Iqtishodia
Kelembagaan Agribisnis Ayam Broiler
Kelembagaan agribisnis sangat berperan dalam memajukan pertanian.
OLEH Muh Faturokhman (Mahasiswa Program Doktor Sains Agribisnis, IPB University), Dr. Dwi Rachmina (Dosen Departemen Agribisnis dan Program Doktor Sains Agribisnis FEM IPB University)
Salah satu aspek yang mempengaruhi keberhasilan usaha di bidang agribisnis adalah kelembagaan yang berfungsi mengoordinasikan berbagai aktivitas organisasi pelaku agribisnis. Dengan kelembagaan yang baik, maka secara relatif organisasi akan lebih mudah mencapai tujuannya.
Menurut Ruttan dan Hayami (1984), kelembagaan adalah aturan dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antara anggota untuk membantu mereka dengan harapan setiap orang atau organisasi mencapai tujuan bersama yang diinginkan. Organisasi tersebut misalnya kelompok tani, gapoktan, koperasi dan perusahaan agribisnis yang bergerak di hulu, on farm, hilir, jasa, dan pemasaran.
Secara umum, kelembagaan agribisnis sangat berperan dalam memajukan pertanian. Dengan kelembagaan maka para pelaku lebih mudah dalam aksesibilitas di bidang produksi, sumber daya dan juga pemasaran. Selain itu, rangkaian kegiatan dalam sistem dan usaha agribisnis digerakan oleh kelembagaan.
Dalam agribisnis ayam broiler, kelembagaan memiliki peran strategis dalam membantu memecahkan kompleksitas permasalahan. Permasalahan tersebut antara lain fluktuasi harga yang ekstrem, baik harga input maupun harga jual live bird (ayam hidup), ketersediaan pakan dan DOC berkualitas, dan faktor alam dan lingkungan yang memengaruhi produksi.
Secara umum terdapat lima bentuk kelembagaan agribisnis ayam broiler yang memengaruhi peta bisnis ayam di Indonesia. Pertama, peternak mandiri, yaitu yang bermodal sendiri tanpa afiliasi langsung dengan perusahaan pemasok input. Peternak mandiri membeli input (DOC dan pakan) dari industri hulu tanpa ada ikatan apa pun dan bebas menjual live bird ke mana pun.
Kedua, contract farming, yaitu kelembagaan yang melibatkan dua belah pihak, yaitu pihak inti sebagai penyedia input produksi dan plasma, yaitu peternak sebagai pihak yang berbudi daya. Menurut Daryanto (2020) terdapat beberapa bentuk kemitraan, antara lain harga kontrak atau garansi, maklun atau upah kerja, sistem bagi hasil dan kerja sama terpadu (tripartite agreement).
Ketiga, integrator. Sebutan integrator mengacu pada aktivitas perusahaan yang melakukan integrasi usaha mulai dari hulu, on farm dan hilir dikelola oleh satu korporasi. Keempat adalah koperasi. Ini merupakan bentuk kelembagaan yang melakukan kerja sama antara peternak, di mana input produksi terutama DOC dan pakan disediakan oleh koperasi dan hasil penjualan live bird ditetapkan bersama antara peternak dengan koperasi terkait harga dan tempat penjualan.
Kelima, pedagang perantara (broker) yang lebih mendominasi harga tanpa melakukan budi daya. Dalam aktivitas bisnis, hubungan antarlembaga usaha dapat berbentuk integrasi vertikal ataupun integrasi horizontal.
Hubungan lembaga usaha dalam subsistem yang berbeda adalah integrasi vertikal, sedangkan hubungan lembaga usaha dalam subsistem yang sama atau komoditas yang sama disebut integrasi horizontal.
Bentuk kelembagaan contract farming antara peternak sebagai plasma di subsistem on farm dengan pemasok sebagai pelaku (inti) di subsistem hulu adalah salah satu bentuk integrasi vertikal.
Adanya kerja sama usaha antara peternak pada subsistem on farm dengan membentuk kelembagaan koperasi unggas, adalah salah satu contoh bentuk integrasi horizontal. Pola integrasi vertikal dan horizontal adalah bentuk keragaman kelembagaan agribisnis ayam broiler di Indonesia yang dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain besar/kecilnya profit, antisipasi risiko, kesamaan tujuan ekonomi dan sosial, serta kesamaan pemikiran atau ideologi.
Peran strategis ayam broiler
Komoditas ayam broiler merupakan komoditas primadona peternakan. Secara mikro, komoditas ayam broiler merupakan komoditas pangan yang sangat digemari konsumen.
BPS (2021) menyebutkan bahwa tingkat konsumsi daging ayam mencapai 0,14 kg/kap/minggu atau 8,1 kg/kap/tahun. Sedangkan, komoditas lainnya seperti daging sapi hanya 2,2 kg/kap/tahun, dan domba hanya 0,4 kg/kap/tahun (OECD dalam Ferlito dan Hizkia, 2018).
Jadi, di antara komoditas ternak, konsumsi daging ayam yang paling tinggi. Asosiasi produsen pakan ternak Indonesia tahun 2018 menyebutkan bahwa secara umum sektor perunggasan memasok 65 persen protein hewani (APPI/GPMT dalam Ferlito dan Hizkia,2018).
Dilihat dari tingkat produksi, tahun 2022 produksi ayam broiler mencapai 3,7 juta ton, sedangkan produksi daging sapi mencapai 498.923,14 ton (BPS, 2023). Data ini menunjukkan bahwa produksi daging ayam broiler mendominasi produksi daging nasional.
Secara makro, dengan tingkat produksi ayam broiler yang tinggi akan memberikan multiplier effect terhadap sektor lain, misalnya terhadap tenaga kerja. Menurut Asosiasi Produsen Pakan Ternak Indonesia (APPI/GPMT) tahun 2018, sektor perunggasan mampu menyediakan lapangan kerja bagi 12 juta orang, dan memiliki perkiraan nilai lebih dari 34 miliar dolar AS.
Dari angka konsumsi, produksi dan serapan tenaga kerja menunjukkan peran strategis sektor perunggasan, khususnya daging ayam broiler dalam mencukupi kebutuhan protein masyarakat, sehingga menjadi bagian penting dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Selain itu, sektor perunggasan berperan dalam meningkatkan pembangunan nasional melalui penyediaan lapangan pekerjaan bagi masyarakat.
Walaupun memiliki peran besar baik secara mikro maupun makro, seperti yang dijelaskan sebelumnya, banyak permasalahan yang terjadi dalam sistem agribisnis ayam broiler. Beberapa permasalahan itu adalah fluktuasi harga pakan dan DOC (day old chick), fluktuasi harga jual ayam hidup (live bird), dominasi inti dalam sistem contract farming, dan inefisiensi produksi akibat FCR rendah di tingkat peternak.
Instabilitas harga pakan dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran. Contoh pada bulan Juli 2023, harga pakan naik dari 8.500 menjadi 9.500 per kg. Naiknya harga pakan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kenaikan harga bahan baku, khususnya jagung yang merupakan komponen utama. Kemudian, terjadinya apresiasi dolar AS terhadap nilai tukar rupiah, naiknya permintaan jagung, perubahan iklim, dan kenaikan biaya distribusi.
Untuk mengatasi persoalan ini, sebaiknya peternak bergabung dalam sebuah kelembagaan koperasi yang memiliki kemudahaan akses untuk mendapatkan pakan. Selain itu, dengan berkoperasi peternak dapat membayar pakan setelah panen dilakukan. Hal ini setidaknya dapat menolong peternak dalam menyediakan pakan dengan harga yang kompetitif.
Terjadinya over demand DOC berakibat harga naik, bahkan melonjak. Contohnya pada bulan Juni 2023 harga DOC naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 8.000 per ekor. Namun, saat terjadi over supply, harga jual live bird turun sehingga peternak mengalami kerugian.
Persoalannya berawal dari kesalahan menghitung kebutuhan grand parent stock (GPS) yang berimbas pada pengalokasian konsesi impor. Saat terjadi overproduksi DOC, terjadi ketidakpatuhan perusahaan yang mendapat konsesi impor terhadap kebijakan pemerintah yang mewajibkan melakukan afkir dini indukan. Situasi ini mengakibatkan kelebihan produksi DOC yang berakibat overproduksi live bird.
Solusi terkait permasalahan itu, sebaiknya peternak mandiri bergabung dalam koperasi yang sudah memiliki kerja sama dengan perusahaan pembibitan terkait jumlah dan kualitas. Kenaikan harga DOC dapat lebih ditekan karena adanya kerja sama B to B. Hal ini akan lebih meringankan dari sisi pembiayaan produksi.
Dalam jangka panjang, sebaiknya koperasi diberikan izin dan kemudahan impor GPS. Koperasi didorong untuk “bermain” di hulu sehingga dapat memasok kebutuhan DOC untuk anggota.
Sistem kemitraan yang merugikan peternak timbul karena ada perjanjian yang tidak memberikan keadilan dari kedua belah pihak. Dalam perjanjian, pihak plasma harus menjual semua live bird kepada pihak inti dengan kesepakatan harga di awal.
Selain itu, dalam perjanjian seringkali harga yang disepakati memiliki margin keuntungan yang tipis. Masalah ini secara kelembagaan dapat dipecahkan dengan contract farming dengan model bagi hasil.
Kelebihan sistem ini yaitu harga pokok sapronak ditentukan di muka, kerugian ditanggung bersama, dan harga panen tergantung pasar, dan inti menjamin plasma tetap mendapat keuntungan.
Hubungan kelembagaan
Setidaknya terdapat lima bentuk kelembagaan di dalam agribisnis ayam broiler. Lima bentuk kelembagaan tersebut memiliki hubungan satu dengan lainnya. Integrator menguasai bisnis di subsistem hulu (DOC dan pakan), on farm, hilir dan juga retail, tetapi juga memiliki hubungan dengan semua kelembagaan, kecuali broker.
Koperasi, peternak mandiri, peternak dan inti di contract farming membutuhkan pasokan pakan dan DOC dari Integrator. Broker berhubungan dengan peternak dalam pembelian live bird.
Kesimpulannya, lima bentuk kelembagaan dalam agribisnis ayam broiler memiliki peran masing-masing. Integrator, walaupun terkesan menguasai seluruh lini bisnis pada semua subsistem agribisnis, tapi berperan dalam penyediaan DOC dan pakan yang membutuhkan modal yang besar dalam proses produksinya.
Untuk koperasi, sebaiknya bisa masuk ke subsistem hulu dengan mendirikan pabrik DOC, agar dapat menjamin kestabilan harga pakan untuk anggota koperasi. Untuk peternak mandiri harus diberikan jaminan pasokan DOC dan pakan dengan harga yang terjangkau, Sedangkan, sistem contract farming sebaiknya menggunakan sistem bagi hasil yang relatif memberikan jaminan keuntungan kedua belah pihak.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.