Asma Nadia | Republika

Resonansi

Sepuluh Ribu Hari Ayah Hebat

Tentu saja bumi menyimpan tak terhingga profil ayah inspiratif.

Oleh ASMA NADIA

Masih jauh dari Hari Ayah, tapi keinginan untuk membuat tulisan ini terasa mendesak-desak. Lebih dari 20 tahun bersamamu, saya menemukan figur ayah yang terpahat begitu kuat pada pribadimu. Apa pun, demi anak-anak kita.

Baik saat mereka masih bayi, menjelang balita, meniti usia remaja, hingga dewasa kini. Ketika ananda masih bayi yang tanpa daya, lenganmu menjadi tempat nyaman. Bersandar di dadamu, sosok menggemaskan buah hati kita berpindah dari satu ruangan ke ruangan lain.

Apa saja yang bisa si Bunda lakukan dalam menangani anak-anak --barangkali kecuali menyusui-- kamu, suamiku akan berusaha melakukannya sampai nyaris sama baik. Mengganti popok, menimang, memandikan, menyuapi, termasuk menyiapkan makanan bayi.

Seperti ada persaingan. Meski kemudian seiring usia, pembagian peran sebagai orang tua di antara kita tercipta. Bagian mengingatkan dan membentuk pola belajar, pekerjaan rumah, juga mengaji, mengingatkan ibadah, mengajari doa, mendorong anak-anak tidur, dan hal-hal yang memerlukan kecerewetan rutin menjadi tugas si Bunda.

 
Tentu saja tak ada sekat tegas antara kedua tugas kita itu, sebab banyak yang berjalan lebih baik saat kita berkolaborasi.
 
 

Sementara kegiatan bermain, berlatih ekspresi, olahraga menjadi sesuatu yang sudah mandarah daging dalam dirimu saat berinteraksi dengan ananda. Tentu saja tak ada sekat tegas antara kedua tugas kita itu, sebab banyak yang berjalan lebih baik saat kita berkolaborasi.

Menariknya, baik di rumah atau saat kami berjalan-jalan, tak pernah ada keluh kesah darimu. Ungkapan: Ayah letih, Ayah capek, Ayah pusing, tinggalkan Ayah sendiri dulu, ayah butuh ruang untuk berpikir…. Rasanya tidak sekali pun pernah ayah ucapkan.

Kebutuhan untuk mencipta jarak --walau sebentar, walau tak jauh-- tidak pernah terlontar. Meski sebenarnya ini perkara wajar sebab dirimu bukan robot.

Apalagi seorang kepala keluarga, tentu saja harus bekerja. Mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istri. Rutinitas harian yang menguras bukan hanya waktu, tapi tenaga dan pemikiran. Khususnya ketika imam keluarga itu sedang kurang sehat.

Maka memahami kelelahan atau kondisi fisik suami yang tidak sedang baik-baik saja, sebagian istri berusaha menjaga. Meminta anak-anak membiarkan sang ayah mendapatkan tidur yang cukup. Kadang kesibukan harian yang luar biasa membuat sosok ayah mudah emosi.

 
Maka memahami kelelahan atau kondisi fisik suami yang tidak sedang baik-baik saja, sebagian istri berusaha menjaga. Meminta anak-anak membiarkan sang ayah mendapatkan tidur yang cukup.
 
 

Para ibu pun membubuhi sedikit ancaman agar anak-anak mengerti.

“Jangan sampai Ayah terbangun, nanti Ayah pusing.”

“Kalau belum cukup tidur dan ayah bangun, nanti kalian kena marah Ayah!”

Atau yang sedikit ekstrem, “Anak-anak main di luar dulu, jangan mengganggu istirahat Ayah. Jangan sampai Ayah pulang, malah kesal. Kalian mau kalau Ayah nggak pulang-pulang ke rumah?”

Tapi semua itu jelas tidak berlaku untukmu. Hingga si sulung berumah tangga, dan putra kedua kita menjelang skripsi, kamu suamiku, sosok ayah yang tidak pernah menganggap keberadaan anak-anak --celoteh, langkah kecil mereka yang berlarian, jeritan kegirangan atau tangisan buah hati, sebagai sebuah gangguan.

Maka wajar jika saat menemukanmu tertidur, anak-anak tak sabar menunggu teman bermain mereka itu bangun. Sering seolah sengaja mengusik tidurmu. Mencubit hidung, mencuil pipi, atau meraih tangan figur favorit mereka.

Anak-anak tahu, kamu tak mungkin marah. Bahkan kamu akan menegur saya jika berusaha mengamankan anak-anak, walau dengan maksud baik, agar ayah bisa mendapatkan istirahat yang dibutuhkan.

 
Bagimu anak-anak bukan hanya amanah dari Allah, tetapi anugerah teramat besar yang dihampirkannya pada kita, hingga setiap detik kebersamaan harus amat sangat kami syukuri.
 
