Kick-off program Journalism Fellowship On CSR 2025. | Eva Rianti/Republika

Ekonomi

Membangun Ekonomi Masyarakat Melalui CSR

TBIG memiliki empat pilar dalam program CSR.

 

JAKARTA – Corporate social responsibility (CSR) telah lahir berdekade-dekade yang lalu, sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan. Kehadiran CSR secara nyata memberikan manfaat lebih luas, yang tidak hanya meliputi kebermanfaatan secara sosial, tetapi juga merambah pada pemberdayaan ekonomi.  

Salah satu perusahaan yang konsisten menerapkan CSR adalah PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), perusahaan induk dari Tower Bersama Group (TBG). TBIG terus menjalankan CSR-nya dan mencatatkan banyak penerima manfaat di berbagai sektor, mulai dari pendidikan, kesehatan, budaya, hingga lingkungan. 

“Secara hakikat CSR TBIG yakni kesadaran filosofis, karena memang itu sesuatu landasan ontologi. Sebagai perusahaan nasional, kami menyadari menjadi bagian dari bangsa Indonesia,” kata Head of CSR Departement TBIG Fahmi Sutan Alatas mengawali paparannya dalam acara Pelatihan Journalism Fellowship on CSR 2025 yang digelar secara daring, Senin (14/4/2025). 

Berangkat dari kesadaran filosofis tersebut, TBIG –perusahaan yang didirikan sejak dua dekade yang lalu itu- merumuskan sebuah misi, yakni membangun nilai bersama melalui kontribusi sosial dan lingkungan. Fahmi meyakini, perusahaan memiliki peluang untuk turut andil membantu pemerintah dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial yang ada di Indonesia.  

TBIG menyelaraskan misinya dengan tema-tema universal yang ada dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Adapun pedoman standar yang digunakan yakni ISO 26000 sebagai standar global dalam pelaksanaan CSR. 

Fahmi menerangkan ada empat pilar CSR TBIG. Pilar pertama, bidang lingkungan. Dalam implementasinya, bidang lingkungan meliputi aktivitas forestation yang merupakan SDGs poin 13. Ia menekankan, praktiknya tidak sekedar seremonial, semisal penanaman pohon, tetapi lebih jauh dari itu berupa penerapan yang sustainable dan sistematis. 

Pilar kedua, bidang budaya. Fahmi menuturkan, di bidang budaya, banyak sekali tradisi yang harus di-reclaim atau dilestarikan karena masih relevan hingga saat ini. Semangatnya adalah menciptakan nilai bagi masyarakat yang diajak kerja sama, sekaligus menciptakan nilai bagi perusahaan. Ia pun menyebutkan dalam bidang ini, perusahaan mengembangkan budaya batik dengan membentuk Rumah Batik TBIG. 

“Kami melakukan kajian, relevansi batik sebagai sebuah tradisi masih relevan dengan kondisi saat ini. Jadi di bidang budaya ini, Rumah Batik TBIG lebih ke national interest, salah satu identitas budaya bangsa,” tuturnya. 

Namun, Fahmi mengaku sadar bahwa tidak bisa melestarikan batik hanya lewat pameran dan semacamnya karena proses membatik bisa disubstitusi dengan mesin, sedangkan nilai budaya hampir tidak ada. Sejatinya, kata dia, motif batik yang sesungguhnya adalah yang diaplikasikan dengan sentuhan lilin panas atau disebut malam.  “Ini tradisi yang masih memiliki nilai yang tinggi dan dampak ekonomi yang sangat besar,” ungkapnya. 

Sayangnya, Fahmi menyebut tongkat estafet pembatik terancam terputus karena generasi muda yang kehilangan minat untuk meneruskannya. Sebab di era saat ini, generasi muda lebih banyak yang memilih jalan pintas untuk bisa berdaya secara ekonomi, seiring dengan perkembangan teknologi. 

Akhirnya, CSR TBIG membuat program pelatihan batik untuk anak muda, yang dimulai sejak tahun 2014. Semakin ke sini, peserta pelatihan pun meliputi anak usia belasan hingga maksimal 25 tahun, berbeda dibandingkan sebelum-sebelumnya yang pesertanya bisa berusia 40 tahun ke atas. 

Pemberdayaan dan Ekonomi 
Fahmi menyadari tantangan generasi muda yang tidak tertarik pada hal yang tidak memiliki dampak ekonomi langsung. Sehingga pelatihan batik tersebut dirancang sedemikian rupa agar memperoleh menghasilkan pendapatan atau nilai ekonomi yang tidak terlampau lama.

“Kalau terlalu lama dan tidak memiliki dampak ekonomi kayaknya anak-anak di daerah dengan tingkat pendidikan SMA lebih tertarik menjadi ojek online karena lebih cepat dapat duitnya. Jadi kita memikirkan cara bagaimana melakukan pelatihan selama paling lama 1 tahun tetapi sudah bisa mencetak pembatik. Ini kita jalankan sampai sekarang masih berlangsung,” jelasnya. 

Strategi lainnya yang dilakukan CSR TBIG adalah dengan membangun koperasi. Tujuan pembentukan koperasi tersebut adalah untuk membantu para pembatik bisa mencapai tujuan-tujuan komersialnya.  “Artinya sebuah tradisi itu akan tetap ada, tetap relevan, kalau memberi manfaat ke masyarakat. Salah satu manfaat penting adalah manfaat ekonomi,” jelasnya. 

Fahmi menerangkan, setidaknya ada tiga tantangan usaha mikro dalam menjalankan bisnis, yakni standardisasi produk, distribusi, dan permodalan. Ia mengungkapkan bahwa sistem permodalan mikro yang ada di pasaran saat ini adalah berbasis bunga. Kondisi itu dinilai sangat memberatkan pelaku usaha mikro. 

“Kami melihat perlu ada pendekatan khusus yang lebih customized untuk para pelaku usaha batik di tingkat mikro. Perlu adanya sustainability dari sisi permodalan dan pemasaran. Oleh karena itu, melalui koperasi kami mengembangkan sebuah skema yang memberikan semacam perlindungan kepada para pelaku usaha mikro sampai mereka bisa mandiri,” jelasnya. 

Perjanjiannya adalah dengan melakukan penyaluran permodalan mikro tanpa bunga. Sehingga yang dilakukan perusahaan adalah menggunakan pendekatan kemitraan dengan menanggung risiko dari produk-produk yang dihasilkan. Lantas, perusahaan akan membantu mendistribusikan produk ke jaringan toko-toko langsung. Menurut pengakuannya, para perajin akan mendapatkan uang kembali paling cepat dalam waktu 3 bulan. 

“Jadi kami memberikan modal, dengan modal yang diberikan mereka produksi, lalu barangnya kami beli cash, baru kami distribusikan. Karena risiko yang diambil oleh para perajin ini sangat tinggi ya, dan bisa membuat mereka terjerumus pada utang salah satunya utang bank-bank ilegal yang di pasar-pasar, seperti rentenir atau lintah darat, jadi lewat skema ini mereka punya kepastian dalam berusaha,” ungkapnya. 

Fahmi berpandangan, batik merupakan salah satu jalan keluar untuk menanggulangi persoalan ekonomi di tingkat lokal. Sebab, batik tidak membutuhkan teknologi yang tinggi. Meski menghadapi berbagai tantangan, seperti minimnya minat generasi muda, namun

Fahmi mengungkapkan CSR TBIG terus konsisten mewisuda para peserta pelatihan membatik, hingga melahirkan wirausaha. “Bahkan sudah ada beberapa alumni Rumah Batik TBIG yang mempunyai workshop batik sendiri dan memiliki karyawan sampai puluhan,” ungkapnya.

Di samping itu, ia berujar ada seleksi alam yang terjadi dalam pemberdayaan Rumah Batik yang dilakukan. Namun TBIG lebih menekankan pada pengembangan diri masing-masing peserta sesuai dengan kapasitas dan kemampuannya. Misalnya, ia mencontohkan ada juga alumni Rumah Batik yang memiliki keahlian di desain, ada juga yang berkemampuan di bagian QC, sehingga tak melulu semuanya ditargetkan menjadi pengusaha. 

“Ada namanya Bimo, lulus langsung kerja di sebuah butik di Sidoarjo dengan gaji  di atas UMR, sebelumnya dia tukang sapu di terminal tahun lalu. Kita rekrut, anaknya mau, setiap hari dia ngulik-ngulik desain, sekarang buat desain batik sudah pakai software,” ceritanya. 

Fahmi melanjutkan, pelatihan batik juga diberikan kepada kalangan difabel dari sekolah luar biasa (SLB). TBIG telah bekerja sama dengan SLB di Pekalongan dalam menjalankan pelatihan membatik.  “Sudah beberapa tahun terakhir kami memberikan pelatihan kepada anak-anak difabel, bagi penderita tunarungu, dan tuna grahita,” tuturnya. 

Fahmi bercerita, para anak-anak difabel tersebut dilatih untuk memproduksi berbagai jenis souvenir yang terbuat dari botol. TBIG bekerja sama dengan salah satu produsen geotekstil di Jakarta untuk membuatkan bahan botol yang dikumpulkan menjadi bahan setengah jadi. Bahan itu dikirim ke Rumah Batik TBIG untuk kemudian dijadikan produk. 

“Tahun ini kami memproduksi mungkin sudah 600 item, mulai dari sajadah, sarung laptop, totebag, tas sepatu, dan tas raket bulutangkis. Tahun ini kita akan kirim ke jaringan toko. Itu yang menjahit teman-teman dari anak-anak berkebutuhan khusus, dari jahit sampai ornamen batiknya. Sudah ada teman-teman berkebutuhan khusus mendapatkan bantuan permodalan dari lulusan Rumah Batik,” jelasnya. 

Adapun, pilar ketiga yakni pendidikan. Pilar tersebut cukup bersinggungan dengan pilar budaya, yang mana ada berbagai pelatihan-pelatihan yang dilakukan tim CSR TBIG.  Pada pilar tersebut, Fahmi bercerita, pihaknya menemukan fakta menarik, bahwa 6 persen pengangguran dikontribusikan oleh alumni SMK.

Di samping itu, berdasarkan survei yang dilakukan pada 2015 yang silam, TBIG menemukan bahwa tantangan di pendidikan vokasional justru dihadapi oleh lembaga pendidikan swasta. Terutama dari segi infrastruktur, sekolah-sekolah swasta yang cukup memadai, misalnya dalam memperlajari fiber optik kerap kali ada back-up nya, seperti ormas-ormas besar, semisal Muhammadiyah. Selebihnya sekolah-sekolah swasta tersebut kesulitan memenuhi karena biaya yang cukup besar. 

Fahmi melanjutkan, sedangkan dari sisi kurikulum, pihaknya menilai kurikulum pemerintah cukup baik, hanya saja sekolah-sekolah swasta tersebut kesulitan untuk mengejarnya. 
“Kami meng-inject kurikulum yang kami sebut kurikulum unggulan. Dalam kurikulum unggulan ini ada added value, proses, interpersonal, komunikasi, change ability. Selain itu juga kompetensi inti yang terkait dengan fiber optik dan aspek-aspek teknikal yang ada di industri tapi tidak ada di pendidikan SMK,” jelasnya. 

Dalam implementasinya, TBIG menghadirkan tenaga ahli dari internal perusahaan untuk memberikan pelatihan kepada para siswa yang ada di berbagai wilayah, seperti Palu, Medan, Balikpapan, Surabaya, Bandung, Pekanbaru, dan Palembang. Sedangkan bagi siswa yang berada di Jabodetabek diundang ke Rumah Belajar TBIG yang berlokasi di Tangerang, Banten. 

“Per 2024, penerima manfaat (pelatihan) 1.211 jumlah siswa program, 83 siswa magang, 50 guru peserta program, 31 sekolah kerja sama, 45 siswa terserap sebagai tenaga kerja, 9.176 siswa ajar peserta, Itu di sembilan provinsi, 16 mitra kerja sama,” ungkapya. 

Lebih lanjut, Fahmi memastikan bahwa program tersebut akan terus berjalan, mengingat kondisi industri yang menunjukkan demand yang tinggi terhadap lulusan SMK. Ia menekankan, kualitas menjadi sisi yang harus paling ditingkatkan. Ia mengungkapkan, salah satu karakteristik dari program tersebut adalah bagi peserta yang gagal di suatu pelatihan, bisa ikut kembali di pelatihan berikutnya tanpa ada batasan. 

Lalu, pilar keempat yakni kesehatan.  Fahmi menerangkan, akses pelayanan kesehatan menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia di sekitar tahun 2012. Namun, seiring berjalannya waktu pelayanan kesehatan makin baik di daerah, dengan kualitas puskesmas yang terus ditingkatkan. Di samping itu, adanya BPJS juga membantu masyarakat memenuhi kebutuhan akan kesehatannya. 

Sehingga fokus dari CSR TBIG di bidang kesehatan adalah lebih kepada menangani berbagai isu-isu yang menjadi persoalan publik. Diantaranya mengenai masalah stunting.  “Pilar kesehatan ini shifting, bukan lagi soal akses pelayanan, tapi lebih kepada konten edukasi. Misalkan beberapa daerah stunting masih jadi masalah, tingkat kesehatan ibu hamil dan anak, kebersihan, dan pola hidup sehat,” ujar Fahmi. 

Pada pilar tersebut, TBIG lebih menekankan pada percepatan edukasi pemahaman masyarakat tentang pola hidup sehat dan pentingnya kesehatan keluarga serta makanan bergizi. Selain itu, kegiatan yang dilakukan adalah pelayanan pascabencana. Sehingga setelah adanya bencana, CSR TBIG melakukan penanggulangan untuk memastikan masyarakat yang terdampak bisa mendapatkan bantuan untuk menopang kebutuhan selama di pengungsian, misalnya.  

“Di 2024, total penerima manfaat ini 127.529 orang di 24 provinsi, dan atau 139 kabupaten/kota. Kami mengoperasikan sebanyak enam mobil klinik (monik), dan rencananya akan ditambah pada tahun ini,” ujarnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat