Iqtishodia
Seberapa Besar Minat Generasi Muda Membeli Sayuran Organik?
Perlu dipertimbangkan segmentasi pasar sayuran organik yang menyasar generasi muda.
OLEH Siti Nuriyah Hasanah (Mahasiswa Departemen Agribisnis FEM IPB) Rahmat Yanuar (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB)
Isu lingkungan menjadi faktor utama yang mendorong terwujudnya pertanian organik di Indonesia, terutama setelah adanya gerakan revolusi hijau pada tahun 1980 (David dan Ardiansyah 2017). Keberadaan pertanian organik ini ternyata mendapatkan respons positif dari masyarakat, dilihat dari meningkatnya minat terhadap produk pertanian organik.
Sejak pandemi Covid-19, masyarakat cenderung lebih peduli terhadap kesehatan dan memperhatikan produk yang dikonsumsi, sehingga produk pertanian organik memiliki potensi peningkatan di masa mendatang (Widayat dan Arifin 2020).
Pertanian organik merupakan sistem pertanian yang menerapkan prinsip budi daya secara organik, yakni pupuk dan pestisida yang digunakan berasal dari bahan alami sehingga tidak merusak lingkungan dan produk yang dihasilkan juga lebih terjamin keamanannya (Permatasari et al. 2021). Di Indonesia, telah banyak komoditas pertanian organik yang dibudidayakan, di antaranya beras, kopi, buah-buahan, dan sayuran.
Sayuran organik menjadi komoditas yang dapat memberikan peluang ekonomi di pasaran
Sayuran organik menjadi komoditas yang dapat memberikan peluang ekonomi di pasaran. Bahkan, tingkat permintaan terhadap sayuran organik menduduki peringkat pertama sebagai produk pertanian yang dikonsumsi oleh masyarakat dibandingkan dengan produk organik lainnya.
Perkembangan luas lahan pertanian organik Indonesia menunjukkan tren yang meningkat hingga tahun 2018, termasuk di dalamnya sayuran organik (AOI 2020). Pada tahun 2016, terdapat lebih dari 400 ha luas lahan sayuran organik di Indonesia. Kondisi ini mencerminkan jumlah produksi sayuran organik yang juga mengalami peningkatan.
Di sisi lain, tingkat permintaan terhadap sayuran organik juga menunjukkan tren yang positif. Hal itu tergambar dari makin banyaknya supermarket dan outlet khusus yang menyediakan sayuran organik. Penduduk Indonesia saat ini didominasi oleh generasi muda, tepatnya generasi Z dan milenial yang keduanya saat ini berada pada rentang usia 11-42 tahun. Indonesia juga diperkirakan mengalami bonus demografi pada tahun 2020-2030, sehingga kedua generasi tersebut memegang peranan penting dalam tatanan ekonomi dan menjadi peluang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Generasi muda disebut sebagai generasi yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan kesehatan. Hal ini tecermin dari perilaku hidup yang diterapkan oleh generasi tersebut, yakni perilaku green consumerism. Seseorang dengan perilaku ini cenderung peduli terhadap lingkungan yang berkelanjutan, seperti penggunaan stainless straw, ecobag, atau produk lainnya yang bersifat eco-friendly.
Sayuran organik umumnya dijual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan harga sayuran konvensional
Sayuran organik umumnya dijual dengan harga yang lebih tinggi dari harga sayuran konvensional. Meskipun begitu, sayuran organik diklaim sebagai produk sayuran sehat dan berdampak baik bagi lingkungan. Generasi muda diduga berpotensi menjadi segmentasi pasar sayuran organik karena adanya awareness dari generasi muda terhadap lingkungan. Oleh karena itu, topik kesediaan membayar lebih terhadap sayuran organik oleh generasi muda menjadi salah satu topik yang menarik untuk diangkat.
Teori permintaan
Permintaan atau demand didefinisikan sebagai jumlah barang atau jasa yang ingin dan dapat dibeli oleh konsumen pada waktu spesifik serta dalam suatu kondisi ekonomi tertentu (Hirschey 2009). Hukum permintaan menjelaskan bahwa jumlah barang yang diminta berbanding terbalik dengan harga barang yang ditawarkan.
Jika harga barang cenderung naik maka jumlah barang yang diminta akan menurun, ceteris paribus. Sebaliknya, jika harga barang cenderung turun maka jumlah barang yang diminta akan bertambah, ceteris paribus.
Kesediaan membayar (willingness to pay) konsumen
Kesediaan membayar (WTP) merupakan jumlah kesediaan maksimal seseorang untuk membayar terhadap suatu manfaat atau untuk menghindari sesuatu yang dapat merugikan. Konteks kesediaan membayar maksimum terhadap sayuran organik yakni karena sayuran organik diduga dapat memberikan manfaat tambahan bagi konsumen.
Sayuran organik terbebas dari pupuk dan pestisida sintetis sehingga seseorang yang mengonsumsi sayuran organik memiliki risiko yang rendah terhadap penyakit yang diakibatkan oleh bahan tersebut.
Nilai WTP dapat diturunkan dari kurva permintaan, yakni kurva permintaan mencerminkan penilaian marginal WTP (MWTP) terhadap suatu barang tertentu (Fauzi 2014). Titik maksimum dari kurva permintaan menggambarkan WTP maksimum seseorang atas suatu barang atau jasa. WTP pada barang yang dipasarkan (marketed price) terdiri atas dua komponen, yakni komponen yang sebenarnya dibayarkan (harga) dan selisih WTP dengan harga yang dibayarkan atau disebut surplus konsumen.
Kebijakan publik akan mengubah kualitas lingkungan menjadi lebih baik, dalam hal ini adanya penerapan prinsip budi daya sayuran secara organik. Akibatnya, kurva permintaan terhadap barang dan jasa akan bergeser ke kanan atas.
Terdapat banyak metode untuk melakukan evaluasi terhadap nilai WTP yang sanggup dibayarkan oleh konsumen, salah satunya adalah metode contingent valuation method (CVM).
Menurut Pearce et al (2006), terdapat tiga tahapan utama dalam menganalisis CVM, yaitu identifikasi barang dan jasa yang akan dievaluasi, konstruksi skenario hipotetik, dan elisitasi nilai moneter. Terdapat lima jenis format elisitasi dalam CVM, di antaranya open ended, bidding game, payment card, single bounded dichotomous, dan double-bounded dichotomous. Setiap metode elisitasi memiliki teknik yang berbeda dalam penanganan dan perhitungan WTP secara spesifik (Fauzi 2014).
Penelitian dilakukan pada penduduk generasi Z dan milenial di wilayah Bogor dan Tasikmalaya. Metode penentuan sampel dilakukan secara non-probability sampling, artinya setiap anggota di dalam populasi tidak memiliki peluang yang sama untuk dijadikan sebagai sampel penelitian. Jumlah responden yang berhasil dikumpulkan sebanyak 200 responden, yakni sebanyak 144 responden berasal dari Bogor dan sisanya berdomisili di Tasikmalaya.
Berdasarkan penelitian ini, sebanyak 135 responden (67,5 persen) memiliki persepsi bahwa sayuran organik relatif mahal dibandingkan dengan harga sayuran non-organik. Hasil itu didukung oleh fakta harga sayuran non-organik di pasaran berada di kisaran harga di bawah Rp 5.000 per ikat sayuran, sedangkan sayuran organik biasanya berada di kisaran harga di atas Rp 10 ribu untuk jenis sayuran yang sama dan volume yang tidak berbeda jauh.
Sebanyak 14 variabel pernyataan diajukan pada responden dengan pilihan jawaban berada pada rentang skala 1 (sangat tidak setuju) hingga 7 (sangat setuju).
Hasil penelitian menunjukkan responden generasi muda cenderung setuju terhadap pernyataan positif berkaitan dengan sayuran organik dan aware terhadap sayuran organik yang dianggap dapat memberikan manfaat bagi lingkungan maupun kesehatan.
Berdasarkan hasil analisis, didapatkan empat faktor utama yang dipertimbangkan responden dalam melakukan pembelian sayuran organik. Faktor yang dipertimbangkan berdasarkan prioritas meliputi sikap terhadap sayuran organik, kepedulian terhadap lingkungan, tingkat kepercayaan, dan kepedulian terhadap kesehatan.
Pada penelitian ini, faktor tingkat kepercayaan memiliki nilai varians yang lebih tinggi dibandingkan dengan faktor kepedulian kesehatan. Hasil berbanding terbalik dengan penelitian Slamet et al (2016) pada responden rumah tangga di Jabodetabek yang menunjukkan faktor kepedulian kesehatan memiliki nilai varians yang lebih tinggi dibandingkan dengan faktor tingkat kepercayaan.
Artinya, responden generasi muda menaruh perhatian lebih berkaitan dengan kepercayaan untuk membeli sayuran organik, baik kepercayaan terhadap produk yang dijual maupun kepercayaan pada pihak yang menjual sayuran organik.
Dilihat dari kesediaan responden untuk membayar sayuran organik dengan harga yang lebih tinggi, sebanyak 172 responden (86 persen) menyatakan bersedia. Angka ini menunjukkan peluang yang cukup besar, generasi muda dapat dijadikan sebagai segmentasi pasar sayuran organik.
Responden yang menyatakan tidak bersedia di antaranya karena harga sayuran organik yang ada saat ini sudah cukup mahal, adanya ketidakyakinan terhadap sayuran organik yang dijual, dan sayuran organik dianggap tidak memiliki perbedaan dengan sayuran non-organik. Sebagian besar kelompok responden yang pernah maupun yang tidak pernah membeli sayuran organik pada keduanya menyatakan kesediaannya untuk membayar sayuran organik dengan harga yang lebih tinggi.
Sebanyak 41 responden belum pernah membeli sayuran organik, tetapi bersedia membayar sayuran organik dengan harga yang lebih tinggi. Angka ini menunjukkan adanya konsumen potensial terhadap sayuran organik walaupun sayuran organik dijual dengan harga yang lebih tinggi.
Responden yang pernah membeli sayuran organik cenderung memiliki nilai WTP yang lebih tinggi. Fenomena ini dapat dikaitkan bahwa responden yang pernah membeli sayuran organik pasti telah memiliki pengalaman dan telah mengetahui harga sayuran organik yang tentunya lebih tinggi dari sayuran non-organik. Harga sayuran non-organik yang dijual di supermarket yakni seharga Rp 6.000 untuk berat yang sama. Artinya, nilai WTP pada penelitian ini 153 persen lebih tinggi dari harga sayuran non-organik.
Singkatnya, besarnya responden yang menyatakan bersedia membayar sayuran organik dengan harga lebih (86 persen) menandakan bahwa adanya peluang pasar sayuran organik bagi generasi muda. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan segmentasi pasar sayuran organik yang menyasar generasi muda.
Di samping itu, faktor tingkat kepercayaan menjadi salah satu faktor penting yang dipertimbangkan responden dalam pembelian sayuran organik sehingga para stakeholder terkait dapat menjaga kepercayaan konsumen, di antaranya dengan melakukan sertifikasi maupun penggunaan logo organik Indonesia pada produk yang dijual.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.