Warga menggunakan perangkat elektronik untuk berbelanja daring di salah satu situs belanja daring. (Ilustrasi) | ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

Opini

Paylater Pemicu Konsumsi Gaya Hidup

Paylater yang berkembang saat ini belum sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.

Oleh EBI JUNAEDI, Dosen FEB UI, Ekonom Samudera Indonesia Research Initiative (SIRI)

Ada yang menarik dari data proporsi belanja masyarakat yang dikeluarkan oleh Bank Mandiri terbaru. Di akhir Desember 2024, terjadi peningkatan proporsi belanja untuk gaya hidup (lifestyle spending) sebesar lebih dari 36 persen dibandingkan awal tahun (Januari 2024), yaitu dari hanya sekitar 15.2 persen menjadi 20,7 persen dari total belanja. Pada saat yang sama terdapat penurunan tabungan masyarakat, peningkatan jumlah rekening penerima pinjaman aktif dana peer to peer lending (P2P), Buy Now Pay Later (BNPL) serta kredit macet di kedua model pembiayaan tersebut.

Hal ini seakan menunjukkan bahwa keberadaan P2P dan BNPL memfasilitasi perubahan pola belanja tersebut. Melihat perkembangan yang pesat dari BNPL ini, mari kita lihat secara detail phenomena model pembiayaan yang lebih dikenal dengan nama Paylater ini.

Perkembangan teknologi finansial (fintech) dan e-commerce di Indonesia telah mengubah secara signifikan cara masyarakat bertransaksi. Pergeseran perilaku konsumen ke arah digital semakin dipercepat dengan munculnya berbagai inovasi pembayaran, salah satunya adalah layanan Paylater. Paylater merupakan layanan pembiayaan digital jangka pendek yang memungkinkan konsumen membeli produk dengan pembayaran ditangguhkan atau dicicil dalam jangka waktu 1-12 bulan. 

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, hingga Juli 2024, outstanding pembiayaan BNPL mencapai Rp 7,81 triliun dengan pertumbuhan tahunan 73,5 persen. Total kontrak pembiayaan Paylater di tahun 2023 mencapai 79,92 juta, meningkat rata-rata 144 persen per tahun sejak 2019. Pemain utama dalam industri ini termasuk Shopee Paylater, GoPaylater, dan berbagai bank seperti Mandiri, BCA, dan BNI juga mulai mengembangkan layanan serupa, sementara BSI berencana meluncurkan produk yang sama tahun depan.

Ada beberapa faktor yang mendorong berkembangnya layanan digital ini. Pertama, mekanisme pendaftarannya relatif mudah dan cepat. Proses pendaftarannya hanya melibatkan verifikasi data diri seperti foto dan KTP. Selanjutnya proses verifikasinya dianalisis menggunakan teknologi e-KYC (Electronic Know Your Customer) untuk penilaian risiko secara instan. Berbeda dengan perbankan dan kredit bank yang memerlukan proses persetujuan lebih lama.

Kedua, meskipun memiliki suku bunga yang bervariasi, suku bunga Paylater cenderung lebih rendah dibandingkan pinjaman online yang prosesnya sama-sama instant. Sebagai gambaran, pinjaman online sebesar 9% per bulan jika mengacu pada batas maksimal OJK sebesar 0,3 persen perhari untuk pinjaman konsumsi. Adapun suku bunga Paylater pemain terbesar saat ini berada di bawah kisaran 2,95 persen per bulan. Tingkat suku bunga ini memang lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat suku bunga kartu kredit berdasarkan batas maksimum BI, yaitu sebesar 1,75 persen per bulan, namun proses aksesnya lebih rumit khususnya bagi kalangan yang unbankable. 

Ketiga, layanan pinjaman Paylater terintegrasi dengan layanan e-commerce sehingga memberikan kemudahan dalam berbelanja dibandingkan dengan metode lainnya. Proses checkout lebih sederhana serta pembayaran yang dapat ditunda dapat mengurangi consumer friction atau hambatan dalam berbelanja. Di samping itu, Paylater dapat dijelaskan melalui teori ekonomi perilaku. Salah satunya melalui hyperbolic discounting, yang mana individu cenderung lebih memilih keuntungan segera daripada yang lebih besar di masa depan. Dengan Paylater, pelanggan dapat menikmati manfaat pembelian saat ini, sambil menunda pembayaran biaya dalam cicilan bulanan di masa depan (Kumar et al., 2024). 

Keempat, perubahan perilaku konsumen yang semakin mengandalkan belanja online turut berkontribusi pada peningkatan penggunaan Paylater ini. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Nielsen (2024), cara paling tinggi yang ditempuh konsumen untuk menghemat belanja barang (FMCG) adalah berbelanja secara online sebab membantu mereka untuk mendapatkan harga yang lebih baik dan juga mengendalikan keranjang belanja mereka. Di samping itu, Fenomena tersebut terkait erat dengan perilaku FOMO (Fear of Missing Out) dan YOLO (You Only Live Once) yang banyak mempengaruhi pola konsumsi generasi muda. Secara singkat, FOMO memunculkan perasaan cemas atau takut ketinggalan suatu kesempatan atau momen yang sedang tren, sehingga mendorong seseorang untuk mengikuti atau membeli sesuatu meskipun tidak terlalu dibutuhkan. Sementara itu, YOLO membuat seseorang berpikir bahwa karena hidup hanya sekali, sehingga dijadikan pembenar untuk mengambil keputusan impulsif atau berisiko, terutama dalam hal pengeluaran atau gaya hidup.

Kondisi tersebut sejalan dengan survei Populix (2023), bahwa pengguna Paylater didominasi oleh generasi milenial, dengan 43,9 persen pengguna berusia 26-35 tahun dan 26,5 persen berusia 18-25 tahun. Tujuan penggunaan paling tinggi Paylater yaitu pembelian produk fashion (66,4 persen), diikuti perlengkapan rumah tangga (52,2 persen), dan elektronik (41 persen), mengkonfirmasi temuan Bank Mandiri bahwa telah terjadi pola konsumsi masyarakat menjadi lebih besar berbelanja untuk memenuhi gaya hidup (life style).

 

Perbaikan Sistemik

Sayangnya, Paylater yang berkembang saat ini belum sejalan dengan prinsip-prinsip Islam. Sejumlah ulama menyatakan bahwa layanan ini haram karena mengandung unsur riba dalam bentuk bunga atas utang dan denda atas keterlambatan pembayaran cicilan utang. Menurut Ibnu Mundzir, ada konsensus bahwa setiap persyaratan kreditor untuk pemberian tambahan atau hadiah sebagai syarat hutang menjadikan transaksi tersebut mengandung riba dan dilarang. Selain itu, adanya syarat harus berbelanja terlebih dahulu sebelum bisa menggunakan fasilitas pinjaman, juga melanggar hadits yang melarang menggabungkan akad pinjaman dengan jual beli (baí wa salaf).  

Karena itu, agar Paylater dapat tetap digunakan secara sah, maka semua pihak yang terlibat (pelanggan, pedagang, penyedia Paylater) harus mematuhi standar Syariah dalam setiap kontrak dan prosedur transaksi mereka. Salah satunya adalah tidak boleh ada unsur riba dalam bentuk apapun pada seluruh prosedur Paylater, baik antara penyedia dengan penjual maupun antara penyedia dengan pelanggan. Model akad jual beli antara penyedia layanan dengan pembeli dapat dilakukan secara kredit dengan harga yang sudah disepakati di awal kontrak, meskipun dengan harga yang lebih tinggi dari harga tunai. Perbedaan antara harga tunai dan kredit ini diperbolehkan oleh para ulama. Selain itu, tidak boleh ada denda akibat keterlambatan pembayaran. Penerapan sistem jaminan (rahn) untuk memitigasi risiko moral hazard oleh peminjam dapat diterapkan, namun membutuhkan telaah lebih lanjut mengenai aset yang dapat dijaminkan dalam sistem online, seperti aset dalam bentuk digital.

Yang menjadi tantangan bagi Paylater yang berbasis syariah, termasuk dalam sistem fintech dan perbankan saat ini, adalah mencegah terjadinya aksi fraud oleh peminjam. Saat ini metode verifikasi data kependudukan dan data diri termasuk penggunaan biometric authentication masih rawan menghadapi kebocoran. Kasus yang terjadi pada beberapa lembaga pemerintah dan sejumlah perusahaan di sektor keuangan dan fintech menjadi bukti lemahnya perlindungan data nasabah, yang sangat berisiko dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. 

Karena itu, integrasi data sektor keuangan serta perbaikan standar scoring nasional menjadi penting. Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) yang dikelola OJK misalnya dapat mengintegrasikan data perbankan dengan data fintech, termasuk Paylater, sehingga latar belakang calon nasabah dapat diketahui secara lebih komprehensif. Selain itu, pentingnya adalah perbaikan single identity number, sehingga satu nomor identitas dapat berlaku untuk semua transaksi. Dari sisi konsumen dan produsen, peningkatan literasi keuangan, termasuk literasi mengenai hukum-hukum transaksi yang legal dalam Islam menjadi penting bagi negara yang dihuni 84 persen penduduk muslim ini. Tahun 2024, Indeks literasi keuangan syariah penduduk Indonesia hanya 39,1 persen sementara indeks keuangan syariah hanya 12,9 persen. Pekerjaan rumah yang masih besar bagi pemerintah dan pegiat ekonomi syariah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat