Kabar Utama
Investasi Asing dan Pelajaran dari Peristiwa Malari
Tuntutan mahasiswa pada 1974 masih relevan sampai saat ini.
Oleh Fauziah Mursid
JAKARTA-- Setiap negara, termasuk Indonesia, membutuhkan investasi asing. Namun, investasi asing yang masuk juga harus berkualitas, bukan hanya memiliki nilai yang besar.
Pentingnya kualitas sebuah investasi ditekankan para ekonom di tengah momen peringatan peristiwa Malari atau Malapetaka 15 Januari 1974. Kala itu, terjadi demonstrasi besar-besaran yang berujung kerusuhan untuk menolak investasi asing di Indonesia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, jika belajar dari peristiwa Malari, penolakan mahasiswa kala itu terjadi karena investasi asing dinilai menciptakan ketimpangan. Selain itu, investasi mengakibatkan adanya intervensi asing dalam kebijakan pemerintah yang membuat model ekonomi ke arah menjadi liberal pada era Presiden Soeharto.
"Pelajaran dari peristiwa Malari, investasi asing seharusnya bisa mereduksi ketimpangan bukan justru meningkatkan ketimpangan. Investasi bisa menurunkan kemiskinan, bukan investasi yang sekarang justru meningkatkan kemiskinan di daerah masuknya investasi asing," ujar Bhima kepada Republika, Senin (15/1/2024).
Bhima melanjutkan, investasi asing yang masuk ke Indonesia saat ini secara nominal memang meningkat cukup pesat. Namun demikian, ia menyoroti investasi asing yang masuk Indonesia dalam semban tahun terakhir justru belum berkolerasi terhadap kenaikan serapan tenaga kerja.
"Itu dibuktikan dari setiap 1 dolar AS investasi yang masuk, ternyata serapan tenaga kerjanya masih sangat kecil, berarti ada isu soal kualitas dan investasinya," ujarnya.
Tak hanya itu, kondisi ini ditambah dengan pemerintah terlalu banyak memberikan insentif perpajakan ke investor asing tanpa melakukan seleksi secara ketat. Menurut Bhima, investasi yang harusnya didukung penuh adalah yang bersifat padat karya.
Bhima juga menyoroti investasi asing yang justru mendatangkan kerugian bagi Indonesia, baik tidak jalannya hilirisasi pertambangan maupun kerusakan alam. Ia mencontohkan hilirisasi nikel yang 90 persen pengolahannya justru lari ke Cina. Mestinya, ekspor nikel dilakukan jika sudah berbentuk baterai maupun mobil listrik.
"Tapi ternyata hilirisasi nikel hanya pada sampai pada NPI (nickel pig iron). Kemudian feronikel itu yang kemudian dilepas ke luar negeri. Jadi Hilirisasinya juga masih setengah jalan dan hilirisasi ini sebenarnya juga ya karena ada intervensi asing yang cukup dominan di situ," ujarnya.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kerusakan alam yang diakibatkan dengan investasi asing yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan, sehingga menciptakan kerusakan lingkungan akibat eksploitas besar-besaran.
"Kita lihat bagaimana terjadi di Halmahera, Morowali, Konawe itu tingkat kerusakan cukup masif dari ekploitasi sektor pertambangan untuk pasokan hilirisasi nikel. Nah itu juga perlu dicermati karena investasi asingnya tidak ada seleksi, tidak ada pengawasan, kecelakaan kerja yang kemudian terjadi dan sering sekali frekuensinya," ujarnya.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah mengatakan, investasi asing merupakan faktor penting dalam kemajuan suatu negara. Menurutnya, saat ini tidak ada negara di dunia yang bisa tumbuh menjadi negara besar tanpa investasi asing.
"Negara untuk tumbuh besar tetap membutuhkan investasi asing. Tidak ada negara di dunia ini yang bisa tumbuh menjadi negara besar tanpa investasi asing," ujar Piter kepada Republika, Senin (15/1/2024).
Karena itu, Indonesia saat ini terus menggenjot masuknya investasi asing ke dalam negeri demi kemajuan perekonomian negara. Piter pun membandingkan kondisi investasi asing di Indonesia saat ini dengan peristiwa meletusnya Malari 1974 silam.
Saat itu, kata Piter, mahasiswa menolak masuknya investasi asing yang berpotensi membuka celah korupsi di pemerintahan serta berdampak buruk bagi lingkungan dan hak asasi manusia. Menurutnya, mahasiswa saat itu bukan menolak investasi asing, tetapi justru menolak korupsi, kerusakan lingkungan, dan pengabaian hak asasi manusia.
"Tuntutan mahasiswa pada tahun 1974 masih relevan sampai saat ini. Investasi asing kita butuhkan tetapi jangan sampai menjadi pintu korupsi dan pengrusakan lingkungan, apalagi melanggar HAM," ujar Piter.
"Indonesia sekarang sudah jauh lebih mandiri terlihat dari struktur APBN dan porsi utang luar negeri yang semakin kecil," tambahnya.
Karena itu, agar investasi asing tetap memberikan manfaat besar bagi negara, maka perlu dipastikan memenuhi beberapa hal. Pertama, investasi asing akan memberikan solusi win-win jika diundang masuk tetapi sudah ada regulasi yang cukup dan memenuhi segala aturan di wilayah tersebut.
Kedua, investasi asing yang bernilai manfaat tinggi terjadi jika diarahkan pada bidang yang memang investor domestiknya tidak mampu melakukannya sendiri.
"Kemudian, investasi asing harus mau melakukan transfer teknologi dan Kita sendiri terus berupaya mengejar ketertinggalan teknologi. Pada intinya, investasi asing akan menguntungkan atau tidak bergantung kepada kita sendiri. Karena mereka masuk sesuai regulasi yang kita buat," ujarnya.
Piter pun tidak menampik bahwa investasi asing belum memenuhi semua persyaratan tersebut. Menurutnya, Pemerintah Indonesia belum berani mengatur investasi asing secara ketat demi mendorong masuknya investor asing ke dalam negeri.
"Karena masih takut kalau diatur secara ketat, investasi asing nanti tidak ada yang masuk," ujarnya.
Kondisi ini, kata dia, justru merugikan bagi Indonesia. Hal ini yang kemudian membuat investasi asing memberikan dampak negatif bagi Indonesia.
"Akibat terlalu longgarnya regulasi investasi asing, khususnya dalam hal repatriasi keuntungan, Indonesia terus mengalami current account deficit dan tekanan nilai tukar rupiah. Ini dampak negatif investasi asing," ujarnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.