Ekonomi
Waspadai Dampak Ekonomi dari Konflik Geopolitik
Ekonomi Indonesia diyakini tetap bisa tumbuh di level 5 persen.
JAKARTA -- Dinamika global masih diterpa ketidakpastian. Belum usai konflik antara Rusia-Ukraina, dunia kembali mengalami turbulensi. Agresi Israel ke Palestina memicu ketegangan di wilayah Timur Tengah.
Pasokan komoditas berpotensi kembali tersendat. Naiknya harga minyak juga dapat memberi dampak ke berbagai negara. Di saat negara-negara sedang mengalami permasalahan inflasi, ketegangan politik di kawasan memicu permasalahan lainnya.
Data International Monetary Fund (IMF) bahkan memperkirakan pertumbuhan ekonomi global bisa melambat menjadi 2,9 persen pada 2024 dari perkiraan sebelumnya di angka 3 persen. Ketua Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Bambang Hirawan mengungkapkan, negara-negara Timur Tengah merupakan produsen minyak mentah.
Oleh karena itu, kata dia, konflik Israel-Palestina akan memicu ketidakstabilan dan mengganggu pasokan energi serta pangan yang berujung pada naiknya harga minyak dan komoditas. "Sektor energi dan pangan ini adalah faktor pemicu inflasi secara global. Padahal, sebelum ada perang tersebut, kita berpikir bahwa tekanan dari inflasi global sudah mulai menurun, namun ternyata kita dikagetkan oleh perang Hamas dan Israel. Ini seperti kembali pada titik sebelumnya,” katanya dalam diskusi Tumbuh Makna bertema "Menakar Efek Gejolak Timur Tengah Terhadap Ekonomi Indonesia", akhir pekan lalu.
Fajar menambahkan, ketidakpastian global juga dipicu perlambatan ekonomi Amerika dan Cina. Saat ini, Amerika berada pada tekanan inflasi sehingga memaksa the Fed harus menahan daya beli masyarakat.
Namun, di sisi lain, mereka juga harus bisa menjaga jumlah uang yang beredar. Sementara itu, Cina saat ini sedang mengalami kisruh Evergrande yang mengalami permasalahan keuangan.
“IMF melaporkan bahwa pada kuartal III 2023, ada semacam pesimisme karena tekanan inflasi tetap ada dan pertumbuhan ekonomi cenderung stagnan atau bahkan menurun akibat ketidakpastian global. Kita berharap ketegangan Amerika dan Cina pun mereda sehingga ada normalisasi yang dapat membuat iklim ekonomi kembali membaik,” ujarnya.
Meski begitu, di tingkat nasional, ia optimistis bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh di angka 5 persen. Sebab, tahun politik akan mendorong belanja masyarakat.
Ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan sektor komoditas dan industri manufaktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. “Perlu diketahui, sebesar 50 persen dari pertumbuhan ekonomi itu berasal dari konsumsi rumah tangga, sisanya dari investasi, kemudian ekspor dan impor. Untuk itu, kita harus menjaga daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas harga komoditas,” ujarnya.
Co-founder Tumbuh Makna Benny Sufam memiliki penilaian serupa bahwa dinamika yang terjadi justru membuahkan peluang. Salah satunya pada sektor investasi.
Menurut dia, para investor pasti melihat efek global yang saat ini terjadi. Contohnya pada aset kelas fixed income yang disebut paling sensitif terhadap perubahan tingkat suku bunga, yang justru bisa menghadirkan kesempatan bagi pelaku investasi.
Dia mengatakan, tingkat US treasury yield kemungkinan sudah hampir mendekati puncak atas siklus pengetatan tingkat suku bunga yang dilakukan oleh bank sentral AS. Sebagai contoh, kata dia, saat ini tingkat imbal hasil US treasury tenor dua tahun berada di level yang lebih tinggi daripada imbal hasil US treasury dengan dengan tenor yang lebih panjang, yakni 10 tahun dan 30 tahun.
"Pekan lalu, US treasury yield dua tahun telah berada di atas kisaran 5,1 persen, sementara yang 10 tahun masih sedikit di bawah 5 persen, yakni sekitar 4,9 persen, di mana kondisi tersebut kita kenal dengan istilah inverted yield curve,” tambahnya.
Kondisi yang terjadi saat ini, menurut Benny, juga merupakan salah satu indikasi awal akan terjadinya resesi walaupun resesi tersebut kemungkinan cenderung ringan. Bahkan, terdapat kemungkinan AS bisa menghindari resesi dan melakukan soft landing.
“Terlepas dari terjadinya resesi maupun soft landing, biasanya ekonomi cenderung akan cooling down yang biasanya berdampak positif terhadap kelas aset pendapatan tetap di mana tingkat imbal hasil akan cenderung menurun,” tuturnya.
Menurut Benny, kelas aset ekuitas ke depan akan cukup menantang di tengah kondisi tingkat imbal hasil obligasi yang cukup tinggi saat ini sehingga membuat ekspektasi investor atas risk premium dari kelas aset ekuitas akan lebih tinggi. “Antisipasi yang sama juga berlaku di pasar domestik kita, apalagi dengan melihat tingkat imbal hasil terakhir SBN tenor 10 tahun telah mencapai 7 persen. Ini bisa dimanfaatkan dengan baik,” ujarnya.
Ia memperkirakan, dalam 12 bulan ke depan, laba per saham atau earning per share (EPS) dari IHSG akan tumbuh 5 persen hingga 6 persen dan bisa diperdagangkan pada price earning (PE) 14,6 kali. “Maka, IHSG, menurut kami, masih sangat berpeluang untuk mencapai level 7.700 hingga akhir kuartal III 2024. Dan pada akhir tahun ini, berdasarkan riset yang kami lakukan, kami telah melihat bahwa ada kecenderungan IHSG akan tumbuh terbatas, sehingga kami menyarankan investor perlu memiliki time horizon yang lebih panjang,” imbuhnya.
Namun, investor harus cermat dalam melakukan investasi. Salah satunya untuk melek terhadap literasi keuangan dan mengedepankan data yang valid. “Pertama, mendiversifikasi ke lebih satu instrumen per kelas aset. Kedua, investor disarankan memiliki time horizon yang lebih panjang dalam menganalisis dengan data yang tepat. Ketiga, berinvestasi sesuai dengan profil risiko masing-masing,” katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.