Gaya Hidup
Menyikapi Isu Kesehatan Mental Secara Proporsional
Banyak Gen Z yang menjadikan isu kesehatan mental sebagai alasan.
Topik kesehatan mental belakangan ini menjadi topik yang banyak diperbincangkan, khususnya untuk generasi Z (Gen Z). Perkembangan teknologi kini memang memudahkan seseorang untuk mengakses berbagai informasi, termasuk soal kesehatan mental.
Selain tersebar di berbagai platform, belakangan ini juga banyak penerbit buku yang merilis buku tentang kesehatan mental. Peningkatan informasi ini tentu membuat Gen Z yang tech savvy atau melek teknologi, mendapat banyak pengetahuan soal kesehatan mental.
Praktisi kesehatan mental Adjie Santosoputro mengatakan kondisi tersebut membawa pengaruh positif dan negatif. Untuk positifnya, Adjie melihat Gen Z lebih melek terhadap kesehatan mental dibandingkan generasi terdahulu.
View this post on Instagram
“Ketika ada permasalahan terkait kesehatan mental, Gen Z langsung kayak harusnya istirahat atau tidak selalu harus ngotot memperjuangkan sesuatu. Jadi mereka lebih peka,” kata Adjie di acara Pasar Literasi, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (2/9/2023).
Meskipun dinilai lebih peka, peningkatan informasi kesehatan mental tidak terlepas dari sisi negatif. Menurut Adjie, banyak Gen Z yang menjadikan isu kesehatan mental sebagai alasan atau untuk berlindung. “Sisi tidak baiknya kadang menggunakan alasan kesehatan mental untuk berlindung. Oke, aku perlu istirahat padahal mungkin hanya males saja,” ujar dia.
Meski begitu, Adjie tetap mengapresiasi anak muda sekarang yang sudah mulai peka terhadap kesehatan mental. Dia menekankan untuk tetap berhati-hati jangan menjadi lebay atau menjadi abai. “Jadi abai karena meningkatnya pengetahuan akan kesehatan mental, tapi meningkatnya pengetahuan akan kesehatan mental hati-hati jangan sampai lebay juga,” ucap dia.
Ketika Ingin Menyerah
Saat seseorang sedang berjuang untuk mencapai sesuatu, ada masanya dia akan merasa untuk berhenti. Ini tak terlepas dari faktor-faktor fisik atau mentalnya.
Menurut Adjie, ada dua tanda yang bisa menjadi acuan seseorang untuk berhenti berjuang. Tanda pertama ketika orang tersebut menjadi mudah marah yang menyebabkan hubungan dengan orang terdekatnya rusak. “Kalau memang dirimu, batinnya berantakan, bahkan hubungan dengan orang-orang terdekat rusak, seperti dikit-dikit marah, itu mungkin sudah waktunya untuk ikhlas melepaskan,” kata Adjie.
Langkah ini lebih baik daripada terus berjuang, tetapi kehilangan apa yang kita butuhkan. Oleh karena itu, perlu diperhatikan jika hubungan dengan orang terdekat, khususnya dengan keluarga bisa kacau. “Kalau relasi dengan orang terdekat terutama relasi dengan keluarga menjadi ruwet, ya itu mungkin bisa menjadi tanda ini momen aku untuk menyerah dan berhenti,” ujar dia.
Tanda kedua adalah terkait dengan kesehatan tubuh. Adjie menekankan untuk peka terhadap kondisi fisik kita. Sebab, ini akan berbahaya jika kita terlalu abai dan terlalu fokus dalam berjuang.
“Kalau misalkan aku berjuang, memperjuangkan ini, tapi tiap pekan sakit mag, asam lambungnya naik, masalah juga. Karena tubuh ini sebenarnya selalu jujur. Tubuh selalu punya kode untuk memberi tahu kita bahwa sebenarnya harus terus atau berhenti berjuang,” ucapnya.
Mengatasi Overthinking
View this post on Instagram
Tidak dihindari, sebagian dari kita pernah merasakan overthinking atau berpikir berlebihan. Ini kecenderungan untuk memikirkan suatu hal terus-menerus dan berlebihan.
Nyatanya, overthinking bisa membahayakan kesehatan kardiovaskular. Beberapa masalah yang timbul, seperti sakit dada dan pusing. Penulis buku Filosofi Teras Henry Manampiring mengatakan sebenarnya thinking atau berpikir itu diperlukan karena kita manusia rasional.
“Hanya karena ketambahan ada over, jadinya membawa masalah. Kalau overthinking biasanya identik ke masa depan karena kalau susah move on berarti meninggalkan sesuatu yang seharusnya berada di belakang,” kata Henry, dalam kesempatan yang sama.
Kalau dalam pendekatan filsafat stoa, seseorang sering kali pusing karena mengurusi hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Oleh karena itu, ada istilah dikotomi kendali, yaitu ada hal yang di bawah kendali dan di luar kendali.
“Masalahnya, manusia menderita karena terobsesi mengurusi hal-hal yang di luar kendali. Namanya saja di luar kendali, mau dipusingkan seperti apa pun tidak ada yang berubah,” ujar dia.
View this post on Instagram
Henry menekankan untuk meninggalkan masa lalu dan fokus pada masa depan. Meskipun jika lebih bijak diperhatikan, tidak semua elemen di masa depan bisa dikendalikan.
Namun, daripada terlalu berlarut-larut pada masa lalu, lebih baik tinggalkan. Kemudian fokus pada apa yang bisa dikendalikan sepenuhnya.
“Yang sepenuhnya bisa dikendalikan adalah momen ini. Lima menit, 10 menit lagi kita tidak tahu hidup akan seperti apa. Tapi yang ada di belakang pasti sudah berlalu. Anda hanya punya masa kini untuk bisa mengontrolnya 100 persen,” ucap dia.
Kalau overthinking biasanya identik ke masa depan.HENRY MANAMPIRING, Penulis buku Filosofi Teras.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Terapi Seni Penawar Kesehatan Mental Bagi Perempuan Afghanistan
Organisasi kesehatan memperkirakan setengah dari 40 juta orang Afghanistan menderita tekanan psikologis.
SELENGKAPNYAPolusi dan Kesehatan Mental yang Memburuk
Polusi udara yang terhirup masuk ke saluran pernapasan dapat memicu terjadinya perubahan pada area-area otak yang mengontrol emosi.
SELENGKAPNYAPrediksi Mengerikan untuk Kesehatan Mental Setengah Populasi Dunia
Gangguan suasana hati seperti depresi dan kecemasan adalah kondisi kesehatan mental yang paling umum.
SELENGKAPNYARemaja Ini Terdiagnosis 'Penyakit Bunuh Diri', Apakah Itu?
Gejala CRPS juga bisa berubah seiring berjalannya waktu dan berbeda-beda kepada setiap individu.
SELENGKAPNYA