Cerpen Canang | Daan Yahya/Republika

Sastra

Canang

Cerpen Syamsul Bahri Arza

Oleh SYAMSUL BAHRI ARZA

“Dahulu desa kita ini mempunyai cara unik untuk menyampaikan informasi kepada warganya.” Kata ayah.

Obrolan santai aku dan ayah di teras rumah panggung itu mengalir santai. Suasana sore yang sejuk sangat mendukung percakapan kami. Sambil memegang rokok kretek di tangannya, ayah mengeluarkan asap rokok yang dihisapnya, asap itu terbang ke angkasa lalu menghilang ditiup angin.

“Setiap ada informasi tentang apa saja, pasti akan disampaikan dengan cara yang unik tadi.” Ayah melanjutkan ceritanya. 

Aku masih setia mendengarkan cerita ayah. Aku tidak ingin memotong cerita ayah dengan pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sudah tebersit dalam pikiranku. Aku lebih memilih untuk menunggu momen yang tepat untuk menimbulkan pertanyaan-pertanyaan tersebut. 

Lebih tepatnya aku ingin menghormati ayah yang lagi serius bercerita. Karena salah satu ajaran ayah adalah jangan pernah menyela apalagi memotong ketika orang tua sedang berbicara.

Memang, sampai saat ini aku belum tahu apa manfaat dari nasehat tersebut, namun aku yakin suatu saat nasehat itu akan berguna jika ku pedomani. 

“Dahulu jika pengumuman disampaikan dengan cara unik tersebut, semua masyarakat akan khusyuk mendengarkan informasi yang disampaikan. Semua masyarakat akan meninggalkan aktivitasnya, demi mendengar pengumuman yang akan diberikan.” Ayah terus bercerita sambil kembali menghisap rokok kretek dengan tulisan Djarum. Asap kembali keluar dari bibirnya yang dihiasi kumis tipis. Asap itu membentuk gumpalan-gumpalan, kemudian sirna kembali dihajar angin.

“Itu benda yang selalu digunakan sebagai media untuk menyampaikan pengumuman!” ayah menunjuk sebuah tiang listrik yang tepat berada di depan rumah kami.

Aku menoleh ke arah tiang listrik yang ditunjuk ayah tadi. Sebuah tiang listrik kecil yang sudah miring, namun tetap berdiri karena ada kabel-kabel yang semrawut di atasnya. Kabel-kabel itu seolah memegangi sang tiang listrik supaya tidak roboh. Di bagian bawahnya tiang listrik itu dicat hitam.

“Pengumuman menggunakan tiang listrik itu biasanya dilakukan pada malam hari” ayah terus melanjutkan ceritanya, sementara aku tetap menjadi pendengar yang setia.

Percakapanku dan ayah terus berlanjut. Sementara cuaca sore mulai berangsur-angsur gelap. Sang surya tampaknya sudah mulai berpamitan. Sebentar lagi tugasnya akan digantikan oleh sang bulan. 

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 17.15 menit. Artinya masih ada waktu aku dan ayah untuk sekedar menyelesaikan kisah tentang cara menyampaikan pengumuman yang unik itu. Setidaknya sampai menjelang waktu magrib. 

Beberapa saat hening menguasai kami. Tidak ada lagi perkataan yang keluar dari mulut kami. Ayah menyeruput kopi yang sudah dingin, namun beliau tampak masih menikmatinya. Tidak ada suara keluhan. Tampak sekali kalau ayah selalu bersyukur dengan keadaan. Kopi yang tinggal sedikit itu akhirnya ludes bersemayam di mulut ayah.

“Dahulu ketika tiang listrik itu dipukul, semua warga merasa sangat gembira, karena sudah pasti ada sesuatu yang menguntungkan warga, misal pengumuman untuk mengambil beras di kantor desa, posyandu untuk balita dan macam-macam info gembira lainnya.” Sekali ini ayah berbicara cukup panjang.

“Tapi sekarang semua itu hanya tinggal cerita” ayah melanjutkan. Namun kali ini raut muka beliau terlihat berubah. 

Jika sebelumnya wajah ayah begitu manis dengan kumis tipisnya, sekarang sedikit agak berbeda. Kumis tipisnya tidak dapat menutupi rasa kecewanya. 

Tampaknya ada sesuatu yang membuat ayah masygul ketika melanjutkan ceritanya. Aku yang sedari tadi menjadi pendengar yang baik dan kalem, menjadi terusik juga. Perubahan mimik muka ayah membuatku menjadi penasaran. Apa sebenarnya yang membuat ayah berubah drastis seperti itu.

“Kalau sekarang kenapa Yah?” Aku memberanikan diri bertanya.

Tapi belum sempat ayah menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba dari arah Timur terdengar suara azan magrib. Suara azan itu jelas terdengar walaupun jarak masjid dengan rumah kami cukup jauh. Suara azan itu terdengar karena hembusan angin sore itu mengarah ke rumah kami.

Lantunan suara azan itu adalah alarm agar semua warga desa kami menghentikan semua aktivitasnya, termasuk percakapan aku dan ayah. Maklum desa kami waktu itu terkenal dengan desa religius, sehingga ketika waktu magrib tiba semua warganya wajib menghentikan segala pekerjaan. Walaupun ada yang tidak mengerjakan salat, namun setidaknya sudah tidak ada lagi yang berkeliaran di jalan ketika azan magrib berkumandang. 

Aku terpaksa harus menunggu hari esok lagi untuk mengetahui jawaban dari pertanyaanku tadi. Karena ayah tidak mau lagi melanjutkan ceritanya atau bahkan tidak mau lagi sekedar menjawab pertanyaanku. Bagi ayah menghadap sang pencipta lebih utama daripada perbincangan tadi.

 

****

Sore itu aku dan ayah kembali duduk santai di teras rumah. Aku ingin mengetahui jawaban pertanyaan yang sempat tertunda kemarin. Aku duduk di sebelah ayah yang memegang cangkir kopi. Di tanganku ada sebuah benda segi empat. Sebuah benda yang bisa menghubungkan satu sama lain. Anak-anak gen z sering menyebutnya ponsel pintar.

Tiba-tiba terdengar suara singkat keluar dari BlackBerry yang kupegang. Sebuah telepon seluler yang dianggap sangat canggih pada masa itu. Suara itu sering disebut BBM atau BlackBerry Messenger. Tampak sebuah pesan tampil di layarnya. 

“Sore ini kita kumpul di halaman sekolah ya” begitulah pesan ajakan yang berasal dari layar telepon. Tertulis nama Aldi yang mengirimkan pesan.

Sejurus kemudian aku membalas pesan itu. Dan tak lama respons dari Aldi langsung ku terima. 

Tiba-tiba ayah datang menghampiriku. 

“Bunyi apa tadi?” tanya ayah

“Pesan ya” jawabku singkat.

“Sekarang sudah canggih Yah!” aku memulai perbincangan dengan ayah. 

“Hanya dalam hitungan detik dan tanpa berisik, kita sudah mendapatkan informasi” aku terus meracau.

Ayah hanya diam. Beliau tanpa ekspresi. Kumis tipisnya tetap memberikan rona yang berbeda. Aku masih belum mafhum dengan ekspresi ayah saat itu. 

“Kalau menurut ayah masih enak cara pengumuman zaman dahulu” ayah berbicara dengan nada datar.

“Kenapa Yah?” tidak seperti kemarin, kali ini aku memberanikan diri bertanya. 

“Penyampaian pengumuman sekarang merepotkan” Ayah menjawab pertanyaanku yang justru menimbulkan pertanyaan baru bagiku.

Tapi sebelum pertanyaan kedua muncul, ayah langsung melanjutkan, seolah tahu apa yang ada dalam benakku.

“Sekarang kita harus punya benda seperti yang kamu pegang itu, baru bisa tahu info” ayah terus melanjutkan. 

“Sedangkan barang itu tidak semua orang bisa memilikinya” ayah belum berhenti berbicara.

“Ini semua gara-gara Aldi, kepala desa yang baru itu” ayah menyebutkan nama temanku yang tadi mengirim BBM kepadaku.

Aldi adalah kepala desa yang baru di desaku. Memang dengan menjabatnya Aldi jadi kepala desa semua sistem di desa di-upgrade olehnya. Sistem-sistem zaman dahulu dihapusnya. 

Aldi sendiri terpilih sebagai kepala desa menggantikan posisi ayahnya. Walaupun ada anggapan bahwa terpilihnya Aldi karena adanya nama besar sang ayah. Karena jika mengandalkan dirinya, banyak beranggapan Aldi tidak akan menang dalam pemilihan kepala desa. 

Keseharian Aldi seolah menegaskan bahwa jabatan yang diperolehnya memang ada andil besar sang ayah. Karena sosok Aldi adalah orang yang introvert dan jarang bergaul dengan sesama. Dia tipe anak yang dimanjakan oleh ayahnya. Dia selalu diberikan fasilitas yang berbeda dengan anak-anak di desa kami. Sehari-hari ia hanya berteman dengan gadget. Bahkan menjelang pemilihan kepala desa, disinyalir Aldi bermain uang untuk mempengaruhi pemilih.

Bagi kami anak-anak muda modern, hal itu sangat positif karena membuat desa kami tidak ketinggalan zaman. Namun, kebijakan itu ternyata mendapat tanggapan negatif dari generasi Angkatan ayahku. Generasi angkatan ayah menganggap kebijakan memoderniasi desa menyulitkan. Mereka yang gagap teknologi sangat susah untuk beradaptasi. Ditambah lagi mahalnya perangkat yang diperlukan menambah derita mereka.

Namun apalah daya mereka, sebagai rakyat biasa harus manut kepada aturan pejabat. Setidaknya ungkapan itu pernah ku dengar dari mulut ayah. 

“Padahal dahulu, kalau mendengar suara tiang listrik dipukul, kami akan gembira” ayah kembali mengenang masa lalu.

“Bapak-bapak, ibu-ibu! Dengar suara canang! Kami dapat perintah dari kepala desa, besok pagi masyarakat diperintahkan untuk memasang bendera merah putih di depan rumah masing-masing, setelah itu selesai, maka infonya ditutup lagi dengan suara tiang listrik dipukul. Begitulah bunyi salah satu pesan yang sering disampaikan.” Kata ayah. 

“Jadi, kalau menurut ayah, media canang itu masih bagus untuk dipertahankan” ayah menutup perbincangan kami. 

Ayah bangkit dari duduknya dan meninggalkanku sendirian yang masih termangu. Kulihat kopi ayah yang masih setengah gelas ditinggalkan begitu saja. Rokok kreteknya yang masih setengah juga ditinggalkan dengan asap yang masih mengepul

Ternyata ayah kecewa karena canang dihapus oleh pejabat yang baru. Sehingga angkatan ayah melabeli era pejabat yang baru, dengan sebutan pejabat anti golongan tua. 

 

Syamsul Bahri Arza adalah seorang guru di MTs Alhidayah. Ia berdiam di Desa Keposang, Kecamatan Tobali, Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung. Ia bisa dihubungi di syamsulpemulutan81@gmail.com.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat