
Safari
Kisah Suram di Curam Cadas Pangeran
Cadas Pangeran disebut sebagai lokasi kematian masal pekerja pribumi.
Di lokasi ini, Pramoedya Ananta Toer berani mengatakan di sinilah genosida secara tidak langsung dilakukan Daendels kepada masyarakat pribumi. Direkam dalam ingatan Pram, lima ribu pekerja pribumi tewas lantaran kelelahan, lapar, dan pekerjaan yang dipaksa membabi buta.
Cadas Pangeran merupakan jalan raya berkelok curam menanjak dan menurun sepanjang tiga kilometer. Wilayahnya murni sebuah pegunungan cadas yang dibobok demi terhubungnya jalan antara Bandung dan Sumedang. Di lokasi ini, diabadikan sebuah monumen berbentuk patung dua orang tokoh terpenting: Patung bersalamannya Pangeran Kornel (Pangeran Kusumadinata IX, Bupati Sumedang 1791–1828) dengan Daendels, yang masyarakat Sumedang sebut saat itu dengan Mas Guntur.
Seperti yang dikisahkan secara turun temurun di sini, peristiwa Cadas Pangeran berawal dari pertemuan Pangeran Kusumadinata IX dengan Gubernur Daendels di tengah-tengah proses pembangunan jalan raya. Dikisahkan, Pangeran Kusumadinata IX melakukan jabat tangan dengan sang gubernur menggunakan tangan kiri. Sedangkan tangan kanannya, siap menghunus keris pusaka yang kemudian dikenal dengan nama keris Nagasasra.
Monumen yang dibuat pada 1975 ini digadang-gadang menjadi sebuah refleksi dari kisah heroik masyarakat Sumedang. Menurut cerita, Pangeran Kornel juga menantang Daendels bertarung secara fisik. "Lebih baik gugur bersama sekaligus, daripada mengorbankan rakyat Sumedang yang tak berdosa," sebuah ungkapan yang kini masih dipercayai masyarakat Sumedang pernah terucap dari mulut sang bupati.

Dari sebuah lukisan
Seiring munculnya banyak penelitian tentang sejarah Cadas Pangeran, keaslian kisah heroisme sang bupati pun mulai dipertanyakan. Beberapa pihak meragukan. Sebab, Pangeran Kornel masih berusia muda saat itu. Secara wilayah kekuasaan pun, Sumedang dicap sebagai produk feodalisme Mataram, kerajaan yang lebih sering mengutamakan kompromi dengan Belanda.
Ada setitik sejarah cerah terungkap yang kami dapat. Tepatnya saat kami menemui R Moch Achmad Wiriaatmadja di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Pria 73 tahun itu merupakan pelukis peristiwa Cadas Pangeran, yang sebagian dalam lukisan itu diabadikan dalam sebuah patung yang saat ini masih berdiri gagah. Lukisan yang dibuat pada 1974 itu masih disimpan di kediamannya.
"Banyak yang mempersoalkan kebenaran itu," ujarnya. Ini mengingat, katanya, memang tidak ada dokumen Belanda yang membenarkan peristiwa tersebut.
Kemudian yang kami dapat, Achmad hanya mengurai nilai filosofi mengapa dibuatnya lukisan tersebut. Pertama, jika dilihat dari arah Sumedang, Daendels berada di sebelah kiri. Merupakan perlambang sebuah pengkhianatan. Ini mengingat Daendels yang ditunjuk langsung oleh Louis Napoleon, pemimpin Prancis usai menaklukkan Belanda saat itu.

"Sorot mata tajam dan dan tangan kiri Pangeran Kornel, menggambarkan sebuah ancaman dan tantangan," tambahnya. Menurutnya, lukisan itu dibuat murni berdasarkan imajinasi dan perenungan sebelum berani menggoreskan tintanya. Menurutnya, biarlah sebuah sejarah turun temurun ini tetap membekas di masyarakat Sumedang.
Saya hanya ikut amini apa yang disampaikan. Tanpa terus mempertanyakan nilai kebenaran tersebut, Cadas Pangeran memang mengurai banyak kisah tragis. Di wilayah ini, terhampar kuburan massal di sepanjang jalannya. Penemuan bangkai mayat pun masih ditemui dalam beberapa waktu terakhir. Mantan Sekretaris Paguyuban Kuncen se-Kabupaten Sumedang, Yadi Ahyadi, mengaku menjadi saksi penemuan tulang belulang di Cadas Pangeran. "Sekitar tahun 2007, saat pemetaan kembali kawasan wisata Cadas Pangeran," ujarnya saat kami temui di kompleks pemakaman Pangeran Kornel, Pasarean, Sumedang.
Di cadas Pangeran, juga masih terdapat kampung yang diambil dari peristiwa bersejarah tersebut. Ada Kampung Singkup, yang namanya diambil lantaran di kampung inilah tempat meletakkan semua perkakas para pekerja yang didominasi oleh sekop (schoop=singkup). Ada juga Kampung Pamucatan, lokasi ini berada di satu turunan Cadas Pangeran. Istilah ini diambil dari Kata Mucat dalam bahasa Sunda, yang berarti waktunya melepas ikatan kerbau yang membantu transportasi di jalur ini.
Hanya butuh 10 kilometer, kami tiba di pusat Kota Sumedang. Sumedang merupakan wilayah dari perjalanan panjang kerajaan Sumendang Larang. Wilayah kerajaan ini sempat mencapai puncak kekuasaannya pada abad ke-16 pascakeruntuhan kerajaan Padjadjaran. Kerajaan Sumedang diklaim memiliki wilayah hampir di seluruh Jawa Barat kecuali Jakarta dan Cirebon. Di abad ke-18, kerajaan ini juga sempat mendapat pengaruh kuat kerajaan Mataram.
Sepanjang perjalanan kerajaan Sumedang Larang, pemerintahan berpindah-pindah tempat. Ini juga yang kemudian menjadikan Sumedang dikenal dengan negeri seribu satu raja.
Disadur dari Harian Republika edisi 27 Oktober 2013 dengan reportase Angga Indrawan
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.