Penyanyi King Nassar saat tampil dalam gelaran Pestapora di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Ahad (24/9/2023). Dalam penampilannya King Nassar membawakan sejumlah lagu yakni Seperti Mati Lampu, Hancur Hatiku, dan Kopi Dangdut. | Republika/Thoudy Badai

Geni

Senandung Guilty Pleasure Kian Bergema

Spektrum musik dan kreativitas di era saat ini kian berwarna.

Di tengah ingar-bingar sebuah festival musik, seorang perempuan berhijab terlihat bersantai, rehat sejenak di salah satu sudut. Andi Siti Alifa Syalda namanya. Dia menantikan penampilan band favoritnya, Sheila on 7, yang baru akan naik panggung jelang tengah malam.

Republika menanyai perempuan berhijab yang bekerja di Jakarta Barat itu, adakah musisi lain yang dia nantikan? Alifa, panggilannya, menyahut akan menonton apa saja yang menarik hati. Dia juga penasaran seperti apa aksi musisi dangdut yang tampil di festival itu.

Pada perhelatan musik Pestapora 2023 yang berlangsung selama tiga hari akhir pekan lalu, deretan band papan atas menjadi pengisi acara yang dinanti-nanti. Sebut saja Sheila on 7, Gigi, Dewa 19 ft Ello, Noah, Padi Reborn, Maliq & D'Essentials, RAN, juga para solois populer, seperti Kunto Aji, Yura Yunita, Raisa, serta Mahalini.

photo
Pengunjung beraktivitas di area gelaran Pestapora di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Jumat (22/9/2023). Festival musik bertajuk Pestapora kembali digelar untuk kedua kalinya di Gambir Expo dan JIExpo Kemayoran mulai hari ini Jumat (22/9) hingga ahad (24/9). Pada gelaran kali ini, pestapora menghadirkan sebanyak 12 panggung dan 224 penampil di antaranya musisi, band hingga stand up comedy. - (Republika/Thoudy Badai)

Namun, ada daya tarik lain festival yang tak bisa dipandang sebelah mata. Panggung pedangdut King Nassar, Inul Daratista, Ayu Ting-Ting, Denny Caknan, hingga Feel Koplo, nyatanya menyedot massa sama banyaknya dengan deretan musisi yang mungkin dianggap mainstream.

Pun Alifa termasuk yang lama-lama terpikat pada genre musik yang satu itu, meski di awal dia kurang menyukainya. Perempuan 26 tahun asal Makassar, Sulawesi Selatan itu mengalaminya saat menikmati musik yang disajikan Feel Koplo, yang menyuguhkan musik-musik akar rumput hasil rekayasa digital. "Aku juga awalnya mikir, 'Apa sih ini?' Dari yang enggak suka, tapi setelah didengar ternyata enak. Nonton saat ada konser di Makassar dan ternyata seseru ini," ujar Alifa.

Dia pun menyadari bahwa sejumlah festival musik punya konsep "gado-gado" di mana berbagai genre bersanding seolah tanpa batas. Menurut Alifa, itu wajar sebab merupakan upaya memenuhi selera banyak orang, termasuk kesukaan terhadap lagu-lagu dangdut yang kini cukup booming.

photo
Penyanyi King Nassar saat tampil dalam gelaran Pestapora di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Ahad (24/9/2023). Dalam penampilannya King Nassar membawakan sejumlah lagu, yakni Seperti Mati Lampu, Hancur Hatiku, dan Kopi Dangdut. - (Republika/Thoudy Badai)

Alifa berpendapat, popularitas yang meningkat itu disebabkan pula oleh ajang pencarian bakat musik dangdut di televisi. Sehingga banyak lagu dari genre itu kian dikenal.

Dia pun mengaku hafal cukup banyak lagu dangdut. "Karaokean juga enaknya pakai lagu dangdut," ujarnya.

Ada sebutan untuk orang yang menikmati sebuah karya musik atau produk budaya pop lainnya secara sembunyi-sembunyi karena rasa malu atau rasa bersalah, yakni guilty pleasure. Contohnya, bisa jadi seseorang enggan mengaku suka lagu dangdut atau pop Melayu. Padahal sejatinya, ia hafal betul liriknya dan sulit menahan diri tidak bergoyang saat lagu itu diputar.

Tren yang satu ini pun ditangkap jelas oleh penggagas ajang musik lintas genre Pestapora, Kiki Aulia Ucup. Menurut pria yang biasa disapa Ucup ini, saat ini musik-musik guilty pleasure, seperti dangdut memang sudah makin diterima. 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by MaknaTalks® (@maknatalks)

Pestapora pun, dia melanjutkan, memberikan ruang bagi para musisi yang membawakan musik dangdut, koplo, dan sejenisnya untuk tampil di festival musik. "Saat ini, nama-nama seperti Nassar, Inul Daratista, atau Feel Koplo dan Nasida Ria, punya tempat tersendiri di hati para penikmat musik, makanya kita hadirkan juga di panggung Pestapora," ujar Ucup dalam konferensi pers Pestapora dan Indosat yang digelar di Jakarta, beberapa waktu lalu. 

Selera yang Subjektif

Musisi Barry Likumahuwa berpendapat, guilty pleasure dalam menikmati musik merupakan hal yang sangat normal dan umum dialami banyak orang. Namun, bagi Barry, hal itu bisa berbeda antara satu orang dengan lainnya. Sebab, setiap orang punya selera musik yang beragam.

Misalnya, Barry mencermati beberapa kawan musisinya yang bermain musik metal, tapi ternyata suka lagu-lagu slow ballad tentang cinta. Apa pun itu, guilty pleasure bisa berupa karya musik yang tidak diduga sama sekali dan di berbagai genre pasti ada.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Barry Likumahuwa (@barrylikumahuwa)

Pemain bass berusia 40 tahun tersebut juga punya lagu yang dia anggap sebagai guilty pleasure. "Saya musisi jazz, R&B, banyak main funk juga, tapi kalau dengerin koplo bawaannya pengin joget aja," ujar putra dari musisi senior Benny Likumahuwa itu.

Beberapa judul lagu yang juga pernah dianggap masuk kategori guilty pleasure oleh Barry adalah tembang dangdut "Jatuh Bangun" dan "Melati". Namun, setelah menggarap sendiri album dangdut pada 2019, Barry tak lagi menganggap dangdut sebagai guilty pleasure.

Dangdut, kata dia, malah jadi genre musik yang amat dia gemari secara terang-terangan. Kini, lagu guilty pleasure Barry beralih ke musik K-Pop. Adapun perihal festival musik yang kian banyak memberi panggung pada musik guilty pleasure, Barry menanggapinya dengan positif.

Barry berpendapat, itu langkah yang sangat bagus dari promotor acara. Musik yang menurut orang di kalangan tertentu atau dari zaman tertentu dianggap kampungan atau norak, tapi pada hari-hari ini hadir di festival besar, dengan format sama seperti penampil lainnya.

"Di satu sisi, dari idealisme musik mungkin bertentangan, tapi kenyataannya enak dan bisa dinikmati. Para penyelenggara festival memberi kesempatan dan platform yang sama sehingga pada akhirnya orang bisa melihat bahwa musik tidak bisa dikotak-kotakkan," ujar Barry.

Kian Mengemuka

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by SETIABUDI (@buddy__ace)

Menurut pengamat musik Buddy Ace, musik atau lagu yang dianggap sebagian orang sebagai guilty pleasure kian mengemuka karena banyak faktor. Hal utama yakni perkembangan era digital yang menyuguhkan beragam musik dan memengaruhi selera musik banyak orang.

Begitu juga paparan konten media sosial seperti Youtube, Instagram, dan Tiktok, yang bisa memapar banyak orang. Sehingga jadi sering mendengar lagu-lagu tertentu yang semula tidak ada di daftar putarnya.

Dan mendadak, semua orang malah beralih menikmatinya. Terkait kehadiran musisi dengan lagu-lagu yang dianggap sebagai guilty pleasure dalam sebuah festival musik, Buddy menyebutnya sebagai hal wajar.

Bagaimanapun, tujuan utama sebuah acara tentunya mencari keuntungan. Sehingga perlu strategi tertentu mendatangkan musisi yang menghibur dan menarik banyak penonton.

Selain itu, festival musik disebutnya sebagai ruang rendezvous alias ajang pertemuan beragam musik. Bahkan, pada ajang musik yang memiliki label genre tertentu, seperti festival musik jaz atau musik rock, bisa saja menyelipkan musisi dari genre yang sama sekali berbeda.

photo
Pendangdut Inul Daratista (kanan) bersama Suami Adam Suseno (kiri) beraksi pada acara Pestapora 2022 di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta, Jumat (23/9/2022). Dalam acara tersebut Inul membawakan sejumlah lagu seperti Buaya Buntung, Masa Lalu, dan Goyang Inul. - (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)


Keragaman selera yang ada di media sosial dan dunia maya, diterjemahkan oleh event organizer dalam suatu panggung. Buddy mencontohkan, musisi yang dengan serius bekerja keras meniti karier bermusiknya selama 30 tahun, mungkin tiba-tiba bisa ada di acara yang sama dengan Aldi Taher. "Apakah Aldi Taher adalah guilty pleasure kita semua? Bisa jadi," ujar Buddy, meski dia menyebutkan perlu riset lebih lanjut soal itu.

Dengan beragamnya genre musik di sebuah festival, bagi Buddy sama sekali bukan tanda mengaburnya kelas atau struktur sosial. Tak ada perubahan soal itu.

Menurut Buddy, yang berubah dan bergeser adalah selera musik. Dia juga menyebut ada siklus 20 tahunan terkait selera musik yang berulang.

Berbagai fenomena di industri musik yang terjadi hari ini disebutnya serupa dengan 20 tahun lalu. Pada era 2000-an, segala corak musik mulai bermunculan dan berkelindan.

Pop jadi dangdut, dalam musik dangdut muncul unsur rap, lagu melayu dapat pengaruh hiphop, dan semacamnya. Berbagai perubahan tersebut tidak memberi efek apa pun terkait kelas atau struktur sosial, melainkan mewujud perubahan yang sifatnya kreatif.

Buddy mengatakan, spektrum musik dan kreativitas di era saat ini kian berwarna. Dan semua bentuk kreativitas itu sah-sah saja. kembali pada konteks guilty pleasure, Buddy menyarankan lebih berhati-hati memperlakukan istilah itu agar tidak mendiskreditkan selera atau genre musik tertentu.

Semisal ada orang yang sangat menggemari rock, sebenarnya tak perlu merasa bersalah atau malu mengakui suka dangdut koplo atau lagu Melayu. Sebab, selera adalah hal yang subjektif.

Secara personal, Buddy berpendapat yang lebih memalukan adalah menyimak karya musik atau musisi yang sikapnya tak sesuai norma. "Apa saja musiknya, tidak perlu malu, selama tidak merugikan. Musisinya tidak telanjang di atas panggung, tidak melakukan hal porno, bullying, atau melukai moralitas," kata Buddy.

 

 
Apakah Aldi Taher adalah guilty pleasure kita semua? Bisa jadi. 
 
BUDDY ACE, Pengamat Musik. 
 
 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Siap Merayakan Musik Lintas Genre di Pestapora 2023

SELENGKAPNYA

Toko DU 68 Oase Penggemar Rilisan Fisik Musik di Kota Bandung

Memiliki rekaman fisik resmi yang dirilis perusahan rekaman menjadi kepuasan tersendiri.

SELENGKAPNYA

Somasi untuk Kotak dan Karut-marut Royalti Musik

Permasalah royalti adalah isu yang masih menjadi PR besar di industri musik.

SELENGKAPNYA