Pekerja menyelesaikan pembuatan patung lambang negara Garuda Pancasila di kawasan Halim, Jakarta Timur. | Prayogi/Republika.

Kronik

Yudian Dulu, Yudian Sekarang

Yudian Wahyudi sempat dikenal sebagai penerjemah dan intelektual yang mumpuni.

Oleh YUSUF MAULANA, Pensyarah Perpustakaan Samben Yogyakarta

Tahun 1990-an adalah momen meningkatnya penerjemahan buku-buku keislaman yang menandai era kebangkitan penerbitan islami. Masa itu jadi era hadirnya para penerjemah buku, yang di kemudian hari di antaranya ada yang menjadi sosok intelektual hingga tokoh publik.

Satu nama yang produktif menerjemahkan buku bahasa Inggris ataupun Arab adalah Drs. Yudian Wahyudi Asmin. Dari Muhammad Quthb hingga Howard M Federspiel pernah diindonesiakan karyanya. Penerjemah ini sering mengangkat buku yang dekat dengan kalangan islamis, setidaknya muslim urban yang dahaga buku teks alih-bahasa. Terhadap andil para penerjemah itu, pembaca buku mungkin akan berpikir bahwa mereka akan sealiran dengan buku yang kerap diterjemahkan. Kenyataannya justru tak selalu begitu. Nama Yudian sebagai contoh. Melihat judul ataupun tema buku yang diterjemahkan di masa ia masih bergelar MA, kita bisa tersesat menyimpulkan bahwa dia pembela artikulasi sunnah yang puritan model aktivis harakah.

Yang terjadi justru kontras dari yang dibayangkan. Ada gap antara kecerdasan intelektual dan artikulasi intelek yang cerdas atau intelek yang kaya memahami teks berikut hikmah di balik itu. Ternyata perihal gap ini laten bagi penerjemah sekaliber Yudian.

Dan hari-hari sejak ia sebagai pejabat publik urusan artikulasi subjektif Pancasila, ia malah perlihatkan wajah sebenarnya dari sosok amat pintar tapi inferior ketika di depan kekuasaan.

 

***

"Rektor seperti curhat ketika pidato, Pak, begitu Megawati batal datang ke kampus." Tutur seorang mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta pada saya di almanak Maret 2018.

Ketika itu kami barusan selesai acara diskusi. Semester kedua tahun itu. Hendak ke pelataran masjid ada spanduk mencolok berupa foto rektor UIN Yogyakarta dan ucapan selamat datang pada Megawati.

Mahasiswa yang bercerita pada saya itu tentu saya pastikan lagi kata-katanya. Apa memang benar rektor "sampai segitunya" hanya karena ada pejabat tak jadi datang ke kampus.

Getun penuh sesal Prof KH Yudian Wahyudi, PhD., berasa ganjil untuk seorang akademisi mumpuni dalam tema studi Islam yang menekankan arti kebebasan berpikir dan menjauhi kebergantungan.

Sampai kemudian namanya melambung naik. Tapi tak ada kaitan dengan sesalnya atas absen Megawati. Maret 2018 ia hardik mahasiswi bercadar di kampusnya. Hardikan berupa larangan bercadar di kampus UIN Yogyakarta.

Bila soal cadar Yudian memilih keras, lain ketika ia jadi tim penguji disertasi seorang promovendus soal gagasan "milk al-yamin" pemikir Syahrur: tentang legalitas seks di luar pernikahan. Kontroversi yang terjadi Agustus 2019 dan beberapa pekan berikutnya, ditanggapi berani oleh Yudian. Tentu dia merasa memiliki kapasitas untuk menjawab banyak pertanyaan publik.

Cadar dan disertasi legalitas zina, keduanya sebenarnya, tanpa banyak disadari publik, modal memadai menaikkan namanya ke pentas nasional. Kontroversial memang. Tapi, ini ia iringi dengan sikap atau mungkin wataknya yang dingin mencari perhatian penguasa. Curhat di depan civitas kampus di atas tak ragu dia sembunyikan. Sikap ini sejatinya ironi bahkan paradoks klaim independensi tipikal sarjana studi Islam jebolan Barat.

Kendati begitu, kepintarannya memadai. Tak perlu disangsikan. Lupakan dulu tafsiran sengitnya pada agama sonder Pancasila. Atau saat dia hadirkan kontroversi seputar Muslimah berjilbab anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2024. Selalu narasi dan argumentasi dia tak serasi dengan kecakapannya mendaras teks. Lebih sebagai aktivis damba-kuasa yang kekanakan menjual sulutan agenda yang disukai aktor di sekitar rezim.

 

* * *

Apa artinya kecakapan luar biasa dalam membaca dan memahami teks kalau kemudian dia terjerembap dalam teks eksternal yang berlawanan dengan teks yang digaulinya selama ini?

Istrinya dari keluarga Kauman, Yogyakarta, salah satu kerabat ketua umum Muhamamdiyah kala itu, Bapak KH AR Fachruddin. Bahkan, sang ketua umum ormas ini pula yang menikahkan ia. Pernikahan dua keluarga dari ormas berbeda. Pak AR kagum pada Yudian muda, sang pengantin pria, yang ketika ijab-qabul memilih untuk memakai penuh bahasa Arab. Latarnya sebagai santri memang kuat, tak heran lidahnya begitu fasih. Pak AR pun sampai mengakui dirinya kalah fasih dibandingkan sosok yang hendak dinikahkannya itu.

Masa-masa sebagai doktorandus, seperti disebut di awal tulisan, Yudian aktif menerjemahkan. Kecakapan bahasa Arabnya sudah disaksikan bahkan di kalangan islamis. Generasi 1990-an mestinya akrab dengan buku "Al-Iman" kata Abdul Majid az- Zandani terbitan Al Kautsar. Ada nama Yudian sebagai tim penerjemah. Kalau belakangan, yang tampak di era sebagai rektor, dia kritis pada cadar dan jilbab, Oktober 1990 dia terjemahkan karya Ni'mah Rasyid Ridha berjudul "Tabarruj". Pun di buku-buku yang akrab bagi kalangan harakah, sebut saja "Evolusi Moral" karya Muhammad Quthb. Buku teks wajib sejarah Persatuan Islam, yang dianggit ulet penulisnya, Howard M. Federspiel edisi Gadjah Mada University Press, juga menera nama Yudian.

Yudian, sekali lagi, memang sosok santri cerdas, tak salah bila di kemudian hari ia jadi profesor pertama kampus keislaman di Indonesia yang kali pertama berkantor di Harvard sekaligus anggota American Association of University Profesors, Harvard University.

Dalam kecerdasan ia di studi Islam, lelaki yang pernah menyebut H.M. Rasjidi, menteri agama RI, sebagai “orang IAIN yang lemah metodologi”, ada potensi untuk berpaling dari orang yang memberikan kebajikan. Alam berpikirnya, entah mengapa, seperti diliputi kekakuan menilai berdasar analisis yang menurutnya metodologis, ilmiah, bahkan mungkin paling islamis. Jangan terkaget bagaimana membaca ulasannya mengotak-kotakkan organisasi Islam dalam jangkar wahabi. Tak terkecuali ormas Pak A.R. dan istrinya. Pun jangan tanya bagaimana ia selaku anak santri Krapyak berbangga dengan simbol kearaban dengan berfasih dalam bahasa di depan naib.

Sayang, awal Maret 2018 ia tak lagi “konsisten” ramah pada simbol Arab. Cadar disebutnya “simbol ideologi dan kepentingan politik tertentu”. Sebuah ungkapan yang bisa dirujuk pada kefasihannya mendakwa wahabi kepada sesiapa yang berbeda dengan haluan ormasnya; metodologi yang sejatinya bisa dipertanyakan dan didialogkan ketimbang bergegas menilai.

Ironi ataukah paradoks pada Yudian dalam modus operandi mencari perhatian kekuasaan bukan kala era partai Megawati berkuasa dalam dua periode terakhir ini. Era Susilo Bambang Yudhoyono, Yudian juga menyeruak jadi penahbis klan sang Presiden yang terhubung pada nama besar alim era Pangeran Dipanegara. Ya, pada 2012 sebuah karya "penelitian" Yudian berjudul "Perang Diponegoro: Tremas, SBY dan Ploso" terbit. Tidak begitu jadi perbincangan memang. Dan imbas atas keterlibatan Yudian atas terbitnya buku itu, yang waktu itu ditulis sebelum ia duduk sebagai rektor, juga tak begitu diketahui khalayak.

"Dia memang pintar. Hanya saja lemah dalam interpersonal," seorang kawan pernah menyebutkan ucapan seorang mentor pergerakan cum akademisi di Jogja yang sahabat dan mengenal baik Yudian. Kawan Yudian ini sudah mafhum bila urusan intelektual, dia tak perlu diragukan. Tidak demikian untuk urusan pergaulan.

Tampaknya Yudian ada "problem" dalam sisi ini. Intelektual yang belum paripurna bukan dari sisi kapasitas mencerna analisis kajian studi Islam yang dikuasainya. Seturut ucapan dia pada Pak Rasjidi, seperti itulah ringkih adab padanya. Dan ini rawan ketika masuk dan terobsesi pada kekuasaan. Maka, kalau dia sewaktu-waktu bicara agama diposisikan sebagai ancaman terbesar Pancasila, tak begitu mengherankan.

Muasalnya memang Yudian perlu dan masih ingin diperhatikan. Hatta ketika jabatan ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sudah direngkuhnya. Ia masih perlu kontroversi; sebuah cara menutupi keterbatasan diri tapi di benaknya sebagai pesona pancaran aktivitas akademis nan ilmiah.

Ia malah di hari-hari senjakala dengan badan penafsir monopoli Pancasila justru penuhi kritikannya pada Rasjidi: orang IAIN (UIN) yang lemah metodologi”. Lemah bukan dalam metodologi membaca teks melainkan metodologi bersosial dan memaknai sunnah sebenarnya selaku Muslim yang Pancasilais autentik. Argumentasi badan yang dipimpinnya dalam memberikan klasifikasi soal Paskibraka berjilbab kasatmata bukan perlihatkan nalar intelektual sejati. Bukan saja lemah dalam metodologi tapi juga inferior bernalar. Repotnya adalah kalau soal inferior ini sudah menjadi laten dalam jiwanya. Sedih dan sungguh sayang aset intelektualitasnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kala Syariat Dianggap Main-Main

Pencopotan jilbab sejumlah anggota Paskibraka mengecewakan banyak pihak.

SELENGKAPNYA

BPIP Didesak Cabut Aturan yang 'Singkirkan' Jilbab dari Seragam Paskibraka

BPIP berdalih, individu Paskibraka Nasional sudah tanda tangan surat pernyataan di atas materai.

SELENGKAPNYA

Alasan BPIP Hapus Jilbab dari Seragam Paskibraka: Bhineka Tunggal Ika

Sebelumnya, Paskibraka yang berjilbab tidak dipaksa untuk dilepas.

SELENGKAPNYA