
Opini
Menengok Pameran Dagang Osaka, Mengintip Masa Depan
Setiap ajang World Expo selalu membawa pesan konkret masa depan.
Oleh NASIHIN MASHA, Wartawan Senior
Tahun 2025 ini, kota Osaka, Jepang, menjadi tuan rumah pameran dagang internasional; World Osaka Expo 2025. Pameran ini diadakan setiap lima tahun. Dubai, Milan, dan Shanghai adalah tiga tuan rumah sebelumnya. Pameran ini memiliki sejarah yang sangat panjang, dimulai pada abad ke-19 – kali pertama pada 1851 di London, Inggris. Osaka sendiri dua kali menjadi tuan rumah, sebelumnya pada 1970. Jadi, bagi Jepang, ini adalah kali ketiga menjadi tuan rumah. Pada 2005, Nagoya (Prefektur Aichi), kota kelahiran raksasa otomotif Toyota, menjadi tuan rumah. Sedangkan Osaka, adalah kota kelahiran raksasa elektronika Panasonic.
Pada 1970, saat Osaka menjadi tuan rumah, sebagai pemilik Panasonic, Konosuke Matsushita membuat “kapsul waktu”. Kapsul ini ditanam di halaman Kastil Osaka – dibangun Toyotomi Hideyoshi pada 1583 di periode penyatuan Jepang; sebuah kastil yang sangat terkenal di Jepang. Ada dua kapsul yang ditanam. Kapsul pertama di kedalaman 9 meter, sedangkan kapsul kedua ditanam lima meter lebih dalam. Kapsul pertama boleh dibuka pada tahun 2100 dan akan dibuka tiap 100 tahun. Adapun kapsul kedua akan dibuka setelah 5.000 tahun. Kapsul waktu berbentuk silinder dengan tinggi 1,3 meter dan diameter 1 meter. Tiap kapsul berisi 2.098 item, yang masing-masing mewakili peradaban manusia, khususnya Jepang. Di dalam kapsul ini, misalnya, ada radio, tape, buku, makanan astronot, bahkan biji padi, gandum, tomat, dan jagung. Gagasan Matsushita ini untuk membandingkan perkembangan pada saat itu dengan masa depan.
Kini Osaka kembali menjadi tuan rumah World Expo. Seperti expo 1970 yang memberi pesan dan harapan terhadap masa depan, kali ini Osaka juga menyampaikan pesan masa depan.
Bagi Rachmat Gobel, bukan sekadar Jepang memiliki ikatan dengan dirinya, tapi karena ia memiliki kepedulian terhadap World Expo. Saat Expo Milan, ia mengajak belasan pemimpin redaksi untuk berkunjung ke area expo, khususnya ke Paviliun Indonesia. Kini, ia mengajak sekitar 10 pemimpin redaksi media massa untuk berkunjung ke World Osaka Expo 2025. Menurut rencana ia juga akan mengajak anggota DPR RI dan ekonom untuk mengunjungi expo di Osaka ini. Apa yang ia lakukan, katanya, merupakan bagian dari diplomasi people to people. Gobel adalah ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang (PPIJ) dan juga ketua Liga Parlemen Indonesia-Jepang alias Kaukus Parlemen Indonesia-Jepang. Karena itu, sejumlah wartawan bertanya ke dirinya apa maksud kunjungannya ke expo tersebut. “Kita ingin mengetahui apa di balik filosofi, budaya, dan teknologi pada expo ini,” katanya.
Pertanyaan itu akhirnya terjawab sendiri setelah mengunjungi area expo, Paviliun Panasonic, Paviliun Sumitomo, dan Paviliun Indonesia. Kawasan expo adalah sebuah pulau buatan, yang ditargetkan akan memiliki luas 390 hektare. Pulau ini bernama Yumeshima – mulai dibangun tahun 1991 dan jembatan Yumemai yang menghubungkan Yumeshima dengan Pulau Honshu (daratan utama Jepang), yang diresmikan 2002. Ke depan, pulau ini akan menjadi kawasan pelabuhan, resort, dan juga pusat perjudian. Luas area expo sendiri mencapai 155 hektare. Tema expo adalah Designing Future Society for Our Lives, dengan subtema Connecting, Empowering, and Saving Lives. Tema ini merupakan bagian dari penjabaran Sustainability Developing Goals (SDGs) yang diputuskan PBB pada 2015 dan akan berakhir pada 2030. Tema ini juga sesuai dengan strategi nasional Jepang yang sedang menuju Society 5.0, yaitu super smart society. Inilah tahapan lebih lanjut perkembangan masyarakat, mulai dari masyarakat berburu-pengumpul, masyarakat agraris, masyarakat industri, dan masyarakat informasi. Jepang mengartikan Society 5.0 sebagai masyarakat yang sudah sangat terpapar ICT (Information and Communication Technology) dan terintegrasinya dunia maya dengan dunia fisik. Jadi, bukan hanya terciptanya lingkungan yang hijau, bersih, dan berkelanjutan tapi juga sudah terintegrasinya kehidupan ICT, termasuk kecerdasan buatan (artificial intelligent/AI).

Salah satu terjemahan dari tema dan subtema itu adalah gedung-gedung tempat pameran menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Namun yang monumental dan simbolik adalah bangunan yang mereka sebut sebagai Grand Ring (cincin raksasa). Bangunan itu berbentuk lingkaran dengan diameter 615-675 meter dan tinggi 12-20 meter. Lebar ring 30 meter dan panjang ring sekitar 2km. Bangunan ini sebagai simbol kesatuan dalam keanekaragaman (unity in diversity) atau jika dalam terminologi bangsa Indonesia sebagai Bhinneka Tunggal Ika.
Semua bangunan pameran berada di dalam area Grand Ring tersebut. Bangunan ini sepenuhnya terbuat dari kayu tanpa menggunakan paku. Sambungannya menggunakan metode “nuki”, sebuah teknik dalam konstruksi bangunan tradisional Jepang seperti kuil ataupun rumah tradisional Jepang. Pilar-pilarnya – berupa balok dengan lebar 42 cm -- juga bukan kayu utuh yang solid sehingga semacam saka tatal masjid yang dibangun para wali. Kayu-kayu tersebut disambung dengan menggunakan lem buatan Sunstar. Sebagian Grand Ring ini berdiri di atas bantalan sehingga berada di atas air laut. Atas capaian ini, Grand Ring mendapat anugerah Guinness Book of Record sebagai bangunan kayu terbesar. Pengunjung bisa naik ke atas Grand Ring dengan menggunakan eskalator. Dari atas Grand Ring, pengunjung bisa melihat lanskap pameran dari ketinggian, bisa menyaksikan laut, ataupun menikmati sunset di sore hari. Expo diikuti 160 negara dengan jumlah paviliun 84. Peserta yang tak membangun paviliun sendiri menempati bangunan yang ditempati bersama-sama. Peserta tak hanya negara, tapi juga korporasi-korporasi besar, khususnya dari Jepang.
Paviliun Indonesia
Anda jangan kaget saat datang ke Paviliun Indonesia akan bertemu Tantowi Yahya. Ya, ia selebritas yang sukses memasuki dunia politik, MC kondang, jubir yang bisa membuat berlian kian berkilau, dan sukses sebagai duta besar di Selandia Baru. Tantowi ditunjuk menjadi juru bicara Paviliun Indonesia. Desain paviliun adalah perahu pinisi, dengan dominasi berbahan kayu – terlihat indah jika dilihat dari atas, namun juga artistik saat dilihat dari berbagai angle yang berbeda. Paviliun Indonesia mengambil tema Thriving in Harmony; Nature, Culture, and Future. Indonesia menampilkan modernitas dan tradisionalitas sebagai satu kesatuan. Memadukan alam, budaya, dan masa depan sebagai sebuah harmoni. Karena itu, maket Ibukota Nusantara (IKN) sebagai pusat harmoni tersebut dan menempati ruang utama area pameran. IKN dikonsepsikan sebagai kota modern, ramah lingkungan, berpijak pada kearifan lokal, dan menjadi wajah masa depan Indonesia.
Saat pengunjung memasuki ruang paviliun akan disuguhkan beragam topeng Indonesia, tanpa polesan dan tanpa cat. Murni masih dari kayu yang dipahat dan sudah dihaluskan. Lalu pengunjung akan memasuki koridor yang di kiri-kanannya disuguhkan aneka tumbuhan tropis khas Indonesia. Di antara pohon-pohon itu diselipkan aneka patung dan seni instalasi binatang langka khas Indonesia seperti macan, komodo, dan sebagainya – karya seniman top Indonesia seperti pematung Nyoman Nuarta dan pelukis Nasirun. Kemudian pengunjung akan memasuki immersive room, yang menampilkan seni sinematografi virtual reality yang membuat pengunjung terlibat lebih dalam yang menyuguhkan kehidupan di Indonesia mulai dari isi lautan, isi perut bumi, hingga pepohonan, manusia, dan produk budayanya. Intinya: Indonesia kaya flora-fauna, kaya tambang, aneka etnik, serta kaya seni dan budaya.
Pengunjung kembali memasuki lorong yang di kiri-kanannya terpajang foto-foto wajah manusia Indonesia dengan beragam aksesoris pakaiannya. Nah, di sini ada satu foto Presiden Prabowo Subianto. Trala…akhirnya pengunjung memasuki suguhan utama: maket raksasa Ibukota Nusantara. Setelah disuguhi hal-hal lampau, kini pengunjung akan membayangkan kota masa depan Indonesia. Setelah melihat nature dan culture, pengunjung melihat future Indonesia. Kemudian pengunjung kembali melihat produk budaya warisan nenek moyang Indonesia: Ruang Wastra. Di sini terpajang aneka seni tekstil tradisional Indonesia, seperti batik, tenun, sulam, tenun, ulos, dan lurik. Ruang ini hasil sentuhan Didiet Prabowo, putra Presiden Prabowo yang memang seorang desainer. Akhirnya, pengunjung memasuki ruang teater. Pengunjung akan disuguhi film pendek karya Garin Nugroho.
Panasonic dan Sumitomo
Di pameran dagang ini, selain disuguhkan aneka warna dari 160 negara, juga disuguhi aneka kreasi dan Gambaran masa depan dari korporasi-korporasi raksasa dari tuan rumah. Dalam kunjungan satu hari tersebut, bisa berkesempatan menikmati suguhan dari Panasonic dan Sumitomo. Harus diakui, Jepang memang negara maju. Story line nya demikian solid dan utuh. Ada opening, ada ulasan yang luas, hingga ditutup dengan ending yang mengikat. Belum lagi dengan pesan yang kuat tentang gambaran masa depan, cara bercerita yang ringan namun menempel lekat, dan pemanfaatan teknologi terkini yang canggih dan interaktif.
Mari kita lihat di Panasonic. Mulai dari bangunannya. Seluruh bahan gedung pameran berasal dari barang bekas produk elektronik Panasonic, seperti mesin cuci, AC, kulkas, dan lain-lain. Desainnya seperti gelembung-gelembung sabun dengan warna ungu, pink, biru. Panasonic mengambil tema The Land of Nomo; Set Your Heart and Mind Free, and the World Will Open Up. Namun kata kuncinya adalah Unlock Your Nature. Nomo dalam Bahasa Jepang berarti akhir atau berhenti. Jadi, The Land of Nomo adalah simbol tentang tujuan masa depan. Caranya? Bebaskan pikiran dan hati Anda maka dunia pun akan terbuka untuk Anda. Kuncinya? Biarkan dirimu berkembang, unlock your nature. Seperti gelembung sabun, biarkan terbang bebas ke mana angin bertiup.

Nah, berdasarkan konsep itu, Panasonic membawa pengunjung berkelana ke alam sadar manusia terdalam. Melalui permainan, maka teknologi, karakter diri, dan alam sekitar menjadi dekat, lekat, interaktif, dan menjadi bagian dari spirit manusia. Permainan dimulai dengan memasuki ruang experience: melalui sinematografi virtual reality yang imersif, membuat cerita berpendar di hadapan kita, hidup, dan bercerita. Ia menggoda dengan aneka formasi menunggu ditangkap dan dipijak, lalu terbang atau buyar. Setelah itu pengunjung memasuki ruang gelap dan tiap orang harus mengambil kristal. Selanjutnya di ruang lain, pengunjung akan meletakkan kristal tersebut ke dalam suatu pilar ataupun tatakan dan dijawab dengan aneka lampu yang membentuk aneka formasi. Pengunjung bisa mengeksplorasi kristal tersebut tersebut untuk diletakkan di mana saja.
Kemudian pengunjung berpindah ke ruang lain. Di sini pengunjung diminta meletakkan kristal tersebut di sudut masing-masing, bebas di mana saja. Lalu layar monitor akan membacakan kepribadian kita sesuai dengan perlakuan kita terhadap kristal tersebut. Kini, pengunjung memasuki ruang selanjutnya. Di sini pengunjung diminta meletakkan kristal di atas pilar setinggi pinggang. Di situ sudah tersedia kipas tangan, katakan semacam kipas tukang sate, tapi berbahan elektronika. Nah, di pilar tersebut ada bola lampu yang terkurung jarring elektronik. Tugas kita adalah mengipasinya. Semakin cepat dan kuat berkipas, maka akan menimbulkan reaksi: ada kupu-kupu terbang, tentu virtual. Kipas harus makin kencang digerakkan. Terbentuk formasi virtual yang menggulung-gulung terbang. Karena pilar-pilar membentuk lingkaran maka gulungan arus virtual tersebut menuju ke tengah dan bertemu dengan gulungan serupa dari pilar lain yang dikipas oleh pengunjung lain. Lalu seolah meledak membentuk taburan cahaya. Ini memberi pesan bahwa umat manusia harus bekerja sama. Akhirnya, pengunjung keluar dan memasukkan kristal ke lubang, lalu keluar kartu bertuliskan Unlock Your Nature yang boleh dibawa pulang.
Melalui wahana permainan ini, Panasonic sedang menyampaikan bahwa mereka sedang meneliti suatu teknologi yang mengenali kepribadian dan perilaku manusia melalui cahaya, citra, suara, dan udara. Sehingga bisa dikenali tiap keunikan individu dengan merangsang indra dan kepekaan mereka. Dengan demikian bisa dikembangkan suatu teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masa depan umat manusia. Paviliun Panasonic menstimulasi kepekaan pengunjung dan membebaskan imajinasinya.
Sumitomo yang sudah berusia 400 tahun berawal dari industri tambang. Lokasi bekas galiannya kemudian dijadikan hutan yang sudah berusia ratusan tahun juga. Karena itu, Sumotomo mengambil tema hutan untuk pameran kali ini. Semua bahan bangunannya berupa kayu yang berasal dari hutan tersebut. Ada 1.000 pohon yang ditebang untuk pembuatan paviliun tersebut, namun kemudian mereka menanam 10 ribu pohon lagi. Pada pameran ini mereka mengambil tema See the Forest and Nature while Looking to the Future. Adapun kata kuncinya adalah Unknown Forest.
Saat memasuki ruang pertama, pengunjung diberi satu lentera lampu, bukan lentera api. Ini karena sepenuhnya pengunjung akan memasuki suatu hutan yang gelap. Lentera yang redup tersebut merupakan cahaya yang akan membimbing pengunjung agar tak tersesat atau terantuk. Namun ini bukan sembarang lentera. Di tempat-tempat tertentu, letakkan lentera tersebut maka akan muncul binatang dan suara yang bercerita tentang objek tersebut. Banyak sekali tempat-tempat yang bisa diletakkan lentera. Pengunjung bebas mengeksplorasi sudut-sudut hutan di dalam ruang tersebut. Tata cahaya yang membentuk gambar hidup virtual juga muncul. Melalui permainan ini, pengunjung seolah diajak memasuki hutan yang sesungguhnya.
Puncak kemegahan paviliun Sumitomo adalah di suguhan terakhir. Sumitomo menampilkan seni panggung mutakhir yang memadukan teknologi layar terbaru, seni sinematografi terbaru, dan disatukan dengan aksi panggung manusia. Jadi, seperti menonton film tapi ada manusia yang riil. Atau seperti menonton teater broadway tapi dipadukan dengan sinematografi virtual reality yang immersive. Setidaknya ada tiga layar berlapis. Layarnya bukan kain, tapi jaring sehingga mata penonton bisa tembus ke layar berikutnya. Ukurannya lebar 20 m dan tinggi 7,5 m. Layar ganda ini bisa membawa keuntungan ganda. Pertama, bisa menampilkan pertunjukan tiga atau bahkan lima dimensi: jika ada jurang penonton seolah ada di bibir jurang secara langsung, begitu juga jika ada banjir kita bisa larut dalam bayangan derasnya air. Kedua, karena layar berlapis-lapis maka di antara layar tersebut bisa ada ruang untuk manusia asli tampil dan menyatu dalam alur gambar dalam sinema. Melalui performa seni panggung riil dengan sinematografi virtual reality memungkinkan hadirnya kabut yang riil dan permainan cahaya yang riil. Semuanya menyatu, interaktif, dan penonton seolah hadir dalam latar virtual tersebut yang immersive tersebut. Kita membayangkan teater broadway di New York sudah memanfaatkan teknologi layar dan sinema seperti ini atau pertunjukan wayang wong maupun ketoprak pun menggunakan teknologi layar dan sinema seperti ini.
Nah, ceritanya sendiri tetap masih soal hutan dan kelestariannya.
What Next?
Setiap ajang World Expo selalu membawa pesan konkret masa depan. Tahun 1851, misalnya, mewariskan teknologi lokomotif, mikroskop, dan mesin cetak. Pada 1915, menampilkan sistem ban berjalan pada industri otomotif Ford. 1970 menampilkan mobile phone, monorel, sepeda listrik, dan sebagainya. Kita tunggu apa pesan konkret dari pameran di Osaka ini. Namun filosofi expo ini sudah tergambar dengan jelas dari tema dan subtema umum maupun tema dan subtema yang ditampilkan tiap paviliun, seperti tergambar dari Paviliun Indonesia, Sumitomo, maupun Panasonic. Para pemimpin redaksi, seperti Uni Lubis, Sutta Dharmasaputra, dan Arifin Asydhad, sangat terkesan dengan penampilan Pavailiun Panasonic, Sumitomo, maupun Grand Ring itu sendiri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.