Refleksi
Membangun Bangsa
Keadaban mutlak diperlukan guna mendukung prinsip-prinsip toleransi dan pluralisme.
Oleh NURCHOLISH MADJID
Perbandingan lebih lanjut Bung Karno dan Pak Harto menunjukkan perbedaan yang amat penting dalam masalah keadilan sosial dan pemerataan ekonomi. Bung Karno, dengan dikitari tokoh-tokoh keadilan sosial seperti Bung Hatta dan Syahrir, nampak dari semula berkomitmen kepada usaha mewujudkan keadilan itu. Tidak ada suatu golongan sosial ekonomi yang diunggulkan atas yang lain, dan kewirausahaan atau entrepreneurship tumbuh dalam masyarakat tanpa hak-hak istimewa yang berlebihan. Dan bagi semua golongan (di sini harus disebutkan, termasuk golongan etnis Cina) diakui hak-hak sipil mereka. Bentuk-bentuk hambatan dalam hubungan antarkelompok dan etnis, baik vertikal (seperti keagamaan) maupun horizontal (seperti kedaerahan) tentu terjadi tanpa seluruhnya dapat dihindari. Namun semuanya itu lebih merupakan akibat wajar proses pembentukan dan pertumbuhan bangsa yang belum semuanya selesai dengan sempurna.
Saat pemerintahan Bung Karno, hanya PKI yang mempunyai agenda politik-ekonomi eksklusif dengan akibat kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin parah (suatu ironi bagi sebuah partai Marxis). Partai Marxis-Leninis itu punya obsesi untuk menghancurkan dunia wirausaha pribumi yang kebetulan hampir secara keseluruhan menjadi pendukung Masyumi -- musuh bebuyutan mereka. Dan sementara menghancurkan dunia wirausaha pribumi, secara tidak wajar PKI melindungi dunia wirausaha etnis Cina yang kapitalistis (satu ironi lagi), agaknya sebagai tuntutan logis adanya ''Poros Jakarta-Peking'', tapi juga jelas sebagai sumber dana kegiatannya (khususnya lewat Baperki).
Mungkin tanpa disadari sepenuhnya atau barangkali atas pertimbangan yang belum diketahui, Pak Harto langsung atau tidak langsung, melanjutkan agenda menghancurkan dunia wirausaha pribumi. Sudah sejak semula proses pembangunan ekonomi pimpinan Pak Harto mengundang kontroversi dan polemik berkenaan dengan masalah keadilan dan pemerataan.
Dalam sikap yang dirasakan menampik gagasan keadilan dan pemerataan yang harus diwujudkan secara simultan dengan proses pembangunan ekonomi itu sendiri, pemerintahan Pak Harto sering tampil dengan argumen bahwa yang penting ialah ''memperbesar kue'' untuk kemudian kelak dibagi secara adil dan merata. Kadang-kadang terdengar argumen bahwa dengan tujuan memperbesar kue itu secepat mungkin, pembangunan ekonomi mengharuskan pemerintah mengikuti kebijakan untuk menyerahkan kegiatan pembangunan ekonomi sektor swasta kepada mereka yang ''kompetitif'' dan yang secara ''objektif'' mempunyai kemampuan yang handal (termasuk penilaian ''bankability'').
Partai Marxis-Leninis itu punya obsesi untuk menghancurkan dunia wirausaha pribumi yang kebetulan hampir secara keseluruhan menjadi pendukung Masyumi.
Hal itu berarti menjatuhkan pilihan kepada para pelaku ekonomi dari kalangan warga masyarakat keturunan Cina, karena merekalah yang sampai saat itu memenuhi kriteria sebagai yang ''kompetitif'' dan secara ''objektif'' berkemampuan. Dengan latar belakang jiwa kewirausahaan dalam sejarah yang panjang, mereka terbukti menunjukkan kemampuan yang luar biasa, dengan saham pembangunan nasional yang jauh di atas proporsinya secara berlipat ganda, sedemikian rupa sehingga terjadi keganjilan besar bahwa empat persen warga masyarakat menguasai tujuhpuluh persen ekonomi nasional.
