Resonansi
Alquran, Umat Muslim, dan Kemanusiaan Universal (I)
Oleh Ahmad Syafii Maarif
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Seri artikel ini ditulis dalam suasana umat Muslim masih terkapar di buritan peradaban. Kondisinya sangat jauh dari cita-cita Alquran tentang peran mereka untuk membangun sebuah kehidupan kolektif yang adil dan ramah di muka bumi di atas landasan moral dan etika. Tugas kenabian yang mesti jadi pedoman umatnya sebagaimana dijelaskan dalam surah al-Anbiyâ’ (21): 107, “Kami tidak mengutus engkau [Muhammad], kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta” tidak ada wujudnya dalam rentang waktu yang sangat panjang. Ayat ini mengandung pesan kemanusiaan universal. Saya tidak tahu apakah ada kitab suci yang lain memiliki pesan serupa. Namun, alangkah sialnya umat ini saat mereka melemparkan pesan kemanusiaan universal itu ke jurang yang dalam atas nama sektarianisme.
Kita boleh berdebat keras mengenai sebab-musabab mengapa malapetaka sejarah ini harus terjadi. Juga kita boleh berdebat tentang jalan ke luar yang harus ditempuh untuk terlepas dari kehinaan yang berkepanjangan itu. Sependek pengetahuan saya, setidak-tidaknya ada dua faktor utama mengapa umat Muslim belum juga beranjak dari posisi tunamartabat itu, apa pun ukuran yang digunakan. Pertama, faktor pemberhalaan sejarah. Kedua, faktor pemahaman ajaran yang tidak dikoreksi oleh sumber utama ajaran: Alquran. Kedua faktor itu saling berkait-berkelindan, dapat dibedakan, tetapi tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, analisisnya tidak dipisahkan, tetapi dilakukan dalam satu tarikan napas.
Bahwa sejarah itu penting, bahkan sangat penting dalam membaca perjalanan manusia, adalah benar belaka, tetapi bukan untuk diberhalakan. Sejarah memberi tahu kita apa-apa yang telah berlaku dalam perjalanan waktu yang penuh dinamika, bahkan sarat juga dengan gesekan. Sejarah juga berfungsi sebagai penghubung masa silam dan masa sekarang. Dan jika kita jeli, sejarah juga dapat membantu kita untuk meneropong gambaran dan corak masa depan, sekalipun tidak dengan kata pasti. Dalam perspektif ini, seorang Hegel berdalil bahwa sejarah itu berhenti pada masa kini, tidak menjangkau masa depan karena memang faktanya belum tersedia.
Lebih dramatis lagi, Hegel menulis: “But what experience and history teach is this—that peoples and governments never have learned anything from history, or acted on principles deduced from it.” (Namun, pengalaman dan sejarah dalam bentuk apa pun mengajarkan ini—bahwa orang dan pemerintah tidak pernah belajar apa pun dari sejarah atau bertindak atas prinsip-prinsip yang disimpulkan darinya). (lih. G.W.F. Hegel, The Philosophy of History, terj. J. Sibree. New York: Dover Publications, 1956, hlm. 6). Pengamatan Hegel ini sampai batas tertentu didukung oleh fakta, tetapi terlalu ekstrem dan pesimistik, seakan-akan belajar sejarah itu sama sekali tidak ada faedahnya untuk masa depan.
Pada era kontemporer, ada dua karya penting yang berupaya meneropong sejarah awal Muslim pascakenabian. Pertama, ditulis oleh Prof Mahmoud M. Ayoub, The Crisis of Muslim History: Religion and Politics in Early Islam (Oxford: Oneworld Publications, 2009). Kedua, karya Prof. Alferd Madelung, The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate (Cambridge: Cambridge University Press, 2004). Sumber yang digunakan oleh kedua penulis ini sebagian besar berasal dari penulis-penulis Arab Muslim, baik yang beraliran Suni maupun yang beraliran Syiah.
Ayoub dan Madelung membangun teorinya dari sumber-sumber Arab itu dengan menampilkan gambaran peristiwa yang perinci mengenai dinamika dan gesekan politik di kalangan elite-elite Arab Muslim yang sebagian besar pernah berguru kepada nabi. Bahkan sebagian sangat dekat dengan nabi. Pertanyaannya adalah: mengapa para sahabat ini sepeninggal rasul gagal menyelesaikan masalah-masalah sengketa politik sesama mereka, padahal rambu-rambu umum dari Alquran telah tersedia buat mereka?
Ayoub dengan judul di atas dengan jelas menggambarkan bahwa krisis politik tentang pergantian kepemimpinan komunitas Muslim pasca kenabian itu telah bermula saat Nabi baru wafat. Berbeda dengan Ayoub, Madelung sebagai pengamat pihak luar Muslim memberikan data-data yang kuat, tetapi dia tidak berkepentingan untuk masa depan Islam. Madelung dalam menarik kesimpulan dari karyanya itu dari halaman 311-355 tampaknya seperti membiarkan saja sumber-sumber Arab itu berbicara dengan hanya sedikit diberi komentar dan catatan. Mungkin untuk menjaga objektivtas dan netralitas kesarjanaannya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.