Internasional
Boikot dan Runtuhnya Narasi Israel
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi global (BDS) menjadi salah satu musuh utama Israel.
Oleh FITRIYAN ZAMZAMI
GAZA -- Pada hari kesepuluh bombardir Israel ke Jalur Gaza, sebuah ledakan besar terjadi di Rumah Sakit Baptis Al-Ahli. Ratusan pasien dan pengungsi disebut meninggal akibat ledakan tersebut. Tak menunggu lama, 'mesin perang' Israel bernama Hasbara bekerja.
Militer penjajah Israel (IDF) langsung mengeklaim bahwa ledakan bukan dari roket mereka. Mereka menuding ledakan tersebut dari roket pasukan Jihad Islam di Palestina (PIJ) yang gagal di udara.
IDF mulanya melansir video yang diklaim membuktikan hal tersebut. Tak lama kemudian, mereka juga mengeluarkan rekaman suara yang tampaknya menunjukkan perbincangan pejuang Hamas bahwa roket yang jatuh di Al-Ahli adalah milik PIJ.
Tak butuh lama, bukti-bukti itu disangkal. Wartawan the New York Times mengungkapkan bahwa video yang awalnya dilansir IDF menunjukkan kejadian yang terjadi 45 menit setelah ledakan. Aljazirah kemudian melakukan analisis yang menunjukkan bahwa video yang ditunjukkan justur memperlihatkan bahwa roket tak mencapai rumah sakit.
New Arab juga menyimpulkan bahwa rekaman suara yang dilansir IDF tak menggunakan aksen dan idiom yang khas Gaza. Kesimpulan serupa dicapai Channel 4 News dari Inggris, bahwa rekaman yang dilansir Israel tak kredibel secara aksen, dialek, serta sintaksis.
Intinya sederhana, di luar Tel Aviv dan lingkaran sekutunya, tak ada yang memercayai narasi yang mereka bangun. Kebohongan-kebohongan yang berulang dilakukan Israel membuat mesin propaganda mereka mogok. Setelah sekian lama, Hasbara mulai kelihatan usang.
Sejak Zionisme mula-mula dirancang pada akhir abad ke-19, pendirinya Theodor Herzl sudah menekankan pentingnya propaganda bagi gerakan mereka. Pesan itu kemudian berevolusi menjadi alat propaganda canggih yang menyasar berbagai sektor untuk membentuk opini publik di luar negeri soal Israel.
Pada 1970-an, nama Hasbara alias "penjelasan" mulai digunakan untuk upaya itu. Upaya-upaya hasbara itulah juga yang kini menjadi anekdot "Propaganda Yahudi".
Middle East Monitor melansir, Kementerian Urusan Strategis Israel saat ini jadi ujung tombak hasbara. Didirikan pada tahun 2006, kementerian ini mengarahkan sumber dayanya yang besar mulai dari menghadapi ancaman militer hingga menargetkan organisasi hak asasi manusia dan kelompok hak-hak sipil.
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi global (BDS) menjadi musuh nomor satu, sementara gerakan akar rumput seperti Black Lives Matter juga berada dalam daftar musuh yang harus dilawan oleh Kementerian sebelum mendapatkan momentum yang sama dengan gerakan BDS.
Gerakan boikot global, termasuk di Indonesia, menyasar produk-produk yang terafiliasi dengan Israel. Daftar produk ini pun sudah dikeluarkan oleh lembaga seperti BDS Movement dan Yayasan Konsumen Muslim Indonesia (YKMI).
YKMI juga mendorong masyarakat untuk terus menguatkan gerakan boikot di Tanah Air. "Dari 10 merek yang kami rekomendasikan untuk diboikot, itu pun masih belum efektif. Begitu pun dengan konsolidasi dengan merek nasional yang akan menjadi penggantinya. Yang selama ini telah muncul pun itu masih bersifat spontan," kata Juru Bicara YKMI, Megel Jekson.
Dia menyebut, 10 merek itu yakni, Starbucks, Danone, Nestle, Zara, Kraft Heinz, Unilever, Coca Cola Group, McDonalds, Mondelez, Burger King, dan Kurma Israel.
Menurut +972 Magazine, kabinet Israel tahun lalu menyetujui sebuah proyek yang dapat menyuntikkan 30 juta dolar AS untuk mendanai propaganda pemerintah secara diam-diam di AS dan negara-negara Barat lainnya. Rencananya adalah untuk mentransfer uang secara tidak langsung ke organisasi-organisasi asing yang akan menyebarkan propaganda Israel di negara-negara tempat mereka beroperasi, sambil menyembunyikan fakta bahwa mereka didukung oleh pemerintah Israel.
Pendanaan tambahan akan dialokasikan untuk memulai kembali sebuah organisasi nonpemerintah bernama “Concert” yang beroperasi sebagai usaha patungan dengan Kementerian Urusan Strategis. Didirikan pada 2017 dengan tujuan memprivatisasi hasbara, misinya adalah merekrut influencer dan organisasi untuk berbicara positif tentang Israel di saluran media, media sosial, dan konferensi di luar negeri dan di dalam negeri.
Sebuah laporan tentang Concert di Haaretz menunjukkan seorang pejabat Kementerian Urusan Strategis mengakui bahwa peluncuran inisiatif ini, dalam praktiknya, merupakan cara untuk mentransfer dana ke organisasi-organisasi pro-Israel yang bekerja di luar negeri, terutama di AS, tanpa mencemari mereka dengan afiliasi pemerintah. Setengah dari pendanaan proyek ini berasal dari individu kaya dan organisasi asing, terutama di AS.
Dalam serangan brutal Israel ke Gaza yang dimulai sebulan lalu sejak Hamas melancarkan Operasi Badai al-Aqsa, hasbara bekerja keras. Sejak awal, narasi yang dibangun adalah serangan Hamas terjadi tanpa diprovokasi. Hamas disebut melakukan pembantaian dan pemerkosaan, bahkan pemenggalan kepala bayi dan diserupakan dengan ISIS. Presiden AS, Joe Biden bahkan sempat "tertipu" dengan narasi-narasi tersebut.
Media-media sosial menjalankan kebijakan yang agaknya meminimalisasi konten terkait brutalnya serangan Israel. Perusahaan Google tak memberi ruang iklan bagi berita-berita terkait Palestina dengan berbagai dalih. Selebritis yang menunjukkan dukungan bagi Palestina atau setidaknya netralitas mendapat serangan hebat oleh alat-alat negara Zionis.
Bagaimanapun, sebulan berjalan, mesin propaganda Israel nampaknya kehilangan kesaktiannya. Aksi unjuk rasa mengecam Israel dan membela Palestina dihadiri jutaan manusia di seantero dunia, bahkan di negara-negara yang pemerintahnya mendukung Israel.
Media Turki, TRT, menganalisis, kegagalan hasbara kali ini terutama disebabkan oleh kontradiksi kebenaran yang tidak dapat diperbaiki. Selama tiga pekan terakhir, hasbara telah terperosok dalam kekeliruan dan paradoks.
Pada akhirnya, kegagalan hasbara adalah buatan Israel sendiri. Kebohongan-kebohongan yang mereka lakukan secara kontinu membuat apapun narasi yang coba dibangun negara itu jadi tak kredibel.
Kalah di media sosial
Medan tempur dalam serangan Israel ke Gaza dengan dalih membalas serangan mendadak kelompok pejuang Hamas pada 7 Oktober lalu tak hanya dengan mesin tempur. Di media sosial, perang tersebut mengglobal dengan taraf partisipasi yang melampaui perang manapun sebelumnya.
Israel dengan mesin propagandanya, Hasbara, sangat mafhum dengan kondisi tersebut. Berbagai media melansir, pada hari-hari pertama serangan, kementerian-kementerian di Israel membombardir media sosial dengan puluhan iklan propaganda soal kekejaman pasukan Hamas.
Menurut Politico, dalam jangka sepekan setelah serangan, Kementerian Luar Negeri Israel menempatkan 30 iklan yang telah dilihat lebih dari 4 juta kali di X yang sebelumnya bernama Twitter. Menurut data platform tersebut, video dan foto berbayar yang mulai muncul pada 12 Oktober ditujukan untuk orang dewasa berusia di atas 25 tahun di Brussels, Paris, Munich dan Den Haag. Iklan tersebut menggambarkan Hamas sebagai “kelompok teroris yang kejam,” mirip dengan ISIS.
Di YouTube, Kementerian Luar Negeri Israel merilis lebih dari 75 iklan berbeda, termasuk beberapa iklan yang sangat vulgar. Video tersebut ditujukan kepada pemirsa di negara-negara Barat – termasuk Prancis, Jerman, AS, dan Inggris – dan telah ditayangkan antara awal serangan Hamas pada 7 Oktober dan Senin, menurut database transparansi Google.
Meski begitu, tidak ada iklan serupa yang dilansir di Instagram dan Facebook milik Meta, LinkedIn, maupun TikTok. Hal ini terbukti jadi kesalahan Israel karena justru di platform-platform itu kemudian konternarasi pro-Palestine membanjiri.
Patut dicatat bahwa TikTok dan Instagram adalah medsos dengan jumlah proporsi jumlah pengguna yang cenderung ke anak-anak muda. Sementara kalangan ini, utamanya Milenial dan Gen Z punya perspektif berbeda dengan generasi terdahulu soal kondisi di Palestina.
Dukungan terhadap Israel dibandingkan dengan simpati terhadap Palestina telah mulai menurun di kalangan generasi muda Amerika selama beberapa waktu. Hal ini dibuktikan dengan melihat data jajak pendapat Gallup terhadap generasi milenial sejak 2010, jauh sebelum TikTok ada. Jajak pendapat Gallup pada Maret 2023, sebelum perang, menunjukkan sikap kaum muda terhadap konflik Israel/Palestina dengan cepat berubah.
Jajak pendapat Echelon pada 26 Oktober 2023 menunjukkan bahwa jarak antara pendukung Israel dan simpatisan Palestina kian merapat di kalangan pengguna TikTok di AS yang berusia di bawah 40 tahun. Angkanya kala itu 33 persen mendukung Israel dan 28 persen untuk Palestina.
Selain itu, data Pew Research (diambil dari tahun 2006-2016) menggambarkan tren peningkatan dukungan terhadap Palestina di kalangan warga Amerika yang lahir setelah tahun 1980. Data menunjukkan bahwa dukungan ini bukanlah hal baru dan meningkat sebelum TikTok diciptakan.
Saat kemudian unggahan-unggahan tentang brutalnya serangan Israel ke Gaza bermunculan, reaksi di media sosial juga cepat berubah. Video-video yang menggambarkan nelangsa di Palestina serta ketabahan mereka membanjiri media sosial dan menggugah hati anak-anak muda. Warga Gaza, mulai dari ibu rumah tangga, sastrawan, jurnalis lepas, anak-anak muda, seluruhnya mengabadikan penderitaan dan keteguhan mereka.
Pada 13 November 2023, Israel sudah mulai kalah telak di media sosial. Di TikTok, unggahan dengan tagar #freepalestine mencapai 3 juta video, sementara tagar #standwithisrael hanya di kisaran 39 ribu saja. Di Instagram, unggahan pro-Palestina mencapai 5,7 juta sedangkan yang mendukung Israel hanya 214 ribu. Serupa juga di Facebook, unggahan pro-Palestina mencapai 11 juta. Jumlah itu jauh meninggalkan unggahan pro-israel yang berkisar di angka 278 ribu saja.
Israel tentu tak tinggal diam. Pada 28 Oktober, mereka memadamkan listrik dan jaringan internet di Gaza. The Guardian mencatat, unggahan di medsos warga Gaza merosot tajam saat itu. Kendati demikian, laporan dari jurnalis-jurnalis pemberani di Gaza yang memiliki akses internet via satelit menutupi kekosongan informasi di medsos itu. Israel kemudian berusaha melakukan pembungkaman dengan membunuhi para jurnalis dan keluarga mereka. Hingga menjelang setahun genosida, sedikitnya 160 jurnalis gugur di Gaza dan Lebanon akibat serangan Israel.
Israel juga menggunakan jaringan di negara-negara Barat untuk membungkam figur publik yang mencoba angkat suara di media sosial soal kekejian di Gaza. Klub Bundesliga Mainz memecat pesepakbola Anwar El Ghazi yang vokal membela Palestina di media sosial. Pegiat lingkungan hidup Greta Thunberg dirundung akibat sikapnya menuntut gencatan senjata. Pemenang Academy Award Susan Sarandon dikeluarkan dari agensi bakatnya dan aktor Melissa Barrera dipecat dari film Scream 7.
Mantan anggota band Pink Floyd, Roger Waters ditolak di berbagai hotel karena teguh membela Palestina. Seniman terkemuka Cina, Ai Weiwei dibatalkan pameran seninya di London karena mengunggah mengunggah dukungan terhadap Palestina di X. Tak ada satupun langkah pembungkaman itu berhasil menahan laju dukungan terhadap Palestina di media sosial.
Israel kemudian melobi raksasa-raksasa platform untuk membatasi unggahan yang cenderung mendukung Hamas dan Palestina. Puluhan juta unggahan kemudian dihapus dari Twitter, Facebook, Instagram, dan TikTok. Platform-platform itu juga diduga menjalankan “shadow ban”, istilah yang merujuk pada upaya algoritmis untuk mencegah unggahan tertentu dapat banyak pemirsa.
Warganet di berbagai negara, termasuk Indonesia, kemudian mengakali upaya pembungkaman itu dengan mengunggah gambar buah semangka yang memiliki warna-warni serupa bendera Palestina. Sementara netizen Indonesia juga menjalankan gerakan yang belakangan mereka namai “Julid Fisabilillah”. Mereka ramai-ramai melakukan perisakan di akun medsos prajurit-prajurit IDF.
Max Boot, seorang sejarawan militer dan analis kebijakan luar negeri mengatakan kepada ABC News bahwa Israel pada akhirnya kalah telak di media sosial. Unggahan warga dari Gaza, misalnya, jauh lebih menggugah ketimbang siaran pers resmi militer penjajah Israel (IDF).
pic.twitter.com/cpyHFIhuQj — Mohamed Salah (MoSalah) October 18, 2023
“Lebih mendesak untuk menunjukkan penderitaan dan mengungkapkan kemarahan atas penderitaan daripada mendengarkan seseorang di konferensi pers,” kata Boot tentang kesenjangan media sosial. “Israel bisa saja mengatakan apapun yang diinginkannya dalam konferensi pers, tapi pada dasarnya, jika Anda perlu menjelaskan, sama saja Anda sudah kalah. Di dunia maya, yang berbicara dengan kuat adalah gambar.”
Pada akhirnya, meski perangnya di medsos, kenyataan di lapangan lah yang menyetir sentimen netizen sedunia. "... Simpati banyak orang di dunia telah beralih dari orang Israel."
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Israel Tangkap Ikon Perlawanan Palestina Ahed Tamimi
Ahed Tamimi adalah model perlawanan sipil Palestina yang damai.
SELENGKAPNYACitra Israel Babak Belur di Mata Dunia
Gelombang evaluasi hubungan diplomasi dengan Israel berlanjut.
SELENGKAPNYADari Washington Hingga Jakarta: 'Palestina Harus Merdeka!'
Palestina menjadi fokus utama pejuang keadilan di seluruh dunia.
SELENGKAPNYA