Dengan sendirinya kebijakan pemerintahan Pak Harto itu mengalienasi banyak sekali golongan lain. Perasaan tidak adanya keadilan dalam pembagian ''kue nasional'' sedemikian kuatnya terpendam dalam kalangan luas masyarakat. Letupan-letupan gejolak sosial yang telah terjadi sudah dengan jelas menunjukkan indikasi adanya kejengkelan yang tersumbat itu. Dan seolah-olah merupakan kemestian berlakunya hukum besi dalam sistem persaingan bebas, kebijakan ''objektif'' pemerintah di bidang ekonomi telah menjerumuskan masyarakat ke dalam ''Darwinisme ekonomi''.
Pihak yang kuat dan memiliki persyaratan untuk bertahan tumbuh semakin kuat dan kukuh, sedangkan pihak yang lemah -- yang secara ''objektif'' tidak memiliki kemampuan untuk bertahan hidup (survive) -- menjadi semakin lemah untuk kemudian hancur. Sebagaimana banyak terdengar dalam masyarakat, dalam pertimbangan apa pun, sama sekali tidak adil bahwa empat persen warga negara menguasai 77 persen ekonomi nasional. Isyarat-isyarat telah bermunculan, tapi kebanyakan kita tidak mampu menangkapnya.
Pembangunan bangsa di era reformasi Secara ironis sekali, semua kekecewaan di atas berakumulasi dengan faktor hak-hak sipil etnis Cina yang diingkari selaku warga negara, sekalipun di bidang ekonomi mereka diberi peluang yang tiada taranya, kapan pun dan di mana pun. Tumpukan mesiu itu meledak dengan dahsyat dan membentuk bagian paling fenomenal dalam peristiwa lahirnya ''Era Reformasi''. Berbagai kezaliman telah pula berlangsung, dan sangat menjatuhkan martabat bangsa. Tetapi, seperti halnya dalam semua peristiwa sebab-akibat yang ruwet, dalam menilai kejadian yang mengenaskan di bulan Mei itu, lompatan kepada kesimpulan yang gampangan tidak akan menyelesaikan persoalan. Semuanya perlu perspektif yang lebih mendalam.
Sepanjang mengenai aspirasi dasarnya, gerakan reformasi jelas sekali menghendaki pembangunan bangsa atau nation building dengan lebih dahulu diakhirinya berbagai kebijakan yang membawa malapetaka tersebut, dan dimulai dengan sungguh-sungguh mewujudkan wawasan negara kebangsaan modern. Jika kita coba ringkaskan berbagai aspirasi dan keinginan dalam wacana umum, kita sampai kepada nuktah-nuktah yang kurang lebih berkisar sekitar hal-hal berikut:
Mutlak diperlukan langkah-langkah kebijakan mendesak untuk mengatasi krisis ekonomi, setidaknya berupa social safety net.
(1) Mutlak diperlukan langkah-langkah kebijakan mendesak untuk mengatasi krisis ekonomi, setidaknya berupa social safety net. (2) Karena krisis ekonomi saat ini berdimensi regional, bahkan global, maka dituntut kemampuan pemerintah untuk mengkomunikasikan permasalahannya dan menyadarkan rakyat bahwa usaha penanggulangan krisis itu di negara kita terkait erat dengan usaha serupa di negara-negara lain.
(3) Oleh karena itu, ada dimensi waktu yang tidak pendek, dan perlu dibina ketahanan ekonomi nasional dalam rangka ekonomi global. (4) Sementara itu, parahnya krisis ekonomi negara kita -- lebih parah daripada di negara-negara tetangga -- adalah akibat kebijakan yang menghasilkan bubble economics. Maka pemerintah harus berkemampuan komunikatif untuk mengajak seluruh rakyat menyadari kenyataan baru, yaitu bahwa kita sebenarnya adalah masih sebuah negara miskin, yang menuntut keprihatinan dan kerja keras semua warga.
(5) Guna menopang itu semua, proses demokratisasi -- sebagai kemestian sebuah negara kebangsaan modern -- harus dipacu dengan penuh kesungguhan dan konsistensi. Kepada seluruh warga negara harus ditanamkan kesadaran demokrasi sebagai pandangan hidup yang meliputi kedewasaan menyatakan pendapatan secara bebas dan kesediaan menerima adanya perbedaan pendapat dan kemungkinan mencari titik temu antara berbagai golongan. (6) Karena itu diperlukan pendidikan politik umum untuk membiasakan dan melatih semua pihak menyelesaikan perbedaan pendapat dalam semangat keadaban (civility) dan tidak mudah bersandar kepada kekerasan.
(7) Maka secara nasional harus ada pengakuan hak penuh dan peran partai oposisi. Bersama dengan kebebasan pers dan fungsi legislatif yang benar-benar bebas, partai oposisi adalah jaminan struktural bagi pengawasan sosial, transparansi, dan keterbukaan.
(8) Keadaban atau civility juga mutlak diperlukan guna mendukung prinsip-prinsip toleransi dan pluralisme, yaitu kesediaan melibatkan diri dalam kemajemukan dengan sikap saling menghormati.
Keadaban atau civility juga mutlak diperlukan guna mendukung prinsip-prinsip toleransi dan pluralisme.
(9) Dengan semua prinsip itulah terkait ide tentang masyarakat madani atau civil society, salah satu perwujudan utama aspirasi reformasi. Perkataan ''madani'' atau civil itu sendiri sudah menunjukkan dimensi keadaban, yang dalam perkataan ''madani'' juga terkandung makna kemestian tunduk kepada hukum dan aturan.
(10) Jadi tersangkut pula mutlaknya ditegakkan tertib hukum dan ketaatan kepada aturan. Hukum dan aturan yang diakui bersama adalah hasil ''kontrak perjanjian'' antara para warga. Karena itu negara sendiri, menurut al-Mawardi, adalah hasil adanya ''kontrak'' (aqad) atau ''perjanjian'' (ahd) para warga masyarakat (terpantul dalam teori Rousseau tentang negara sebagai ''kontrak sosial''). Alquran memuat perintah agar kita menepati perjanjian Allah setiap kali kita membuat perjanjian dengan sesama manusia, suatu isyarat bahwa perjanjian yang sah antara sesama manusia adalah senilai dengan perjanjian dengan Allah (QS 16:91).
(11) Kerangka dasar demokrasi ialah kebebasan asasi yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul, dan berserikat juga penting sekali dijaga kebebasan dan rasa takut. Karena semua itu adalah kategori dinamis, maka perwujudannya menyatu dengan ''pengalaman'' (maksudnya, harus dialami sendiri secara nyata untuk dapat diketahui dan dihayati makna dan hakikatnya). Masyarakat harus diberi keleluasaan secukupnya untuk ''mengalami'' itu semua, sekaligus guna menum¦ hkan kesadaran yang mantap tentang, rasa tanggung jawab, agar kebebasan tidak berubah menjadi kekacauan.
(12) Bersangkutan erat dengan hal di atas ialah hak asasi manusia. Dalam masyarakat perlu ditumbuhkan kesadaran bahwa masalah dan prinsip hak asasi adalah universal, sekalipun perwujudan konkretnya dapat mempunyai bentuk ekspresi lokal.
(13) Hak asasi manusia melibatkan pengakuan dan pemberian hak-hak sipil yang sah kepada semua warga negara, tanpa diskriminasi. Masalah kestabilan dan keamanan nasional harus diciptakan begitu rupa sehingga tidak melanggar hak asasi dan meniadakan hak-hak sipil warga negara.
(14) Terakhir ialah pendidikan. Dapat dikata, sama dengan agenda pembangunan bangsa atau nation building yang telah tertunda beberapa dasawarsa, kesadaran tentang nilai sentralnya pendidikan juga tertunda sekian lamanya. Pengalaman semua bangsa menunjukkan bahwa mutu pendidikan dan pemerataannya adalah sendi utama kemajuan negara.
Disadur dari Harian Republika edisi 28 Oktober 1998. Nurcholish Madjid (1938-2005) adalah mantan rektor Universitas Paramadina. Ia salah satu budayawan dan pemikir Muslim paling berpengaruh di Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Bagaimana Demokrasi Politik Mengecoh Umat?
Politik menjadikan umat hanya berpikir jangka pendek.
SELENGKAPNYAGelombang Politik Islam di Negeri Jiran
Apakah gelombang politik Islam di Malaysia memengaruhi negara tetangga?
SELENGKAPNYAKerusakan Alam: Rejuvenasi Islamisitas (1)
Apa hubungan kerusakan alam dengan Islamisitas?
SELENGKAPNYA