Gedung Pancasila yang dulu merupakan rumah panglima militer Belanda. | Kementerian Luar Negeri

Kronik

Kisah Rumah Panglima Belanda jadi Tempat Lahir Pancasila

Di Gedung Pancasila juga diteken Piagam Jakarta.

Oleh ALWI SHAHAB

Inilah gedung yang sangat bersejarah dan kini sehari-hari digunakan sebagai ruangan upacara oleh Kementerian  Luar Negeri di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat. Di gedung inilah pada 1 Juni 1945, Bung Karno mengucapkan pidatonya yang termasyhur ‘Lahirnya Pancasila’. Gedung yang dibangun pada 1830 itu pernah menjadi kediaman Panglima Angkatan Bersenjata Belanda, Herzog Bernhard van Sachen Würmer Eisenach (1792-1862). Pada masa Belanda, Jalan Pejambon bernama Hertog Park.

Jenderal ini keturunan Jerman yang kala itu merupakan warga Eropa kedua terbanyak di Batavia di samping Belanda sendiri. Kehadiran orang-orang Jerman di Hindia Belanda baru berakhir pada Perang Dunia II (1942-1945), ketika Pemerintah Belanda membubarkan komunitas Jerman di Indonesia sebagai reaksi atas pendudukan Belanda oleh Nazi Jerman.

Gedung ini dulunya merupakan tanah pertanian yang berada jauh di luar kota, milik tuan tanah dan petinggi VOC, Anthony Chastelein, yang memiliki tanah serupa di Depok. Sebelumnya, di gedung ini, terdapat tempat penggilingan tebu yang kemudian menjadi tangsi militer saat dibangunnya  Weltevreden (daerah yang lebih nyaman).

Ketika diabadikan fotografer Woodbury & Page pada 1870-an, gedung yang terletak di Jalan Pejambon, Jakarta Pusat, kala itu bernama Hertog Park (Taman Adipati). Untuk mengenang Hertog Bernhard, seorang keturunan Jerman yang pada 1849-1851 menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata di Hindia Belanda. Ia berasal dari keluarga ningrat Jerman.

photo
Gedung Pancasila ketika digunakan sebagai gedung Volksraad Belanda pada 1925. - (KTILV)

Komunitas Jerman di Hindia Belanda merupakan koloni asing terbesar kedua dengan jumlah sekitar 8.000 jiwa. Ada empat gubernur jenderal di Hindia Belanda keturunan Jerman. Yang terkenal Van Imhoff, yang kediamannya masih kita dapati di Jl Kalibesar Barat, yang kini dikenal sebagai 'Toko Merah'. Akibat banyaknya warga Jerman, pada tahun 1874 di Batavia dibuka konsulat jenderal Jerman, yang gedungnya sekarang milik Kedubes AS dan dipakai untuk kantor penerangan Amerika (USIS). Di samping lima konsulat, masing-masing di Medan, Padang, Surabaya, Semarang dan Makassar.

Tahun 1940 banyak orang Jerman di Indonesia ditahan dan dikirim dengan kapal ke India. Sebagai akibat kemarahan pihak Belanda karena negaranya ditaklukkan oleh Nazi. Salah satu dari kapal itu yang bernama 'Imhoff' terkena bom torpedo Jepang dan tenggelam. Sebanyak 411 orang Jerman meninggal dalam peristiwa itu. Mungkin Jepang tidak tahu kapal Belanda ini berisi para tawanan Jerman. Karena dalam Perang Dunia kedua, Jerman bersama Italia merupakan sekutu Jepang.

Ketika diabadikan 1870-an, gedung yang dibangun awal 1830-an dengan gaya klasisisme ini merupakan kawasan elite khusus untuk warga Belanda. Terlihat di depannya penuh dengan bunga dan berbagai pepohonan lainnya. Di sebelah kanan terlihat sebuah gedung yang pernah ditempati oleh Departemen Kehakiman dan terakhir menjadi gedung BP-7. Pada masa Pak Harto, rakyat khususnya para pegawai negeri diwajibkan untuk mengikuti penataran P-4, yang dimaksudkan agar mereka lebih memperdalam Pancasila dan UUD. Termasuk kesetiaan kepada negara, meskipun kenyataannya korupsi terjadi di mana-mana. Penataran P4 kemudian dihapus setelah reformasi. Sedangkan gedung Kemenlu yang terletak di bagian kiri gedung Pancasila, kala itu belum berdiri.

