Refleksi
Problem Ketuhanan dan Krisis Manusia Modern
Krisis peradaban modern terjadi karena manusia telah mereduksi Tuhan.
Oleh ASWAR HASAN, dosen ilmu komunikasi FISIP UNHAS Makassar
Voltaire pernah berkata bahwa “Kalau Tuhan tidak ada, akan sangat penting untuk membuatnya ada”.
Voltaire, sebagai pemikir Pencerahan, menyadari bahwa manusia membutuhkan Tuhan, baik sebagai sumber moralitas maupun sebagai penjamin tatanan sosial. Tuhan, dalam pandangan Voltaire, adalah landasan etika yang memberikan manusia panduan tentang apa yang benar dan salah. Tanpa Tuhan, masyarakat akan menghadapi kekosongan moral, yang pada akhirnya dapat menciptakan kekacauan. Pandangan ini relevan di era modern, di mana banyak masyarakat mulai memisahkan agama dari ruang publik, memunculkan relativisme moral dan krisis nilai.
Namun, Tuhan dalam pemikiran Voltaire cenderung diperlakukan sebagai konstruksi manusia, suatu entitas yang keberadaannya dirancang untuk memenuhi kebutuhan sosial. Inilah yang menjadi membuka jalan bagi fenomena yang digambarkan oleh Naquib al-Attas bahwa Tuhan telah dimanusiakan.
Naquib al-Attas memandang fenomena modern di mana “Tuhan dimanusiakan dan manusia dituhankan” menawarkan dua perspektif yang saling melengkapi dalam memahami krisis spiritual dan moral di era kontemporer. Keduanya menyoroti hubungan antara manusia dan konsep ketuhanan, meskipun berasal dari konteks yang berbeda. Voltaire berbicara dari sudut pandang filsafat Pencerahan, sementara Naquib al-Attas berakar pada tradisi spiritualisme Islam. Namun, keduanya sepakat bahwa krisis yang muncul saat ini ketika hilangnya keseimbangan antara manusia dan konsep Tuhan.
Namun, Tuhan dalam pemikiran Voltaire cenderung diperlakukan sebagai konstruksi manusia, suatu entitas yang keberadaannya dirancang untuk memenuhi kebutuhan sosial. Ini membuka jalan bagi fenomena yang digambarkan oleh Naquib alAttas bahwa Tuhan telah dimanusiakan dan Manusia dituhankan.
Naquib al-Attas, seorang pemikir Islam, menganalisis bahwa krisis peradaban modern tidak hanya terjadi karena manusia meninggalkan Tuhan, tetapi juga karena manusia telah mereduksi Tuhan menjadi sesuatu yang dapat dipahami, diatur, dan bahkan dimanipulasi sesuai keinginan manusia. Fenomena "Tuhan dimanusiakan" mengacu pada upaya untuk menundukkan keilahian kepada rasionalitas manusia, sehingga sifat transendensi-Nya hilang.
Di sisi lain, manusia juga mulai menuhankan dirinya sendiri, dengan menempatkan dirinya sebagai pusat dari segala sesuatu. Ini tercermin dalam ideologi modern seperti sekularisme, humanisme, dan individualisme, di mana manusia diperlakukan sebagai otoritas tertinggi atas moralitas dan hukum.
Naquib al-Attas melihat bahwa fenomena ini berakar pada hilangnya pemahaman tentang tauhid (keesaan Tuhan) dalam kehidupan manusia. Ketika manusia tidak lagi mengakui Tuhan sebagai pusat eksistensi, ia akan mencari makna dan otoritas di tempat lain, yang sering kali mengarah pada penyimpangan moral dan spiritual.
Meskipun berasal dari latar belakang yang berbeda, pandangan Voltaire dan Naquib al-Attas bertemu pada satu titik penting, yaitu ketika manusia mengabaikan Tuhan atau mengubah posisi Tuhan dalam kehidupannya, sehingga menyebabkan terjadinya krisis moral dan sosial menjadi konsekuensi yang tak terhindarkan dalam kehidupan mereka.
Voltaire dan Naquib sepakat, meski pun mereka tak sezaman bahwa hubungan antara manusia dan Tuhan harus dijaga dengan baik untuk mencegah kehancuran spiritual dan sosial. Meski pun perbedaan mereka terletak pada pendekatan filosofis dan religios. Voltaire melihat Tuhan sebagai kebutuhan sosial, sementara Naquib al-Attas melihat Tuhan sebagai realitas absolut yang menjadi pusat segala sesuatu bagi manusia terutama yang beragama.
Fenomena "Tuhan dimanusiakan" sebagaimana penjelasan oleh Naquib al-Attas terlihat dalam upaya untuk menjadikan agama sebagai alat politik atau ekonomi. Tuhan diperlakukan sebagai simbol yang dapat dimanipulasi sesuai dengan kepentingan manusia. Penekanan kehidupan modern pada individualisme ekstrem telah melahirkan manusia yang "dituhankan," di mana kehendaknya dianggap sebagai otoritas tertinggi. Naquib al-Attas memperingatkan bahwa fenomena ini akan membawa kehancuran spiritual karena manusia melampaui batas sebagai makhluk.
Voltaire dan Naquib al-Attas telah memberikan wawasan berharga tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan membentuk kehidupan sosial dan moral. Jika Voltaire menekankan pentingnya menciptakan konsep Tuhan untuk menjaga harmoni masyarakat, Naquib al-Attas memperingatkan bahaya ketika Tuhan direduksi dan manusia menempatkan dirinya sebagai pengganti Tuhan. Bahwa keseimbangan tersebut, penting untuk menjaga tatanan dunia. Solusinya terletak pada pengakuan terhadap keesaan Tuhan, bukan hanya sebagai konsep moral, tetapi sebagai realitas absolut yang memandu manusia menuju kehidupan yang bermakna. Dengan mengembalikan posisi Tuhan sebagai pusat kehidupan, manusia dapat keluar dari krisis spiritual dan moral yang melanda dunia modern. Wallahu a’lam bisawwab.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.