Suasana pernikahan di Jakarta.Prayogi/Republika. | Prayogi/Republika.

Fikih Muslimah

Menikah yang Dilarang Agama

 

Pernikahan merupakan bagian penting dari perjalanan hidup manusia. Lewat pernikahan, timbul keluarga yang menjadi benih-benih terkecil dari peradaban. Tidak heran jika Islam menganjurkan pernikahan. Bab ini bahkan digolongkan sebagai bagian dari sunah Nabi Muhammad SAW.

 

Meski demikian, ada praktik pernikahan yang dilarang. Ibnu Rusyd dalam kitabnya, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, menjabarkan, terdapat empat jenis pernikahan yang secara tegas dilarang oleh agama. Empat jenis pernikahan tersebut yakni nikah syighar, nikah mut'ah, meminang atas pinangan orang lain, dan nikah muhallil.

 

Nikah syighar merupakan nikahnya wali yang menikahkan gadis yang harusnya dinikahi kepada seorang pria tanpa mahar. Dengan bahasa mudahnya, nikah syighar itu adalah nikahnya seorang wali dengan seorang wanita yang berada dalam perwaliannya. Nikah jenis ini dilarang dalam agama. Para ulama mazhab menyandarkan argumentasi tersebut berdasarkan hadis sahih.

 

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan yang artinya sebagai berikut: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah SAW melarang nikah syighar”. Namun, para ulama tersebut berselisih pendapat mengenai hal lain yang berkaitan dengan perkara ini. Misalnya, apabila terjadi pernikahan syighar, apakah pernikahan tersebut dapat disahkan dengan memberikan mahar mitsil atau tidak?

 

Para ulama kalangan mazhab Malik berpendapat, hukum pernikahan tersebut tetap tidak bisa dan harus dibatalkan, baik sesudah atau sebelum dukhul/(berhubungan intim). Sedangkan, ulama dari kalangan madzhab Syafi'i berpendapat serupa. Namun, menurut pandangan ulama-ulama garis ini, jika salah seorang pengantin atau keduanya sekaligus disebutkan ada mas kawin, pernikahannya dianggap sah dengan mahar mitsil.

 

Adapun ulama kalangan mazhab Imam Abu Hanifah berpendapat, nikah syighar sah dengan memberikan mahar mitsil. Silang pendapat ini karena adanya persoalan apakah larangan yang terkait dengan masalah itu dapat dijelaskan alasannya karena tidak adanya ganti atau tidak.

 

Adapun nikah mut'ah alias nikah kontrak, juga mendapat porsi hukum yang sama di kalangan ulama mazhab. Mereka sepakat bahwa nikah kontrak dilarang dalam agama. Perihal nikah mut'ah, Ibnu Rusyd berpendapat bahwa seluruh ulama mazhab mengharamkannya. Sebab, terdapat beberapa hadis mutawatir dari Rasulullah SAW yang mengharamkannya, tetapi demikian hal itu diperselisihkan tentang waktu keluarnya larangan.

 

Disebutkan dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW melarang praktik nikah mut'ah ini dalam peristiwa penaklukan Kota Makkah. Dalam faktanya, nikah mut'ah hingga kini masih kerap dipraktikan oleh kalangan tertentu. Sayangnya, praktik nikah mut'ah itu kerap membawa-bawa nama agama Islam sebagai rujukan dasar hukum adanya pernikahan tersebut. Padahal, jika ditelisik lebih jauh, hadirnya nikah mut'ah ini secara tegas dan meyakinkan telah dilarang Rasulullah SAW. Tak hanya itu, para ulama mazhab pun sepakat menghukuminya sebagai pernikahan yang dilarang. Semoga Allah menjauhkan kita dari praktik pernikahan semacam itu.

 

Pernikahan selanjutnya yang diharamkan dalam agama adalah pernikahan atas pinangan orang lain. Dalam kasus ini, para ulama membaginya ke dalam tiga aspek hukum. Pertama, pernikahan tersebut batal. Kedua, pernikahannya tidak batal. Ketiga, dibedakan apakah pinangan yang kedua dilakukan sesudah adanya kecenderungan dan mendekati pemufakatan atau tidak. Aspek ketiga ini merupakan penjabaran dari pandangan Imam Malik.

 

Pernikahan selanjutnya yang diharamkan adalah nikah muhallil atau nikah untuk menghalalkan mantan istri yang telah ditalak ba'in. Menurut pendapat ulama mazhab Imam Malik, nikah semacam ini hukumnya batal. Sedangkan, menurut mazhab Imam Abu Hanifah dan mazhab Imam Syafi'i, nikah ini sah. Namun, ulama mazhab Syafi'i meletakkan syarat dalam bolehnya nikah tersebut. Adapun adanya perselisihan pendapat para ulama ini disebabkan adanya perselisihan pemaknaan hadis Rasulullah SAW. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat