Iqtishodia
Penduduk dan Ketersediaan Pangan
Diversifikasi pangan belum cukup mengimbangi pertumbuhan penduduk.
OLEH Riyanto Adji (Mahasiswa Program Doktor Sains Agribisnis IPB University), Dr. Burhanuddin (Ketua Departemen Agribisni dan Dosen Program Doktor Sains Agribisnis, FEM IPB University)
Pertumbuhan penduduk selalu lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan produksi pangan. Gap pertumbuhan ini semakin lebar dengan ketersediaan lahan pertanian yang semakin berkurang, akibat konversi lahan ke non pertanian yang disebabkan tekanan populasi penduduk tersebut.
Bertambahnya populasi mengakibatkan semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup, seperti sandang, pangan dan papan. Dengan demikian, pertanian Indonesia mengalami double pressure, yakni tarikan permintaan dan pengurangan lahan yang keduanya semakin besar pada masa yang bersamaan.
Dari sisi permintaan, kebutuhan utama yang terkait dengan populasi adalah kebutuhan pangan dan papan. Dengan semakin meningkatnya populasi, maka pemenuhan kebutuhan makanan meningkat dan pemenuhan kebutuhan papan juga meningkat.
Peningkatan dua kebutuhan utama ini memacu produksi pertanian meningkat dan lebih beragam, baik pada produk primer maupun produk sekunder dan tersier. Faktanya, tarikan permintaan ini dalam jangka panjang tidak pernah bisa dipenuhi, sehingga ancaman kekurangan pangan, baik dari sisi volume maupun nilai gizi masih belum bisa diatasi.
Dari sisi penawaran, terjadi penurunan luasan lahan pertanian sebagai akibat dari penggunaan lahan pertanian ke lahan non pertanian, seperti perumahan, pabrik, perkantoran, dan infrastruktur pembangunan lainnya, sedangkan pembukaan lahan baru sangat sulit direalisasikan. Hal ini berakibat pada menurunnya luas tanam, luas panen, dan volume produksi. Bahkan, perubahan iklim dan ketersediaan sarana produksi, serangan hama, dan urbanisasi mempertajam tekanan pada sisi penawaran ini.
Konversi lahan
Konversi lahan pertanian menjadi penggunaan non-pertanian berdampak pada meningkatnya permintaan pangan, sehingga terjadi risiko ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan pangan. Kondisi ini mendorong pemerintah melakukan upaya perluasan lahan pertanian atau peningkatan produktivitas per hektare agar kebutuhan pangan yang terus meningkat bisa dipenuhi.
Pengembangan pertanian berkelanjutan dan pengelolaan penggunaan lahan yang efisien merupakan upaya yang diperlukan untuk mengatasi dampak pertumbuhan populasi terhadap ketersediaan pangan. Selain itu, langkah yang rasional dilakukan adalah dengan membuat kebijakan yang mempromosikan pertanian perkotaan dan revolusi hijau yang diimbangi dengan peningkatan teknologi pertanian dan pengembangan infrastruktur pertanian, sehingga diharapkan mampu membantu mengatasi tekanan konversi lahan.
Manusia butuh pangan untuk tetap bertahan hidup, namun juga butuh tempat tinggal untuk keluarganya. Salah satu penyebab yang sulit dihindari terjadinya konversi lahan pertanian adalah sistem kepemilikan tanah yang diwariskan. Petani pemilik lahan pertanian mewariskan kepada anak-anaknya untuk menjadi rumah tempat tinggal ataupun dijual dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau karena memilih hidup di tempat lain.
Hal lain karena kepentingan pembangunan pemerintah, seperti pengembangan infrastruktur, antara lain pembukaan jalan baru untuk memperlancar akses perekonomian wilayah, perluasan wilayah perkebunan dan perindustrian, kawasan-kawasan terpadu seperti kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan perumahan, dan lainnya sebagai bagian dari program pembangunan ekonomi.
Konversi lahan pertanian mempengaruhi produktivitas, keberlanjutan, dan daya saing pertanian Indonesia. Produktivitas rendah menurunkan ketersediaan pangan. Luas lahan baku sawah (LBS) mengalami penyusutan di beberapa wilayah yang menjadi sentra beras, yaitu Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat. Pada 2019 tercatat luas lahan sawah dari daerah sentra beras seluas 3,97 juta Ha, pada 2021 susut menjadi 3,84 juta Ha.
Dampak lain dari konversi lahan pertanian adalah hilangnya lahan-lahan subur dan ada kecenderungan beralih ke lahan-lahan marginal. Habitat dari mikroorganisme lahan-lahan subur terganggu, sehingga kualitas lingkungan lahan-lahan tersebut menurun.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya yang komprehensif dari pemerintah seperti perlindungan terhadap lahan pertanian subur, penerapan prinsip-prinsip pertanian yang berkelanjutan, pelaksanaan diversifikasi, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, serta langkah yang sangat penting adanya kebijakan yang memastikan keseimbangan antara pengembangan ekonomi dengan pelestarian lingkungan dan keberlanjutan pertanian Indonesia.
Kasus stunting
Peningkatan populasi yang diikuti penurunan ketersediaan pangan mengakibatkan jumlah potensi orang kelaparan meningkat, baik karena kekurangan jumlah asupan ataupun karena kekurangan asupan gizi. Kekurangan asupan gizi ini mengakibatkan semakin menambah kasus stunting atau kondisi gagal tumbuh pada anak-anak, terutama di masyarakat miskin.
Kasus stunting juga terjadi karena terbatasnya akses terhadap pelayanan kesehatan yang disebabkan menurunnya kondisi perekonomian petani sebagai akibat dari semakin kecilnya luasan lahan dan semakin rendahnya kesuburan lahan pertaniannya. Dengan demikian, tekanan populasi lebih nyata dampaknya pada penurunan kualitas hidup masyarakat pertanian secara menyeluruh. Kasus stunting meningkat, pemenuhan gizi berimbang, dan pola makan sehat sangat sulit dicapai.
Maka dari itu, perlu antisipasi sejak dini melalui berbagai program intervensi gizi untuk mengatasi kelangkaan pangan yang berdampak pada stunting. Dalam jangka panjang perlu dipertimbangkan program-program yang terkait populasi, seperti program Keluarga Berencana di era tahun 1980-an.
Upaya lain adalah program peningkatan akses terhadap pangan bergizi, penambahan dan perbaikan infrastruktur kesehatan, pemberian pengetahuan tentang pendidikan gizi yang lebih luas, dan intervensi gizi yang lebih efektif untuk mengatasi kasus stunting.
Penduduk dan pangan
Populasi penduduk pasti terus tumbuh, namun tingkat pertumbuhannya dapat direncanakan melalui kebijakan pemerintah, sehingga walaupun tumbuh tidak memberikan tekanan pada ketersediaan pangan. Pada sisi lain, ketersediaan pangan tidak bisa lagi mengandalkan pada sumber daya yang ada saat ini, perlu dukungan kebijakan, riset dan pengembangan untuk menemukan sumber-sumber baru pangan lokal.
Diversifikasi pangan belum cukup mengimbangi pertumbuhan penduduk, perlu diperkuat dengan penambahan sumber-sumber pangan baru dan teknologi produksi pangan tidak berbasis lahan.
Oleh karena itu, kolaborasi antar pemangku kepentingan pangan seperti pemerintah, baik pusat maupun daerah, dunia usaha dan industri, asosiasi dan perhimpunan, petani-peternak-nelayan dan elemen penggeraknya, lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan, lembaga dan badan lainnya, menjadi alternatif solusi dari persoalan penduduk versus pangan ini.
Persoalan klasik yang belum bisa diselesaikan ini, menemukan jalan keluar melalui pengaturan orkestra penyediaan pangan yang harmonis yang dimainkan oleh seluruh pemangku kepentingan pangan, sebagai konduktornya adalah Presiden sebagai kepala pemerintahan.
Perubahan Iklim
Hal penting lain yang tidak bisa diabaikan dalam persoalan penduduk dan ketersediaan pangan adalah perubahan iklim. Inovasi dan teknologi baru dalam memproduksi pangan yang lebih adaptif dan efektif terhadap perubahan iklim perlu diaplikasikan.
Dibutuhkan kerja sama antara pemerintah, lembaga-lembaga terkait, dan petani. Petani juga harus diadvokasi tentang perubahan iklim, meningkatkan kesadaran petani dan petani menjadi lebih proaktif dalam mencari informasi terkait dengan prakiraan cuaca, pola musim, dan strategi adaptasi pertanian yang diperlukan. Petani dapat mengadopsi teknologi dan atau inovasi, sehingga tercipta teknologi pertanian yang ramah iklim, seperti penciptaan sistem irigasi yang efisien, penciptaan varietas tanaman tahan cuaca ekstrem, atau metode/cara penanaman yang adaptif.
Bahkan, petani dapat mengembangkan pertanian presisi dan smart farming untuk terus meningkatkan ketersediaan pangan.
Ketidakpastian iklim dapat disiasati oleh petani dengan cara menerapkan diversifikasi tanaman untuk mengurangi risiko kerugian. Petani juga dapat melakukan usaha pemberdayaan ekonomi melalui penyediaan akses terhadap kredit dan investasi untuk infrastruktur pertanian, misalnya irigasi pintar, greenhouse pintar, dan lainnya yang tahan terhadap perubahan iklim.
Langkah lain yang perlu dilakukan adalah pemerintah melalui lembaga-lembaga yang berkecimpung di bidang pangan, melakukan pendidikan dan pelatihan serta advokasi yang berfokus pada praktik pangan berkelanjutan dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Akhirnya, gap antara pertumbuhan penduduk dan ketersediaan pangan akan terus fluktuatif, namun dengan terus-menerus mengadvokasi pemangku kepentingan pangan tentang isu-isu di atas, gap dan fluktuasinya bisa lebih rendah. Bahkan, sangat mungkin ketersediaan pangan mencukupi semua penduduk dan mengantisipasi pertumbuhannya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.