![](https://static.republika.co.id/uploads/images/xlarge/petani-kota-abdulrahman-58-melakukan-perawatan-tanamannya-di-kebun_200226192114-253.jpg)
Opini
Pertanian Perkotaan
Oleh: Dian Armanda
Pengajar Biologi di Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Walisongo, Semarang. Menempuh Program Doktoral di Institute of Environmental Sciences (CML), Leiden University, Belanda
Mungkin belum banyak orang tahu, sistem pertanian perkotaan inovatif digadang-gadang menjadi kontributor penting dalam program ketahanan pangan global masa depan.
Inovasi pertanian perkotaan meliputi praktik pertanian tanpa tanah, pertanian vertikal dan indoor, pertanian presisi dengan sistem otomatisasi. Bahkan, sejak kelahirannya pada 2010, sistem pertanian ini disebut penanda era revolusi hijau kedua. Potensinya luar biasa.
Hasil riset penulis terhadap 18 sampel sistem pertanian perkotaan inovatif komersial di Asia, Amerika, dan Eropa menunjukkan, secara potensi produksi global, ragam pangan, potensi luasan lahan dan jumlah praktisi yang terlibat kian menjanjikan (Armanda et al., 2019).
Aerofarm di New Jersey, AS dengan teknik aeroponik indoor vertikal memanen sayur hingga 140 kg per tahun per satu meter persegi lahan. Kapasitas produksinya 100 kali lebih banyak daripada pertanian konvensional dengan konsumsi air sepersepuluhnya.
Penulis juga menemukan potensi efisiensi lahan kota dicapai mayoritas sistem pertanian melalui pemanfaatan area rooftop gedung, bekas bangunan, ruang bawah tanah kota yang terbengkalai, hingga bekas bunker.
Tentu ini prospek menggembirakan bagi program ketahanan pangan global. Pada saat lahan pertanian konvensional tergerus, ditambah faktor ledakan penduduk dunia dan arus urbanisasi yang semakin tinggi, dibutuhkan terobosan.
Terobosan ini untuk meningkatkan sumber pangan yang efektif, efisien, dan mudah dijangkau. Organisasi pangan dunia FAO (2017) memperkirakan, pada 2050, sebanyak 68 persen dari 9,73 miliar penduduk dunia akan tinggal di perkotaan.
Untuk memenuhi kebutuhan pangannya, dunia pertanian harus memproduksi hampir 50 persen lebih banyak makanan daripada tahun 2012. Di Indonesia, pemerintah terus menggalakkan sistem pertanian perkotaan sebagai sumber pangan baru.
Sebut saja program Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) dari Badan Ketahanan Pangan yang berupaya menyulap pekarangan rumah warga perkotaan menjadi sumber gizi dan pangan keluarga.
Di level pemda, DKI Jakarta, Surabaya, Malang, dan Semarang aktif mengampanyekan pertanian perkotaan. Bahkan, Pemprov DKI telah menyusun desain besar pertanian perkotaan sampai 2030 sebagai bentuk keseriusannya.
Dilihat dari perspektif pemenuhan kebutuhan pangan warga, sistem pertanian perkotaan inovatif mungkin dianggap cukup menjanjikan. Namun, bagaimanakah dampak intensifikasi sistem pertanian ini bagi keberlanjutan lingkungan hidup?
Aspek lingkungan ini penting untuk menjadi pertimbangan. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan sebagai aktor perusak lingkungan saat revolusi hijau pertama antara 1960-2000. Saat itu, peningkatan dramatis produksi pangan dunia berdampak serius pada lingkungan.
Memang, jika kita meneropong sistem pertanian perkotaan sebagai proses tunggal, sepintas terlihat ramah lingkungan. Misalnya, pemakaian air olahan untuk produksi ketimun hidroponik dalam rumah kaca bisa dihemat hingga 33 persen.
Pemakaian pupuk natrium, potasium, dan kalium berkurang signifikan karena mereka terus bersirkulasi dalam teknik hidroponik (Grewal et al., 2011).
Namun, ternyata dalam studi lain, Barbosa (2015) mengungkapkan, selada hidroponik memerlukan energi 82 kali lipat lebih banyak per hektarenya, walaupun jumlah produksinya bisa mencapai 11 kali lipat dibandingkan pertanian konvensional.
Dengan varian dan kompleksitas sistem pertanian perkotaan yang sedemikian rupa berkembang, penilaian performa lingkungan sistem pertanian perkotaan inovatif ini harus dilihat sebagai siklus hidup penuh, tidak bisa dipandang sebagai aspek atau proses tunggal.
Metode //Life Cycle Assesment// (LCA) bisa kita pakai sebagai alat uji dampak lingkungan dari setiap sistem pertanian perkotaan dalam keseluruhan prosesnya. Dengan LCA, menurut penulis, setidaknya ada tiga faktor dari praktik pertanian perkotaan yang perlu diperhatikan.
Pertama, kompleksitas teknologi. Semakin canggih teknologi yang diaplikasikan (seperti teknik aquaponik dan aeroponik), perlu material dan energi lebih banyak dibandingkan sistem pertanian konvensional.
Jadi, meski konsumsi air dan tanahnya lebih sedikit daripada pertanian konvensional, penggunaan sumber dayanya bisa jadi lebih banyak.
Kedua, skala pertanian (amatir versus komersial). Ketika sistem pertanian perkotaan inovatif terus dipacu untuk memenuhi kebutuhan komersial pangan global, maka orientasi profit menjadi dominan.
Ini akan memicu jumlah pertanian urban skala kecil yang berubah menjadi komersial. Bertransformasinya skala pertanian dari amatir (sekadar hobi) ke arah komersial, acapkali tidak diimbangi pengetahuan dan pengalaman memadai.
//Trial and eror// sering dilakukan untuk menggenjot produksi yang berdampak pada lingkungan. Ditambah kurangnya kesadaran pelaku usaha atau praktisinya, menjadikan beban kumulatif lingkungan semakin besar. Aspek lingkungan bukan lagi menjadi prioritas utama.
Ketiga, jenis tanaman. Pemilihan jenis tanaman bisa memengaruhi performa lingkungan. Hortikultura, semacam sayuran dan buah, menjadi jenis tanaman yang sering ditanam di sistem pertanian perkotaan.
Namun, sering kali bibitnya diimpor dari tempat lain yang jauh sehingga memerlukan sumber daya lebih untuk mendapatkannya. Misalnya, tomat ceri yang merupakan tanaman favorit pertanian perkotaan inovatif komersial di Indonesia.
Benihnya harus didatangkan dari perusahaan penghasil benih di Belanda. Tentu, memindahkan benih 11 ribu km jauhnya, juga perlu sumber daya besar. Implikasinya, pada penambahan indeks beban lingkungan juga.
Selain itu, setiap jenis dan tahap pertumbuhan tanaman hortikultura itu mempunyai pupuk khusus. Akibatnya, produksi dan distribusi pupuk sintetis melimpah dan tak terkendali dalam sistem pertanian perkotaan. Lingkungan kembali berpotensi menjadi korban.
Banyak tantangan yang harus diselesaikan dalam intensifikasi sistem pertanian perkotaan inovatif ini.
Namun, mengingat potensinya, sistem ini tetap layak dan relevan dikembangkan. Dengan syarat, mempertimbangkan tiga pilar keberlanjutannya (people, planet, dan profit) agar kelak manusia cukup pangannya, lestari buminya, dan berputar bisnisnya. n
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.