil riset Syamsuddin (1980), yakni Islamisasi di Bima tidak lepas dari penaklukan Melaka oleh Portugis pada 1511. Sejak jatuhnya Melaka, tidak sedikit saudagar Muslim dari Jawa yang singgah ke Bima sebelum mencapai Maluku, bandar utama rempah-rempah. Kesimpulan ini dapat merujuk pada catatan penjelajah Portugis, Tome Pires (meninggal 1540). Penulis Suma Oriental itu membenarkan bahwa Jawa dan Bima telah menjadi titik transit pemburu rempah dari Melaka menuju Maluku.

Lebih rinci lagi, dakwah Islam di Bima disebut-sebut bersumber dari Jawa Timur. Sumber pendapat ini adalah Babad Lombok, yang menuturkan peran Sunan Prapen dari Giri dalam menyebarkan Islam di Lombok. Dari pulau itu, keturunan seorang wali songo itu melanjutkan dakwah ke Sumbawa, termasuk Bima. Pendapat lainnya menyebutkan Jawa Barat sebagai salah satu titik keberangkatan masuknya Islam.

Roufaer, misalnya, meyakini bahwa Islam di Bima dibawa dari Cirebon, Aceh, dan Melayu. Peneliti Belanda ini juga menyoroti tingginya penghormatan atas orang-orang Melayu di Bima. Lihat, misalnya, pada riwayat Kadhi (bahasa Arab menyebutnya qadhi yang berarti hakim/pemberi putusan hukum) Jamaluddin. Reputasi sosok berdarah Melayu ini begitu besar, sampai-sampai jasadnya dikebumikan di samping makam Sultan Abdul Galir.

photo
Mahasiswa menggunakan sarung khas Bima atau Tembe Nggoli saat Pawai Budaya Mbojo di Titik Nol Yogyakarta, Rabu (28/12/2022). - (Republika/Wihdan Hidayat)

Menurut Rouffaer, di masa hidupnya Sultan Abdul Galir pernah berpesan kepada para penerus dan rakyatnya: hormatilah bangsa Melayu melebihi kaum pedagang asal Bugis dan Gowa. Sebab, mereka diakui sebagai guru para sultan dan penduduk Bima seluruhnya dalam mempelajari Islam. Mereka juga dinilai berjasa lantaran ikut menumpas lanun di perairan Sumbawa.

Selama di Bima, sang sultan pun membebaskan mereka dari pungutan pajak. Untuk diketahui, sekitar pelabuhan Bima menjadi tempat pemukiman Kampo Malayu. Adapun versi kedua berpendapat, Islam di Bima tidak terutama datang dari Jawa, melainkan Sulawesi Selatan. Pendapat ini merujuk pada hegemoni Kerajaan Gowa- Tallo di kepulauan Nusa Tenggara.

Tokoh-tokoh dakwah Islam yang berangkat dari Sulawesi Selatan adalah Datuk Di Bandang dan Datuk Ditiro. Meskipun berperan sebagai utusan Sultan Gowa ke pada raja Bima, keduanya merupakan orang Melayu. Datuk Dibandang, misalnya, diketahui merupakan ningrat Kerajaan Pagaruyung. Dia diduga tiba di Sulawesi Selatan sekitar tahun 1600, untuk kemudian bertolak ke Bima. Sementara itu, Datuk Ditiro berasal dari Aceh.

Mereka mendakwahkan Islam kepada Sultan Abdul Galir pada 1609 atau 1640. Pada 1645, Sultan Gowa meminta Datuk Dibandang dan Datuk Ditiro kembali ke Sulawesi Selatan. Tugas dakwah Islam pun diteruskan putra mereka masing-masing, yakni Encik Naradireja dan Encik Jayaindra. Masih terkait kedatangan Islam di Bima dari Sulawesi Selatan, ada pula perspektif yang cenderung berbeda. Dalam hal ini, dakwah Islam di Bima tidak semata-mata melalui diplomasi Gowa-Tallo, melainkan juga ekspansi militer.

Karaeng Matoaya, patih kerajaan tersebut, telah dapat menaklukkan Bima, Dompo, dan Sumbawa. Sejak saat itu, Bima berada di bawah dominasi kesultanan yang berpusat di Sulawesi Selatan. Namun, bibit pergolakan mulai muncul di Bima. Pada periode 1632-1633, konflik pecah di Kesultanan Bima. Sejarawan menduga penyebabnya adalah protes orang Bima kepada raja mereka yang dianggap lemah menghadapi kekuasaan Gowa-Tallo.

Asumsi lainnya adalah soal perebutan takhta. Salah satu faksi di istana diduga telah meminta bantuan Gowa-Tallo untuk mengalahkan saudaranya sendiri. Pada 1691, Raja Gowa telah mengirimkan ekspedisi militer ke Kerajaan Bima. Berikutnya, Sultan Abdul Galir menjadi Muslim pada 15 Rabiul Awal 1030 Hijrah atau 7 Februari 1621. Sejak saat itu, Bima menjadi daerah taklukan Gowa-Tallo hingga tahun 1640. Macam-macam hasil bumi, seperti kain, kayu, dan kuda, dikirimkan dari Bima ke Gowa sebagai upeti.

Atas dasar itu, sejumlah sejarawan menganggap pernikahan Sultan Abdul Galir dengan Karaeng Sikontu lebih bersifat politis. Sikontu merupakan adik ipar Sultan Goa, Alauddin. Apalagi, beberapa raja Bima setelah Abdul Galir juga memperistri ningrat Goa- Tallo. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Goa-Tallo terlibat pertempuran dengan Kom peni Belanda (VOC) dan akhirnya kalah. Dengan pengesahan Perjanjian Bongaya pada 1667, VOC mulai berkuasa atas wilayah Goa-Tallo, termasuk Kesultanan Bima.


Kedatangan Belanda

Secara administratif, Kompeni memasukkan Kesultanan Bima ke dalam residensi Celebes (Sulawesi). Walaupun begitu, para sultan Bima dibiarkan untuk menjalankan pemerintahan sendiri (zelfbestuur). Menurut Haris, sultan Bima dalam menyelenggarakan pemerintahan didampingi dewan yang disebut wazir al-muazzam dan dewan syariat Islam. Tugas wazir mirip perdana menteri, menyampaikan kehendak sultan kepada rakyatnya.

Adapun dewan syariat, yang bernama Sara Dana Mbojo, terdiri atas beberapa jabatan, semisal khalif, imam, khatib, lebe, bilal, dan rabo. Sultan Bima berkonsultasi kepada mereka mengenai penerapan hukum Islam. Segenap jabatan tersebut tidak harus diisi orang Bima, melainkan terbuka bagi tokoh-tokoh dai siapa saja yang mumpuni. Pada era Sultan Nurudin, misalnya, banyak mubaligh datang ke Bima dari Melaka, Sumatra, Banten, Sulawesi, dan bahkan Arab.

Sebagian di antara mereka menjadi pejabat Kesultanan Bima dalam urusan syariat. Salah satunya adalah Syekh Umar al-Bantani, ulama asal Banten yang masih berdarah Arab. Tugas sang syekh antara lain mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada anak-anak sultan Bima. 

Disadur dari Harian Republika edisi 17 Mei 2015 dengan Reportase Muhammad Fauzi Ridwan dan Hasanul Rizqa

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat