Iqtishodia
SGIER 2023 dan Substansi Ekonomi Syariah
Para paslon harus mengembangkan empat hal yang sangat substantif dalam pembangunan ekonomi dan keuangan syariah.
Oleh Dr Irfan Syauqi Beik, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University
State of the Global Islamic Economy Report (SGIER) menjadi istilah yang sangat populer pascadebat cawapres beberapa waktu lalu. Meski penyebutan singkatan dengan SGIE saja relatif agak kurang lazim di dunia internasional, ternyata laporan yang dirilis lembaga Dinar Standard yang bekerja sama dengan Salaam Gateway dan didukung oleh otoritas Dubai Economy and Tourism, mampu menarik perhatian publik secara masif.
Bagi para pegiat ekonomi syariah, ini adalah hal yang sangat positif dalam ruang perbincangan publik. Pada saat yang bersamaan, Dinar Standard telah meluncurkan edisi ke-10 dari laporan ini, yaitu SGIER 2023. Sesuai dengan publikasi terbaru SGIER 2023, posisi Indonesia naik ke peringkat ketiga dari peringkat keempat pada publikasi sebelumnya.
Naiknya posisi Indonesia memberikan satu indikasi bahwa kerja keras seluruh pemangku kepentingan ekonomi dan keuangan syariah telah berhasil membawa penguatan pada posisi Indonesia. Pemeringkatan ini didasarkan pada satu alat ukur yang disebut dengan Global Islamic Economy Indicator atau GIEI. GIEI terdiri atas enam komponen utama, yaitu keuangan syariah, makanan halal, pariwisata ramah Muslim, fashion Islami, media dan rekreasi Islami, serta farmasi dan kosmetika halal.
Sesuai dengan publikasi terbaru SGIER 2023, posisi Indonesia naik ke peringkat ketiga dari peringkat keempat pada publikasi sebelumnya.
Masing-masing komponen itu memiliki dimensi yang akan dinilai, yaitu nilai keuangan (besaran nilai transaksi/pengeluaran konsumen di setiap sektor halal), tata kelola, tingkat kesadaran (awareness), dampak sosial, dan inovasi yang dilakukan di setiap sektor halal.
Kemudian selanjutnya dilakukan pembobotan pada masing-masing komponen, di mana keuangan syariah dan industri makanan halal memiliki bobot terbesar, masing-masing sebesar 30 persen. Sementara sisanya 40 persen, dibagi rata di antara pariwisata ramah Muslim, fashion Islami, media dan rekreasi Islami, farmasi, dan kosmetika halal.
Cara perhitungannya adalah diawali dengan perhitungan indeks setiap sektor halal di setiap negara, lalu kemudian akan dihitung nilai indeks GIEI setiap negara. Hasil indeks setiap negara inilah yang kemudian diperbandingkan dan di-rangking, sehingga akan terlihat perbandingan nilai antar negara.
Dalam konteks inilah, posisi Indonesia ada di peringkat ketiga setelah Malaysia dan Arab Saudi yang berada pada peringkat pertama dan kedua. Namun, ada hal substantif yang tidak diukur dalam GIEI ini, yaitu siapa yang memegang peranan penting dalam hal menjadi produsen halal.
Negara mana yang paling banyak menikmati kue perkembangan industri halal global ini? Apakah Malaysia yang memiliki nilai GIEI tertinggi, termasuk tertinggi di industri makanan halal ini otomatis menjadi produsen makanan halal terbesar di dunia?
Ada hal substantif yang tidak diukur dalam GIEI, yaitu siapa yang memegang peranan penting dalam hal menjadi produsen halal
Demikian pula apakah Indonesia yang berada di peringkat ketiga secara keseluruhan dan peringkat kedua untuk sektor makanan halal otomatis menjadi produsen makanan halal terbesar kedua di dunia?
Jika berbicara siapa yang menikmati kue, GIEI ini tidak memberikan jawabannya. Laporan SGIER ini hanya menyampaikan besaran kue setiap sektor halal di setiap negara. Jawaban siapa yang menikmati, bisa dilihat dari laporan-laporan yang lain, yang salah satunya adalah OIC Halal Economy Report.
Jika melihat OIC Halal Economy Report 2022, dapat dilihat bahwa untuk pemenuhan kebutuhan makanan halal dunia, sebagai contoh, ternyata 78 persennya disuplai dari negara-negara Muslim minoritas. Sisanya, 22 persen disuplai dari negara-negara Muslim anggota OKI. Artinya, tingginya peringkat Indonesia tidak otomatis menjadikan kita sebagai produsen makanan halal terbesar kedua di dunia. Justru Indonesia menjadi salah satu target pasar makanan halal dunia yang suplainya bisa dari mana saja.
Untuk pemenuhan kebutuhan makanan halal dunia, ternyata 78 persennya disuplai dari negara-negara Muslim minoritas
Laporan tersebut merilis bahwa tiga produsen makanan halal terbesar adalah India, Brazil, dan Amerika Serikat. Di dalam OIC Halal Economy Report 2022 tersebut, dijelaskan posisi Indonesia masuk dalam 10 besar dengan kemampuan menyuplai lima persen kebutuhan makanan halal global. Adapun Malaysia, justru tidak masuk dalam 10 besar produsen makan halal terbesar di dunia.
Karena itu, satu hal yang perlu mendapat perhatian dari setiap paslon capres dan cawapres ini adalah bagaimana komitmen mereka dalam memajukan ekonomi dan keuangan syariah. State of Global Islamic Economy Report hanyalah alat bantu untuk mendeteksi perkembangan industri halal dunia, tetapi untuk urusan menjadi produsen, ini memerlukan langkah ekstra yang lebih sistematis.
Paling tidak, kita berharap para paslon ini dapat fokus mengembangkan pada empat hal yang sangat substantif dalam pembangunan ekonomi dan keuangan syariah Indonesia agar manfaatnya untuk bangsa ini bisa optimal, terutama dari sisi pembukaan lapangan kerja, penyerapan pengangguran, serta penurunan ketimpangan dan kemiskinan.
Pertama, perlunya fokus pada upaya menjadikan Indonesia sebagai produsen halal terbesar di dunia. Karena itu, harus digarap secara serius mulai dari hulu hingga hilirnya dalam satu ekosistem yang terintegrasi, termasuk bagaimana mendorong rantai pasok ekonomi halal agar bisa semakin kuat.
Dengan potensi kekayaan alam yang dimiliki, harusnya sangat wajar kalau kita bisa menjadi produsen halal terbesar
Dengan potensi kekayaan alam yang dimiliki, harusnya sangat wajar kalau kita bisa menjadi produsen halal terbesar. Paling tidak, di tiga sektor halal seharusnya kita bisa menjadi champion, yaitu makanan halal, pariwisata ramah Muslim, dan fashion Islami. Untuk farmasi halal, konsep one health yang memadukan antara farmasi modern dengan farmasi herbal halal bisa juga didorong agar bisa tumbuh dan berkembang secara sistematis.
Yang juga tidak kalah penting adalah bagaimana menata proses sertifikasi halal dan jaminan produk halal, agar bisa semakin memberi nilai tambah pada produk domestik agar bisa bersaing, baik di pasar lokal maupun pasar ekspor.
Kedua, perlunya fokus pada penguatan industri keuangan syariah. Indonesia harus memiliki langkah sistematis untuk menjadi Islamic financial hub dunia. Selain terus memperbesar pangsa pasar industri perbankan syariah, industri keuangan syariah nonbank, dan industri pasar modal syariah, Indonesia juga perlu memiliki pusat keuangan atau Islamic Financial Center yang dapat memfasilitasi beragam transaksi keuangan syariah dunia, seperti penerbitan sukuk global dari berbagai negara.
Selama ini, London dan Dubai adalah di antara tempat tujuan utama untuk penerbitan sukuk global termasuk sukuk global yang diterbitkan Indonesia. Gagasan menjadikan Menara Syariah sebagai Islamic financial center yang muncul beberapa waktu lalu, layak untuk terus didiskusikan dan ditindaklanjuti.
Ketiga, perlunya fokus pada penataan ekonomi sosial syariah atau keuangan sosial Islam, dimana instrumen utamanya adalah ZISWAF. ZISWAF memiliki potensi ekonomi yang besar. Mendorong penguatan fungsi sosial lembaga keuangan syariah, termasuk perbankan syariah juga perlu terus didorong dan diperkuat.
Keempat, perlunya penguatan ekosistem pendukung, baik dari sisi regulasi, teknologi, pendidikan dan SDM, riset dan inovasi, pemasaran dalam dan luar negeri (ekspor), serta strategi literasi dan edukasi yang sistematis dan terintegrasi dengan melibatkan semua pemangku kepentingan ekonomi syariah. Tingkat literasi ekonomi dan keuangan syariah kita masih perlu untuk terus ditingkatkan.
Penulis berharap, kepemimpinan nasional mendatang, yang dikomandoi Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dapat memastikan keempat hal di atas bisa dilaksanakan dengan baik. Ini agar pembangunan ekonomi syariah ke depan bisa semakin baik dan memberikan dampak berganda yang positif bagi bangsa ini, terutama dari sisi kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan. Semoga. Wallahu a’lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.