Kisah Dalam Negeri
Sinema Black Magic, Satir Menohok Perfilman Indonesia
Film pendek ini menyajikan kritik atas perfilman Indonesia dengan renyah.
Oleh FITRIYAN ZAMZAMI
YOGYAKARTA – Sukar dipungkiri, jagad perfilman di Indonesia semacam klub tertutup. Sejumlah “pemain besar” menguasai pasar dengan kekuatan modal dan tema dan plot yang kebanyakan itu-itu saja.
Dengan latar seperti itu, Onomastika Films melansir film pendek dengan judul Sinema Black Magic (2022) yang belakangan tayang di kanal Youtube mereka. Film itu berkisah tentang dua pembuat film yang selalu gagal memasarkan filmnya. Mereka akhirnya mencoba mencari jalan kesuksesan melalui ilmu gaib yang diterapkan dalam proses produksi film.
Tokoh utama film pendek tersebut adalah dua filmmaker yang telah bersahabat sejak lama. Salah satunya Kecap (Eka Wahyu), seorang sutradara sekaligus penulis skenario muda dan rekannya Kipli (Aryudha Fasha), seorang produser. Mereka tinggal di sebuah kampung kreatif yang telah terbangun ekosistem perfilmannya.
Di kampung tersebut, setiap pembuat film bisa mendapatkan keuntungan dari penayangan film-film yang mereka produksi. Dari kegiatan itu pula, perputaran uang dari industri film di kampung itu begitu menjanjikan.
Seperti halnya filmmaker lain, Kecap dan Kipli berharap bahwa film yang mereka produksi bisa sukses di kampungnya. Tapi lagi dan lagi mereka selalu mendapat respon negatif dari penonton. Film mereka selalu gagal di pasaran. Dari pengalaman itu, mereka kemudian menelaah soal resep membuat film yang laku di pasaran serta layak mendapatkan respon positif dan penghargaan.
Terinspirasi dari film-film yang beredar, Kipli sang produser mendapat ide. Ia sadar bahwa tradisi mistis di indonesia sebenarnya sama dengan kelahiran film itu sendiri. Bahwa film sedianya semacam sihir juga. Kipli berharap bahwa dengan Ilmu gaib atau black magic yang akan ia terapkan dalam filmnya, film yang mereka produksi bisa sukses.
Film tersebut disutradarai Loeloe Hendra yang memenangkan Festival Film Indonesia 2014 lewat film pendeknya Onomastika. Ia saat ini tengah menjalani pascaprduksi untuk film panjang pertamanya yang diproduksi bersama Kawan-kawan Media yang sebagian prosesnya dilakukan di Manila, Filipina.
“Sejak saya duduk dibangku kuliah film hingga kini saya mulai masuk di Industri film, saya selalu mendengar keresahan yang sama dari pembuat film. Pembuat film di Industri selalu mencari cara apa sebenarnya yang menarik perhatian penonton hingga film mereka bisa laku di pasaran,” ujarnya dalam lansiran yang diperoleh Republika, Selasa (4/6/2024).
Menurutnya, banyak formula sudah diterapkan para pembuat film, namun tak sedikit yang gagal memenuhi ekspektasi. “Dari kenyataan tersebut, saya mencoba merangkum situasi yang tak pasti ini dalam sebuah cerita komedi tentang dua orang sahabat yang begitu mencintai film dan bertekad hidup hanya untuk film,” ia melanjutkan.
Ia berharap, melalui cerita ini, berbagai fenomena Industri film di Indonesia bisa dikemas menjadi sajian cerita film pendek yang menghibur dan juga menjadi refleksi atas situasi dan kondisi perfilman di Indonesia. “Bagi saya, film pendek adalah sarana untuk menyalurkan kegelisahan. Film pendek bisa menjadi pencatat sejarah atas segala situasi yang ada tanpa adanya intervensi dan juga bisa steril dari segala kepentingan. Film pendek ini bagi saya adalah bentuk ungkapan kejujuran saya untuk merekam segala hal yang terjadi di film Indonesia.”
Film berdurasi sekitar 20 menit tersebut ciamik secara sinematografis. Sesekali terlihat pengaruh gaya simetrikal ala sutradara Hollywood Wes Anderson. Suasana pedesaan di Sleman, Yogyakarta, lokasi pengambilan film itu, seperti jadi karakter tersendiri dalam film.
Sementara kondisi perfilman di Tanah Air yang disajikan secara mikrokosmos membuat satir-satir yang tersebar di seantero film mudah diterka kemana ditujukan. Para pemeran dalam film tersebut juga tampak natural dan tak mengada-ada. Film ini layak dinikmati tanpa mengerutkan dahi bagi mereka-mereka yang ingin tahu soal jeroan perfilman Indonesia dan sengkarutnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Joko Anwar: Wajar Sineas Film Bawa Agama
Sutradara Ginatri S Noer mengungkapkan keresahannya mengenai film horor yang dinilai semakin mengeksploitasi agama.
SELENGKAPNYAKegelisahan Sutradara Soal Tren Film Horor di Indonesia
MUI menilai adanya film horor yang menggunakan judul dengan istilah-istilah Islam dapat menyebabkan masyarakat menjadi takut untuk beribadah.
SELENGKAPNYA