Seorang penumpang mengenakan masker di Bandara Ronald Reagan, Washington, Jumat (20/3) | AP

X-Kisah

Perang Ajari Kami Bertahan Hadapi Korona

Hidup di tengah peperangan ternyata mengubah hidup seseorang untuk selamanya. Hal ini disaksikan Danny Hajjar (29 tahun) dari cara hidup orang tuanya, imigran asal Lebanon. Kisah ini dimuat laman Huffington Post, Kamis (19/3).

 

Orang tua Hajjar dibesarkan di tengah perang saudara Lebanon pada 1975-1990. Perang yang berlangsung 15 tahun itu menewaskan hampir 150 ribu orang dan membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Mereka kenyang menyaksikan harga barang melambung tinggi, dunia usaha tutup, serta ketegangan antara saudara dan teman terasa tajam. Gelombang kekerasan dan hal-hal tak terduga teramat biasa mereka alami.

 

Mereka akhirnya hijrah ke Amerika Serikat (AS) pada 1980-an. Meski tak lagi hidup di tengah zona perang, pengalaman hidup kedua orang tuanya mengubah kehidupan mereka hingga kini. Mereka seakan selalu siaga menghadapi krisis—termasuk saat infeksi virus korona penyebab penyakit Covid-19.

 

"Orang tua saya selalu siaga. Mereka seperti selalu siap menghadapi kondisi terburuk, setiap saat," ungkap Hajar yang kini bekerja sebagai account executive di sebuah perusahaan komunikasi di Washington, DC.

 

Kini, kedua orang tuanya tinggal di Boston. Namun, mereka selalu siap, termasuk jika mengalami pemadaman listrik akibat cuaca buruk.

 

 
Rumah keluarga Hajjar selalu menyediakan baterai cadangan, lilin, dan makanan kaleng. Semua itu bahkan sudah disiapkan jauh hari sebelum ada kabar tentang virus korona.
   

 

Sepanjang hidup Hajjar, orang tuanya selalu mendidiknya agar siaga. Salah satunya adalah kebiasaan untuk menyiapkan uang kontan untuk menghadapi situasi darurat. Kebiasaan ini terasa asing bagi seorang milenial seperti Hajjar.

 

"Mereka selalu menyiapkan segala sesuatu jika ada bencana," katanya. "Menurut saya, semua itu tumbuh akibat perang. Yaitu, selalu siap menghadapi keadaan terburuk dan memastikan semua keperluan ada."

 

Keluarga-keluarga yang pernah melewati hidup di tengah perang dan kekacauan politik, krisis akibat Covid-19 ini sepertinya tidak terlalu mengejutkan. Ada juga yang mengalami serangan panik karena ada trauma menghantui mereka lagi. Sebagian lainnya justru merasa siap menghadapi Covid-19 berkat pengalaman masa lalu.

 

AS saat ini menghadapi tantangan penyebaran virus korona. Kepanikan warga AS tercermin dalam perilaku berbelanja yang didasari kepanikan. Laman New York Times menyebutkan, warga AS cemas melihat rak-rak di pasar swalayan yang kosong.

 

Produsen makanan AS menjamin persediaan pasokan pangan dan alat kebersihan tak ada masalah. Namun, permintaan yang membeludak tak hanya menuntut mereka memenuhi kebutuhan pembeli. Mereka juga harus berjuang melawan persepsi bahwa rak-rak yang kosong mencerminkan kebangkrutan fundamental AS.

 

Kepanikan ini ternyata mengingatkan ayah Shabina Shahnawaz pada masa lalu yang menyakitkan. Shahnawaz dan ayahnya memang sudah kenyang pengalaman hidup berpindah-pindah negeri. Mereka kerap tak sanggup menemukan makanan dan fasilitas kesehatan memadai setiap memasuki negeri yang mereka datangi: Iran, India, Bangladesh, dan Pakistan. Mereka akhirnya berlabuh di AS, satu dekade silam.

 

"Ini mengingatkan saya kembali pada kenangan," kata Shahnawaz.

 

Setiap ia dan keluarganya tiba di suatu negara, ia harus menyetok segala keperluan pokok sehari-hari. Itulah yang dijalaninya untuk melalui perang, perpecahan, dan ketidakpastian politik.

 

"Jadi, ketika kali ini terjadi dan banyak ketidakpastian, ayah saya benar-benar menjadi cemas," kata wanita berusia 33 tahun ini.

 

Kali ini, setiap kecemasan ayahnya kambuh, tugasnya untuk menenangkan bahwa semua pasokan kebutuhan mereka tercukupi. Tak seperti masa lalu, kali ini, mereka tak perlu lari lagi.

 

Pelajaran terbesar yang didapat Shahnawaz adalah untuk tetap tenang di tengah masa panik. Menurutnya, pengalaman bertahun-tahun menjadi pengungsi telah mengajarkannya agar tidak mudah panik. Strategi ini tampaknya amat bermanfaat di tengah wabah Covid-19.

 

"Pengalaman yang terjadi pada keluarga saya mengajarkan untuk tetap tenang dan menjaga tetap bersama," katanya kepada Huffington Post. Semua itu demi kesehatan fisik dan mental keluarganya. n 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat