
Opini
Problem Persatuan dan Kepemimpinan Umat
Perjuangan Islam harus disertai dengan menjaga harapan dan membangun kesadaran politik.
Oleh ASWAR HASAN, dosen ilmu komunikasi FISIP UNHAS Makassar
Kondisi realitas kekinian umat Islam Indonesia tanpa kepemimpinan yang diterima oleh semua pihak, Baik secara politik maupun secara sosial keagamaan adalah sebuah masalah yang tidak boleh dianggap remeh. Kondisi ini, sungguh memprihatinkan, dan tidak boleh dibiarkan berlarut pergenerasi.
Betapa tidak, sebab, menurut Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniyyah, kepemimpinan adalah kewajiban kolektif (fardhu kifayah) bagi umat untuk menjaga agama dan mengatur urusan dunia. Maka, membangun generasi yang siap memimpin adalah bagian dari perjuangan hari ini. Itu berarti, kepemimpinan umat bagi bangsa Indonesia menjadi kewajiban bersama untuk dipikirkan solusinya.
Dalam sejarah panjang peradaban Islam, kepemimpinan umat selalu menjadi pilar penting dalam menjaga arah perjuangan dan persatuan umat. Namun, realitas kontemporer menunjukkan adanya kekosongan atau krisis kepemimpinan umat yang disebabkan oleh adanya fragmentasi, konflik internal, sehingga melemahkan semangat kolektif dalam memperjuangkan nilai-nilai Islam. Kondisi ini menuntut umat Islam untuk merenungi kembali cara-cara memperjuangkan Islam di tengah perpecahan dan ketiadaan kepemimpinan yang terpusat.
Sementara Islam menempatkan kepemimpinan sebagai instrumen paling penting dalam menjaga stabilitas, keadilan, dan pelaksanaan syariat. Nabi Muhammad SAW sendiri bersabda, "Apabila tiga orang bepergian, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin" (HR Abu Dawud). Hal ini menegaskan bahwa bahkan dalam kelompok kecil sekalipun, kepemimpinan diperlukan untuk menghindari kekacauan.
Namun, ketika realitas tidak menyediakan sosok pemimpin yang dihormati oleh semua pihak, maka tugas memperjuangkannya tidak boleh terhenti. Dalam mengupayakannya umat Islam harus bertransformasi menjadi komunitas yang mampu bergerak bersama dalam dengan semangat kolektif menepis perbedaan, tanpa bergantung sepenuhnya pada satu figur pemimpin.
Perlunya Persatuan
Menjadi perdebatan bahwa persatuan takkan terwujud tanpa ada kepemimpinan yang diterima oleh semua pihak. Sementara pandangan lain menyatakan, bahwa tak mungkin melahirkan pemimpin yang diterima oleh semua pihak tanpa melalui persatuan umat dengan masing-masing alasan yang kuat.
Tetapi yang pasti, perpecahan umat sering kali bersumber dari perbedaan pandangan furu’iyah (cabang) dan orientasi politik. Dalam kondisi tanpa pemimpin tunggal, memperjuangkan Islam bisa dimulai dengan memperkuat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah. Persaudaraan sesama Muslim (Islamiyah) menjadi urgen sebagai fondasi utama yang diajarkan Nabi. Ketika kaum Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan, itu bukan karena adanya kesamaan suku atau budaya yang nytanya terdapat perbedaan. Namun, karena faktor iman yang sama dan misi dakwah yang sama, Mereka bersatu laksana satu bangunan yang kokoh.
Prof Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh al-Aulawiyat (Fiqh Prioritas), mengingatkan bahwa menjaga persatuan umat adalah prioritas utama dalam situasi krisis, bahkan melebihi beberapa hal cabang yang sering diperdebatkan. Perjuangan Islam yang dilakukan dengan memecah umat hanya akan melahirkan kekosongan dan fitnah.
Melahirkan Pemimpin
Ketika tidak ada satu pemimpin tunggal yang diterima oleh semua pihak, maka yang bisa dilakukan adalah membangun komunitas kecil yang memiliki visi perjuangan Islam secara kolektif. Komunitas ini bisa berupa kelompok pengajian, gerakan sosial, koperasi syariah, maupun lembaga pendidikan. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya menyebut bahwa solidaritas (ashabiyah) menjadi kunci bangkitnya peradaban. Dalam konteks ini, komunitas kecil yang solid bisa menjadi basis kebangkitan umat di masa depan.
Kepemimpinan tak selalu harus formal atau struktural. Dalam situasi tertentu, yang dibutuhkan adalah kepemimpinan moral—yakni orang-orang yang menjadi rujukan karena integritas, akhlak, dan kontribusinya. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir, dan Buya Hamka memperlihatkan bahwa kepemimpinan bisa tumbuh dari pengaruh moral, bukan dari jabatan politik.
Perjuangan Islam harus disertai dengan menjaga harapan dan membangun kesadaran politik Islam di tengah umat. Meski hari ini belum tampak sosok pemimpin tunggal, tetapi harus dipersiapkan. Umat harus tetap belajar dan memahami prinsip-prinsip kepemimpinan dalam Islam sehingga, ketika momentum hadir, umat telah siap dengan pemahaman dan kesadaran yang matang.
Perpecahan dan ketiadaan pemimpin bukan alasan untuk berhenti memperjuangkan Islam. Justru, dalam kondisi seperti itulah nilai-nilai Islam diuji dan diperjuangkan secara lebih tulus. Ukhuwah, akhlak, komunitas, dan dakwah menjadi jalan sunyi dan berliku harus dilalui demi menyongsong hadirnya kembali kepemimpinan umat yang adil dan bijak di masa depan. Wallahu a’lam bishawab
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.