Ketika Markas Komando Militer Hindia Belanda dipindahkan ke Bandung, di gedung Pancasila itu pada 1918 menjadi tempat kegiatan sidang-sidang Volksraad (Dewan Rakyat) semacam DPR bentukan Belanda. Salah satu anggotanya adalah Mohammad Husni Thamrin, putra Betawi kelahiran Sawah Besar. Anak wedana dan dari keluarga kaya raya ini sangat vokal dalam membela nasib yang menyangkut rakyat kecil. Di Volksraad yang anggotanya banyak warga Belanda, Thamrin sangat vokal dalam membela Bung Karno, ketika presiden pertama ini ditangkap dan kemudian diasingkan ke Ende.

photo
Suasana rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1945. - (Arsip Nasional)

Jalan Pejambon, yang berdekatan dengan Lapangan Banteng dan kini berdiri gedung-gedung megah, pada abad ke-17 pernah menjadi tempat penggilingan tebu milik warga Tionghoa. Ketika itu, Batavia dengan penuh gairah menjadi salah satu pusat perkebunan tebu di tanah air. Bahkan sampai awal abad ke-20, Oei Tiong Ham menjadi konglomerat pertama di Asia karena penghasilannya sebagai eksportir gula. 

Banyak peristiwa bersejarah yang terjadi di gedung Pancasila. Sesudah tahun 1916 sampai 1942, gedung ini digunakan untuk sidang-sidang Volksraad (parlemen buatan Belanda) dan pada akhir-akhir pendudukan Jepang digunakan sebagai Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada bulan-bulan Mei, Juni, dan Juli 1945. Saat bangsa Indonesia makin meningkatkan tuntutannya kepada Jepang untuk kemerdekaan.

Dari gedung inilah, Bung Karno pada 1 Juni 1945 berpidato di depan sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian melahirkan dasar negara Pancasila. Di gedung bersejarah inilah, PPKI di bawah pimpinan Bung Karno menandatangani Piagam Jakarta pada 22 Juni. Isinya berupa saran tentang dasar-dasar negara. Kala itu, kelompok Islam menginginkan dibentuknya negara berdasarkan syariat Islam. Sedangkan, kelompok nasionalis dan Kristen menghendaki negara bebas dari pengaruh agama.

photo
Suasana upacara Peringatan Hari Lahir Pancasila di halaman Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Sabtu (1/6/2019). - (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Piagam Jakarta ditandatangani sembilan orang yang mencerminkan aliran Islam, nasionalis, dan Kristen. Mereka adalah Bung Karno, Bung Hatta, A Maramis (tokoh Kristen), Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Mohamad Yamin. Tapi, kemudian, terjadi perdebatan dan kompromi. 

Kalimat  ... menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dihapuskan. Piagam ini hanya berumur 56 hari. Karena, sehari setelah proklamasi (18 Agustus 1945), piagam ini dicoret. Meski demikian, perjuangan untuk menggolkan Piagam Jakarta atau berlakunya syariat Islam tidak berhenti hanya karena kesepakatan 18 Agustus 1945. Dalam sidang-sidang Konstituante di Bandung (1955-1959), partai-partai Islam tidak berhenti memperjuangkan syariat Islam di Indonesia.

Di gedung ini pula, pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi, Bung Karno dan Bung Hatta ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden. Sayang dwi tunggal ini tidak berlangsung lama karena pada 1956, Hatta mengundurkan diri sebagai wapres. Yang kemudian disusul dengan terjadinya pergolakan-pergolakan di beberapa daerah.

Bersamaan dengan pelantikan Bung Karno dan Bung Hatta, ditetapkan UUD 1945 yang dikaitkan dengan Pancasila sebagai dasar negara. 

Disadur dari Harian Republika. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sebanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat