Podium
Bersama Menghentikan Perundungan
Anak harus diberikan pemahaman bahaya perundungan.
Peristiwa perundungan (bullying) pada anak sekolah seolah tak pernah selesai. Berbagai analisis penyebab masalah hingga solusinya ditawarkan. Namun, dari waktu ke waktu selalu ada korban baru dari berbagai daerah datang silih berganti.
Kejadian perundungan terbaru di SMP swasta di Purworejo, Jawa Tengah, menjadi perhatian banyak pihak. Sorotan terhadap peristiwa tersebut tak berdiri sendiri. Sebab, beberapa hari sebelumnya, perundungan terhadap anak oleh beberapa teman sekolahnya juga terjadi di salah satu SMP di Kota Malang, Jawa Timur.
Bahkan, perundungan itu sampai mengakibatkan luka di beberapa bagian tubuh siswa tersebut. Salah satu jari siswa tesebut sampai harus diamputasi. Tak lama dari peristiwa yang terjadi di Malang itu, seorang siswi SMP di Jakarta juga nekat mengakhiri hidup dengan cara melompat dari lantai atas sekolahnya. Aksi itu dilakukan sang siswi diduga lantaran akibat perundungan dari temannya.
Rentetan peristiwa itu memantik pembahasan banyak pihak untuk mencari solusi bersama dalam jangka panjang. Ada satu benang merah dari beberapa usulan banyak pihak, yakni memperketat sistem pengawasan di sekolah.
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak) Arist Merdeka Sirait mengatakan, pemerintah butuh dan perlu segera membuat mekanisme nasional untuk mencegah kejahatan terhadap anak-anak Indonesia. “Tidak cukup hanya membuat aturan-aturan bahwa sekolah itu harus bebas dari kekerasan tetapi harus ada sistem atau mekanisme nasional,” kata dia di Jakarta, Senin (17/2).
Hingga saat ini, kata dia, Indonesia belum memiliki mekanisme nasional yang dimaksud tersebut. Sementara beberapa negara Eropa, di antaranya Irlandia, sudah ada mekanisme antikekerasan atau antiperundungan di sekolah.
Arist mengatakan, mekanisme antikekerasan terhadap anak tersebut tidak hanya sebatas aturan. Namun, ada kesepakatan nasional di setiap rumah dan kampung untuk merespons secara cepat apabila ada potensi atau kecenderungan anak-anak menjadi pelaku maupun korban kejahatan tadi.
“Jadi, tidak hanya sekadar mempersalahkan orang tapi juga upaya bagaimana mencegahnya,” ujar dia. Sehingga, kata dia, tidak hanya sekadar sebatas seruan bahwa di sekolah tersebut ramah anak namun harus ada sebuah sistem yang dibangun.
Selain itu, Arist juga meminta pemerintah, terutama sekolah, melakukan pendataan anak terkait perubahan perilaku. “Misalnya dia memiliki perubahan perilaku, lalu bagaimana mereka dideteksi secara dini apakah berpotensi jadi pelaku atau korban,” katanya.
Lebih jauh, Arist mengatakan, para guru Bimbingan Konseling (BK) belum memiliki data terkait perubahan atau perkembangan perilaku anak. Misalnya, kata dia, anak mengalami perundungan ciri-cirinya seperti apa, kemudian interaksi sosialnya bagaimana.
Oleh karena itu, berangkat dari kasus perundungan yang menakutkan beberapa waktu terakhir seperti di Malang, yang menyebabkan jari korban harus diamputasi, merupakan contoh energi remaja yang tidak tersalurkan dengan baik. Pemberlakuan sanksi bagi pelaku kejahatan hanya sebatas penegakan hukum saja namun tidak bisa memutus mata rantai secara penuh dari tindakan tersebut.
Usulan yang sama juga disampaikan psikolog dari Yayasan Pulih, Noridha Weningsari. Dia mengatakan, orang tua siswa perlu dilibatkan dalam membuat mekanisme antiperundungan ini. Kolaborasi guru antara di sekolah dan orang tua dinilai bisa meminimalasi potensi terjadinya perundungan. Sebab, menghentikan perundungan tak bisa dilakukan secara parsial.
“Guru juga perlu mendorong siswa-siswi bystander atau orang yang netral, tidak dirundung maupun merundung. Ini untuk membantu menghentikan perilaku berulang dalam siklus kekerasan,” kata Noridha, lulusan master psikologi Universitas Indonesia ini.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, kekerasan maupun perundungan di dunia pendidikan terjadi karena sekolah tidak memiliki sistem pengaduan yang melindungi anak korban dan anak saksi.
Supaya hal serupa tidak terjadi, KPAI mendorong sekolah memiliki sistem pengaduan yang mumpuni. Sistem pengaduan sebaiknya tidak berwujud fisik seperti ruangan, tetapi bisa melalui sistem daring. Dengan begitu, anak merasa aman dan nyaman mengadu apabila melihat atau mengalami perundungan. “Pelaporan juga akan fleksibel tanpa batas waktu,” ujar Retno.
Hal yang lebih penting, kata dia, sekolah harus serius dan sepenuh hati melakukan tindak lanjut terhadap setiap laporan dari siswa. Tentunya, dengan tetap melindungi pelapor/pengadu karena penanganan yang tidak melindungi korban akan berpotensi membuat pengadu/korban makin terancam.
Pendampingan
Psikolog dari Dompet Dhuafa, Maya Sita, mengatakan, selain korban, pelaku perundungan anak perlu didampingi agar mereka memahami kesalahan yang mereka perbuat. Memahami kesalahan yang dilakukan seorang anak merupakan bagian penting sebagai upaya menghentikan perilaku serupa terulang.
Menurut dia, meski ada undang-undang yang mengatur hukuman penjara terhadap pelaku perundungan anak, Maya menyarankan agar hukuman itu menjadi opsi terakhir. Semua pihak harus lebih mengutamakan pendampingan agar pelaku perundungan memahami kesalahannya.
“Sebab, sejatinya pelaku perundungan pada dasarnya adalah orang-orang yang butuh bantuan,” kata dia.
Maya mengatakan, mereka menjadi pelaku perundungan karena mereka juga pernah menjadi korban atau sebagai manifestasi kondisi psikoligis yang tidak stabil, merasa inferior, tidak percaya diri, dan tidak diakui. Faktor-faktor tersebut mendorong pelaku untuk menunjukkan kekuatannya dengan melakukan perundungan ketika merasa memiliki kesempatan dan melihat orang yang lebih lemah.
Oleh karena itu, kata dia, pelaku perundungan perlu benar-benar didampingi dan diberi pemahaman sehingga ia menyadari kesalahannya dan tidak melakukan kesalahan itu lagi.
Dari sisi korban, perundungan tentu dapat mengalami serangan secara psikologi seperti kecemasan, ketakutan dan juga perasaan rendah diri. Akibat kejadian itu korban dapat juga enggan pergi ke sekolah atau berinteraksi lebih jauh lagi dengan teman-temannya.
“Efek paling parah bisa jadi percobaan bunuh diri jika ia tidak mendapat perlindungan, dukungan atau terus di-//bully// (baik verbal atau nonverbal). Itu tentu semua harus dipulihkan,” kata dia.
Kemudian, baik lingkungan di sekitar korban maupun pelaku juga disarankan untuk tidak terlalu mengekspos kejadian tersebut untuk menjaga kondisi psikologis mereka. “Guru dan sekolah, tentu ini jadi ‘cambukan’ sebab ini terjadi di lingkungan sekolah,” katanya.
Dia menyarankan sekolah tersebut untuk meninjau ulang sistem sekolah yang ada saat ini, baik aturan-aturannya, maupun kepekaan seluruh warga sekolah terhadap tindakan kekerasan antarwarga sekolah. Tidak hanya melihat kasus tersebut secara pendekatan individu, tetapi juga dengan pendekatan kelompok hingga tingkat yang sistemik.
Mendikbud Nadiem Makarim juga mengatakan, secara pribadi menilai pelaku pelecehan seksual maupun kekerasan di lembaga pendidikan mestinya langsung dikeluarkan. Namun, sebagai pembuat kebijakan ia perlu memikirkan peraturan yang bisa diterapkan dengan adil.
“Kalau misalnya ada yang terbukti apa pun kekerasan atau pelecehan seksual itu terjadi, itu harusnya tidak ada abu-abunya. harusnya langsung dikeluarkan. Itu opini saya sebagai Nadiem Makarim. Sekarang, bagaimana caranya mengimplementasikan itu,” kata dia.
Materi perundungan
Akademisi dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Jawa Tengah, Wisnu Widjanarko, mengatakan, anak harus diberikan pemahaman mengenai bahaya perundungan. Materi bahaya perundungan ini dinilai penting untuk terus mengingatkan dampak buruk yang diakibatkan.
Dosen komunikasi keluarga FISIP Unsoed ini menekankan pentingnya membangun kesadaran anak-anak sejak usia dini mengenai bahaya perundungan. “Kesadaran mereka perlu dibangun sejak dini bahwa mem-//bully// itu tidak baik, tidak berpekerti luhur, membahayakan orang lain dan bahkan melakukan bully juga bisa terjerat hukum atas perbuatan tersebut,” kata dia.
Dengan memberikan pemahaman yang intensif kepada generasi muda, diharapkan dapat menekan kasus perundungan di Tanah Air. Kampanye itu, lanjut Wisnu, tentu perlu dibarengi dengan mengajarkan anak mengenai pentingnya kasih sayang dan menerapkan cinta kasih dalam kehidupan sehari-hari baik kepada orang tua, guru, teman-teman, dan seluruh orang yang dikenalnya.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud Ade Erlangga mengatakan, salah satu terobosan pemerintah dalam mendidik karakter anak adalah dengan melakukan survei karakter. Survei ini merupakan bagian dari perubahan sistem ujian nasional (UN) yang akan dilakukan pada 2021.
“Oleh karena itu, kita melihat fenomena (perundungan) ini ke depan tidak boleh terjadi dan terus menerus terjadi di sekolah," kata dia.
Melalui survei karakter, Kemendikbud berharap bisa mendeteksi secara dini untuk anak-anak yang memiliki karakter khas. Anak yang memiliki kecenderungan agresif atau kurang memahami nilai Pancasila dapat terbaca melalui survei ini.
Di dalam survei karakter, kata dia, akan banyak berkaitan dengan nilai-nilai Pancasila. Karakter anak juga akan bisa diperbaiki karena survei dilakukan sebelum anak lulus atau kelas IV SD, VIII SMP, dan XI SMA.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.