 

Bagimu anak-anak bukan hanya amanah dari Allah, tetapi anugerah teramat besar yang dihampirkannya pada kita, hingga setiap detik kebersamaan harus amat sangat kami syukuri. Dari mana segenap energi tanpa kenal lelah itu berasal, Ayah?

Kamu akan segera hadir setiap anak-anak memanggil. Kamu akan menghentikan apa pun yang dikerjakan ketika buah hati kita meneriakkan namamu.

“Ketika anak-anak memanggil, berarti saat itulah mereka sedang sangat membutuhkan kita, maka kita harus hadir untuk mereka. Bagaimana jika hanya sekali itu mereka benar-benar membutuhkan kita?” tuturmu mengingatkan.

Begitu dewasa dirimu, padahal saat memiliki seorang putri, kamu masih mengerjakan skripsi.

Tapi secara alami, menjadi ayah, adalah peran yang paling kamu nikmati. Ketika ayah-ayah lain sibuk berolahraga intens di berbagai ruang olahraga, kamu memilih menggendong atau menerbangkan anak-anak seakan mereka pesawat dan menggelar permainan yang membutuhkan fisik yang menyenangkan bersama mereka.

Seperti biasa ayah tidak pernah kehabisan ide. Dengan cara unik kamu juga selalu bisa memberi anak-anak ruang, tapi pada saat yang sama memastikan mereka berada pada jarak aman untuk dilindungi.

Berapa banyak ayah yang ketika anaknya belajar naik sepeda roda dua, benar-benar berlari di sisi mereka? Bukan untuk jarak pendek, melainkan hingga melalui tanjakan dan turunan. Tanpa lelah ayah akan terus berlari hingga napas memburu.

Namun bahkan ketika keringat mengucur deras, wajah memerah, pendeknya secara fisik kamu benar-benar terkuras, Ayah tak pernah bermuka masam.

Komitmen keayahan pada dirimu kian tahun kian mencengangkan. Ketika gadis kecil kita ingin menonton konser bintang dari luar, dan ia sudah berjuang mendapatkan tiket murah untuk kita berempat, termasuk adiknya, dengan sigap kamu mengalahkan jadwal lain.

Sejak band-band pembuka memainkan not pertama hingga puncak acara, sosokmu bergeming mengawal putri sulung kita. Tetap tersenyum meski arena terbuka itu kemudian diguyur hujan deras dan kita semua kebasahan.

Saya kira ingatan ini akan abadi di benak putri tersayang saat pandangannya di acara itu tertutup kerumunan, tidak bisa melihat idolanya dengan bebas, tapi sekonyong-konyong sepasang tangan kukuhmu bak superhero mengangkat tubuh remaja itu dan menaruhnya di pundak.

 
Bukan berarti kamu tidak pernah memasang wajah tegas atau bersuara keras ketika menegur. Tapi Ayah tak pernah marah tanpa alasan.
 
 

Bukan berarti kamu tidak pernah memasang wajah tegas atau bersuara keras ketika menegur. Tapi Ayah tak pernah marah tanpa alasan. Tentu sebatas lisan, sebab tidak ada yang boleh main tangan di rumah ini. Bersamamu, Ayah hingga separoh abad usia.

Tentu saja bumi menyimpan tak terhingga profil ayah inspiratif dengan perjuangan yang tak terbayangkan. Kisah-kisah menyentuh bertebaran sebab kenyataannya kita kian membutuhkan sosok ayah yang lebih hadir mendampingi generasi saat ini.

Begitu pun, 28 tahun atau 10.220 hari --mendampingi kiprahmu yang konsisten sebagai ayah-- adalah waktu yang tak sebentar. Empat bulan ini, ada panggilan berbeda tersemat.

Menyaksikan interaksimu dengan si kecil Sofia Dilara Rose, kenangan awal sebagai orang tua, seolah berulang. Tidak persis sebab Sofia bukan anak melainkan cucu. Meski dia seberuntung anak-anak kita sebab memiliki figur ayah serbabisa.

Tapi walau baru 120 hari menjalani peran ini, suamiku-- dengan percaya diri bisa kukatakan: “Kamu adalah opa yang hebat bagi Sofia dan insya Allah cucu-cucu kita yang lain. Sebagaimana kamu telah menjelma ayah hebat bagi kedua cahaya mata.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Azan Terakhir

Bilal bin Rabah mengumandangkan azan shalat Subuh dari atas rumah Sahl, wanita bani Najjar.

SELENGKAPNYA

Humaidah binti An-Nu'man, Penyair Wanita Pemberani

Humaidah juga dianggap sebagai ahli sastra yang berani menentang kezaliman.

SELENGKAPNYA

Pakaian dalam Shalat

Dahulu, kaum kafir Quraisy beribadah tawaf dengan telanjang.

SELENGKAPNYA