cerpen Muka Glowing Cek Asma | Daan Yahya/Republika

Nasional

Muka Glowing Cek Asma

Cerpen Rinal Sahputra

Oleh RINAL SAHPUTRA

Awal bulan Rabiulawal, udara di kampung kami bukan hanya panas karena hujan yang tidak kunjung datang, tetapi juga sarat aroma ketakutan yang melekat di kulit para warga seperti daki. Dari subuh, kabar sudah beredar bahwa pihak keamanan kecamatan akan mendatangi beberapa rumah untuk memanggil orang-orang yang pernah bersuara lantang soal ijazah palsu Geuchiek Marzuki.

Mereka datang mengendarai sepeda motor patroli dalam rombongan kecil, tapi cukup untuk membuat anak-anak menangis dan ibu-ibu mengintip dari balik jendela berdebu. Nama-nama yang dianggap bersalah diumumkan lewat pengeras suara di halaman meunasah, seolah mereka adalah daftar buronan kelas kakap.

Ibrahim termasuk salah satu yang dipanggil. Begitu juga Amiruddin, guru mengaji yang terkenal lembut tutur katanya, tapi pernah menyindir Geuchiek Marzuki sebagai contoh pemimpin yang tidak jujur di pengajian malam Jumat. Mereka diseret ke kantor keamanan untuk diperiksa. Katanya, ini demi menjaga ketertiban desa. Namun, semua orang tahu ini cuma cara membungkam mulut orang-orang yang dianggap menghina keluarga Geuchiek Marzuki.

Menjelang siang, warga yang tidak terima diperlakukan dengan semena-mena mulai berkerumun di depan kantor keamanan. Suara teriakan menuntut pembebasan mengalun seperti gelombang, meninggi sedikit demi sedikit. Ketegangan akhirnya memuncak ketika seorang petugas mendorong Nek Maliah yang mencoba mendekat ke pagar untuk memberi air minum kepada Ibrahim. Nek Maliah terhuyung dan sandal jepitnya terlepas.

Teriakan berubah menjadi dorongan, dan entah siapa yang memulai, dorongan itu pun berganti menjadi lemparan batu. Suara kaca pecah, kursi plastik yang melayang, dan sumpah serapah kini bergema di pelataran halaman kantor keamanan.

Sirene sepeda motor patroli meraung seperti lolongan anjing yang kehilangan tuannya. Anak-anak berlarian sambil menangis, sedangkan ibu-ibu menarik tangan suami mereka agar segera pulang ke rumah. Debu jalanan naik ke udara, bercampur dengan bau keringat dan amarah.

Di tengah pusaran ricuh itu, seseorang di sana terlihat mencondongkan badan dan berbisik pelan namun jelas.

"Kau sudah lihat muka Cek Asma? Glowing kali… pulang-pulang dari Jakarta macam artis sinetron."

Bisikan itu nyaris tenggelam oleh suara kerumunan, tapi justru terasa aneh. Di tengah riuh soal ijazah palsu dan pemeriksaan warga, mendadak ada gosip baru yang terdengar lebih segar dan ringan. Entah kenapa, gosip murahan itu malah membuat beberapa kepala langsung menoleh dengan rasa penasaran.

Keesokan harinya, warung kopi Bang Sulaiman tidak lagi membicarakan siapa saja yang dipanggil ke kantor keamanan atau bagaimana Nek Maliah didorong kemarin. Topik itu menguap begitu saja. Orang-orang sepertinya tidak lagi berani membahas masalah itu. Mungkin karena terlalu banyak mata dan telinga yang siap melaporkan siapa pun yang berani membahas isu ijazah palsu Geuchiek Marzuki atau Upaya makar untuk menggulingkan Fatimah, kepala desa baru di kampung kami yang juga anaknya Geuchiek Marzuki.

Para warga di kampung kami seolah membutuhkan topik pembicaraan baru. Gosip tentang wajah glowing Cek Asma pun muncul pada saat yang tepat. Para lelaki desa membicarakannya dengan nada setengah bercanda, setengah serius. Ada yang bilang dia memakai skincare Korea, namun ada pula yang percaya bahwa majikan Cek Asma di Jakarta adalah pemilik salon. Mereka terlihat lebih leluasa membicarakan kilau wajah seseorang daripada kilau stempel palsu di ijazah Geuchiek Marzuki.

Sementara itu di meunasah, ibu-ibu yang sedang berlatih nasyid juga sibuk membicarakan gosip yang sama. Ada yang bilang Cek Asma memakai peunawa, ramuan rahasia dari dukun di Depok. Ada pula yang mengangkat alis curiga, jangan-jangan ini ulah Geuchiek Marzuki sebagai bentuk pengalihan isu agar orang-orang berhenti meributkan ijazahnya. Dugaan itu disampaikan setengah berbisik, setengah berseloroh, seolah khawatir Geuchiek Marzuki dan para pengikutnya mendengar.

Tapi gosip tentang muka glowing Cek Asma seolah memiliki nyawa sendiri. Obrolan yang awalnya diucapkan setengah bercanda kini mulai berubah arah ketika Yusnidar, istri tukang bengkel, mengaku melihat suaminya mengantar Cek Asma pulang malam-malam. Esoknya, Laila, yang suaminya adalah ketua pemuda, mengatakan hal serupa. Dari wajah glowing, gosip merambat jadi tuduhan menggoda suami orang.

Satu minggu kemudian, perangkat desa mengumumkan akan mengadakan lomba masak khusus untuk bapak-bapak dalam rangka menyambut Maulid Nabi. Fatimah dengan enteng menunjuk Cek Asma sebagai pembawa acara.

“Biar suasananya segar,” katanya di rapat panitia. Banyak yang menahan komentar, tapi tatapan mata para warga cukup untuk menunjukkan kecurigaan atau mungkin, semacam kesadaran bahwa ini memang sudah diatur agar panggung kampung hanya menampilkan cerita yang tidak berbahaya bagi siapa pun yang berkuasa.

Hari perlombaan memasak pun tiba. Lapangan desa penuh sesak. Bau gulai ayam, kuah beulangong, dan kue timphan bercampur dengan teriakan anak-anak yang berlarian di antara meja-meja peserta lomba. Dari panggung, pengeras suara memutar selawat yang suaranya terputus-putus karena kabel longgar, lalu kembali hidup diiringi tepuk tangan panitia.

Beberapa saat setelahnya, Cek Asma muncul memakai gamis ungu. Wajahnya memantulkan cahaya seperti ada lampu sorot tidak kasat mata yang terus mengikuti. Fatimah, yang duduk di kursi kehormatan, tersenyum tipis ketika melihat orang-orang yang terkesima oleh wajah glowing Cek Asma.

Para lelaki yang mengikuti lomba masak mulai memanggil Cek Asma, entah sungguh-sungguh butuh bantuan atau sekadar mencari perhatian. “Cek, tolong pegang piring sebentar.” “Cek, coba cicipkan, kurang garam atau tidak?” Setiap kali Cek Asma mendekat, suara tawa di tenda laki-laki menguat, sementara di sisi lapangan, tatapan ibu-ibu desa semakin menyala.

Yusnidar yang berdiri dengan tangan terlipat, wajahnya memerah. Sedangkan Laila di sebelahnya tidak berkedip, tatapan tajamnya menusuk ke arah Cek Asma. Bisikan-bisikan di sekitar mereka memanas, mulai dari sindiran halus sampai tuduhan terang-terangan.

Ketika Cek Asma menghampiri meja lomba suami Yusnidar untuk mencicipi sop ikan, Yusnidar tidak sanggup lagi menahan diri. Tangan kirinya meraih lengan gamis Cek Asma dengan kasar.

“Aku sudah bilang, jangan ganggu suamiku!” teriaknya lantang.

Cek Asma tersentak, lalu membalas dengan suara nyaring yang mampu menembus bising pengeras suara. 

“Siapa yang ganggu? Kau saja yang iri karena mukamu kusam!”

Kalimat itu meledak seperti petasan di tengah kenduri. Laila, yang berdiri hanya dua langkah jauhnya, ikut maju dan mendorong bahu Cek Asma. Sorakan dan seruan bercampur dengan bunyi piring jatuh dan sendok berloncatan di tanah. Dalam hitungan detik, tangan-tangan terulur, jilbab-jilbab terlempar ke udara, dan adu jambak pun dimulai. Dikepung oleh para ibu desa, gamis Cek Asma robek di bagian lengan.

Orang-orang berusaha melerai, tapi tidak semua dengan niat tulus. Ada yang melangkah ke depan hanya untuk mendapatkan sudut pandang terbaik bagi ponsel mereka. Ada yang menahan Yusnidar sambil menahan tawa, dan ada pula yang sengaja memprovokasi, “Hajarlah, biar tahu rasa!”

Ibrahim yang mengamati dari jauh bergegas maju memisahkan mereka. Tapi oleh beberapa warga yang sedang merekam, aksi itu berganti narasi.

“Lihat, Ibrahim diam-diam menyukai Cek Asma!” Bisikan itu menyebar cepat, seperti kebakaran di padang ilalang.

Kericuhan baru mereda ketika panitia lomba masak memutuskan mengumumkan pemenang lebih awal. Dua polisi desa masuk ke lapangan, tapi langkah mereka lebih mirip formalitas daripada upaya sungguh-sungguh menghentikan keributan. Di sudut panggung, Fatimah tetap duduk tenang, senyumnya tipis namun jelas; seolah semua ini hanyalah babak lain dari drama yang sudah dia perkirakan sejak awal.

Malam itu, video jambak-menjambak sudah beredar di hampir semua grup WhatsApp kampung. Dari grup pengajian ibu-ibu, grup panitia Maulid, sampai grup para pemain bola desa. Potongan videonya kurang dari dua menit, tapi cukup untuk memancing tawa, umpatan, bahkan komentar panjang yang dibungkus emotikon tertawa.

Ada yang menebak siapa yang menang atau menghitung berapa helai rambut yang tersangkut di tangan. Tidak sedikit pula yang membandingkan kilau wajah Cek Asma sebelum dan sesudah kejadian, lengkap dengan tangkapan layar dari video yang diperbesar hingga pori-porinya terlihat.

Isu ijazah palsu Geuchiek Marzuki perlahan mulai dilupakan. Semua tenggelam di bawah arus gosip muka glowing Cek Asma yang kini bercampur drama jambak-menjambak. Bahkan mereka yang dulu lantang menuntut pembuktian ijazah pun kini sibuk mengedit video itu dengan menambahkan musik dangdut atau efek ledakan ketika rambut mulai dijambak. 

Di beranda rumahnya, Ibrahim duduk terpaku ditemani lampu minyak di meja kecil yang menyala redup, memantulkan bayangan wajahnya di gelas kopi yang sudah dingin. Jalan desa lengang, hanya suara jangkrik dan sesekali suara burung hantu atau sepeda motor yang terdengar. Malam itu, listrik kembali padam seperti biasanya dan membuat orang-orang lebih senang berdiam diri di rumah.

“Di kampung ini,” katanya lirih, entah pada dirinya sendiri atau pada kegelapan, “gosip murahan lebih memikat daripada kasus pemalsuan ijazah.”

Ibrahim menarik napas panjang. Meskipun tidak memiliki bukti, dia yakin bahwa ada tangan-tangan yang sejak awal membiarkan, bahkan mungkin menyiapkan, agar gosip wajah glowing Cek Asma mengalir persis seperti sekarang sehingga orang lupa bahwa pagi kemarin, ada warga yang dipanggil, diinterogasi, dan dicatat namanya di buku hitam kantor keamanan.

Di kejauhan, deru sepeda motor kembali terdengar. Ibrahim meneguk sisa kopi yang sudah dingin. Rasa pahit mengepung lidahnya, namun bagi Ibrahim itu tidak seberapa dibandingkan pahitnya kenyataan saat ini. Menjelang ulang tahun ke-80 desa, para warga masih juga dengan mudah dibodohi dan dipecah-belah hanya dengan masalah kilau di wajah seorang perempuan.

 

Saat ini Rinal bekerja sebagai penulis lepas. Cerpen-cerpennya telah dimuat di beberapa media nasional. Kumpulan cerpen terbarunya, "Sebelum Asri Pergi", terbit pada akhir Juli 2025, sedangkan kumpulan cerpen sebelumnya, "Para Perempuan di Tanah Serambi", terpilih sebagai finalis Penghargaan Sastra Rasa 2022. Rinal juga menekuni penulisan cerita anak. Baru-baru ini, cerita anaknya yang berjudul "Cangguek Bineh Krueng" terpilih sebagai salah satu dari 50 naskah terbaik dalam Sayembara Penulisan dan Penerjemahan Cerita Anak Dwibahasa Tahun 2025 yang diselenggarakan Balai Bahasa Provinsi Aceh.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat